Senin, 25 September 2017

PARADIGMA KONSTRUKTIVISME SEBAGAI ORIENTASI BARU DALAM PEDAGOGIK


PARADIGMA KONSTRUKTIVISME  SEBAGAI ORIENTASI BARU DALAM PEDAGOGIK
Dikompilasi dari tulisan  Nyayu Khodijah ( Dosen UIN Raden Fatah Palembang )

Abstrak :
Dalam teori pembelajaran guru bukanlah seorang ahli, akan tetapi seorang pembimbing. Karena konstruktivisme adalah bagaimana membuat tahu dan mengetahui, sehingga sangat tergantung dari intern individu dalam proses ini. Seorang siswa dalam pembelajaran, sangat tergantung dengan kondisi internal dan mentalnya. 

Hal ini sangat berbeda jauh dengan objektivisme yang memandang sebuah realitas adalah tergantung kondisi eksternal dari individu. Untuk itulah yang menajdi perbedaan disini adalah realitas sehingga membuat siswa dalam proses pembelajaran menjadi lebih realistis dan lebih bermakna. Akan tetapi, paradigma kontruktivisme bukanlah hal yang baku dalam proses pembelajaran, masih banyak paradigma ilmu lain tentang pembelajaran. Karena, konstruktivisme bukan teori pembelajaran melainkan teori yang mengusulkan pendekatan mengajar yang memberikan kesempatan pada pemelajar untuk mengalami secara kongkrit dan berarti secara kontekstual melalui pencarian pola-pola, pemunculan pertanyaan sendiri, dan pengkonstruksian model, konsep, dan strategi mereka sendiri. Ruang kelas dipandang sebagai miniatur masyarakat, yaitu komunitas pemelajar yang terlibat dalam aktivitas, diskursus, dan refleksi.
Kata kunci : konstruktivisme, Pembelajaran

A.        Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pergantian paradigma belajar berpengaruh pada perubahan paradigma tentang proses dan metode pembelajaran, termasuk pada bagaimana pembelajaran dirancang. Bednar, dkk (dalam Duffy & Jonassen, 1992) menyatakan bahwa desain dan pengembangan pembelajaran harus didasarkan pada teori tentang belajar, desain yang efektif hanya mungkin jika pengembang mengembangkan kesadaran reflektif tentang dasar teoritis yang mendasari desainnya. Dengan kata lain, desain instruksional yang efektif muncul dari aplikasi teori belajar tertentu.

Dalam sejarah perkembangan teori belajar, setidaknya telah terjadi tiga kali pergantian paradigma. Paradigma pertama adalah behavioristik yang menekankan pada proses belajar sebagai perubahan perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan, guru dapat memanipulasi lingkungan sedemikian rupa agar terjadi perubahan perilaku pada siswa. Paradigma kedua adalah kognitif yang memandang bahwa proses belajar tidak semata-mata terkait dengan perilaku nyata tetapi juga melibatkan proses-proses mental seperti persepsi, berfikir, dan memori. Paradigma ketiga adalah konstruktivisme yang berpandangan bahwa proses mental individu mengkonstruksi pengetahuan atas dasar pengalaman.

Sebenarnya pandangan konstruktivisme ini bukanlah hal yang baru, akan tetapi merupakan penggabungan dari berbagai pendekatan, seperti pendekatan Connectionist dari Rummelhart & McClelland, Semiotik dari Cunningham, Ekperientalisme dari Lakoff, Intertekstualitas dari Morgan, Relativisme dari Perry, dan lain-lain (Bednar, et.al, dalam Duffy & Jonassen, 1992). Dalam beberapa tahun terakhir, konstruktivisme banyak menjadi bahan pembicaraan baik dalam buku-buku, jurnal, situs internet, maupun dalam diskusi terbuka, seminar, kuliah, dan sebagainya. Tulisan ini berupaya mengupas tentang bagaimana perspektif konstruktivisme dalam kaitannya dengan orientasi baru dalam pedagogik.

B. Sejarah Singkat dan Konteks Filosofi
Menurut Von Glasersfeld (dalam Duffy & Cunningham, 1996), teori konstruktivis pertama kali dikemukakan oleh seorang filosuf Italia bernama Giambattista Vico, pada awal abad ke 18. Vico berpandangan bahwa: “to know means to know how to make” (mengetahui bermakna mengetahui bagaimana membuat (tahu)). Beberapa filosuf abad ke 20 kemudian memberikan pandangan konstruktivis yang lebih mengemuka, diantaranya adalah Kuhn, Wittgenstein, dan Rorty. Menurut mereka, pengetahuan dikonstruksi oleh individu dan berkaitan dengan konteks.

Muncul dan berkembangnya paradigma konstruktivis dalam bidang filsafat tersebut sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam teori dan praktek pedagogik. Jean Jaques Rousseau yang hidup sezaman dengan Vico memberikan penekanan pada learning by doing, dimana guru hanya berperan sebagai penyaji masalah yang akan menstimulasi rasa ingin tahu pemelajar dan meningkatkan belajar. Selain Rousseau, John Dewey juga bereaksi terhadap proses belajar yang mendasarkan pada sistem hafalan. Ia berpendapat  bahwa kehidupan haruslah membentuk konteks dasar bagi belajar.


Seperti Rousseau dan Dewey, Bruner juga memandang proses belajar dalam aktivitas pemelajar. Penekanan utama Bruner adalah pada discovery learning. Bruner juga memberikan perhatian pada upaya membantu guru dalam menggunakan pendekatan discovery learning ini. Untuk itu, ia merancang sebuah kurikulum yang diberi nama kurikulum MACOS (Man A Course of Study). Kurikulum tersebut merangsang keingintahuan siswa. Metode-metode yang digunakan meliputi: inquiry, eksperimen, observasi, wawancara, penelusuran literatur, meringkas, mempertahankan opini, dan sebagainya.

Dewasa ini, konstruktivisme menjadi payung dari berbagai pandangan yang menekankan pada peran guru sebagai manajer, fasilitator atau pelatih. Dari berbagai pandangan tersebut, ada dua pandangan yang mendominasi, yaitu Individual Cognitive Constructivist dari Piaget dkk (1977), dan Sociocultural Constructivist dari Vygotsky. Pandangan Piaget dkk memiliki ciri-ciri: (1) perhatian teoritis adalah pada proses psikologis individu, (2) fokus analisis adalah pada membangun model-model reorganisasi konseptual individu siswa dan dengan menganalisis konstitusi bersama mereka dari situasi perkembangan sosial lokal, (3) tujuannya adalah menjelaskan dasar sosial dan kultural dari pengalaman personal, (4) lokasi mind dikatakan terletak di kepala, (5) belajar merupakan proses reorganisasi kognitif secara aktif, (6) belajar dipandang sebagai organisasi diri kognitif, dengan asumsi bahwa anak berpartisipasi dalam latihan kultural, (7) kelas dipandang sebagai sebuah pengembangan mikrokultur yang dibentuk bersama oleh guru dan siswa, dan (8) kelompok dipandang bersift heterogen.

Vygotsky dengan Sociocultural Constructivist-nya memiliki ciri-ciri: (1) perhatian teoritis adalah pada proses-proses sosial dan kultural, (2) fokus analisis adalah partisipasi individu dalam praktek yang terorganisir secara kultural dan interaksi face to face, (3) tujuannya adalahkonstitusi proses sosial dan kultural dengan interpretasi individu secara aktif, (4) mind dipandang terletak dalam diri individu dalam interaksi sosial, (5) belajar merupakan proses akulturasi ke dalam komunitas praktis yang tetap, (6) belajar dipandang sebagai proses akulturasi dengan asumsi bahwa abak mengkonstruksi secara aktif, (7) kelas dipandang sebagai instantiasi dari praktek pendidikan yang terorganisir secara kultural, dan (8) kelompok dipandang bersifat homogen dengan anggota komunitas yang tetap.

C.        Paradigma Konstruktivisme
1.         Definisi
Konstruktivisme adalah sebuah teori tentang belajar yang didasarkan pada pandangan bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pemelajar berdasarkan pada aktivitas mental. Pemelajar dianggap sebagai organisme yang aktif mencari pemaknaan. Konstruksi pemaknaan bisa diawali dengan melahirkan hubungan dengan realitas, tetapi lama kelamaan menjadi semakin kompleks, beragam, dan realistik. Menurut Fosnot (1996), konstruktivisme adalah teori tentang pengetahuan dan belajar yang menggambarkan tentang apa itu “mengetahui” dan bagaimana seseorang “menjadi tahu”.

Jonassen (1991) menyatakan bahwa: Konstruktivisme memandang bahwa realitas dikonstruksi oleh pemelajar berdasarkan aktivitas mental. Manusia merupakan penerima dan penginterpretasi realitas, namun mengkonstruksi realitas mereka sendiri melalui pelibatan dalam aktivitas-aktivitas mental. Berfikir merupakan landasan bagi persepsi tentang pengalaman-pengalaman fisik dan sosial, yang hanya dapat dipahami oleh mind. Apa yang dihasilkan oleh mind adalah model-model mental yang menjelaskan pada pemelajar apa yang ia persepsikan. Kita semua mengkonsepsi realitas internal secara berbeda, berdasarkan pada rangkaian pengalaman kita yang unik dengan dunia dan keyakinan kita tentang hal itu.

Paradigma yang nampak kontras sekali perbedaannya dengan konstruktivisme adalah objektivisme. Objektivisme memandang realitas sebagai sesuatu yang berada di luar diri individu yang strukturnya ditentukan oleh entitas, kelengkapan, dan hubungan-hubungan, serta dapat dimodelkan. Mind bagi objektivisme adalah pemroses simbol-simbol, cermin dari alam, dan merupakan mesin abstrak untuk memanipulasi simbol-simbol tersebut. Pemaknaan bersifat menyesuaikan dengan entitas dan kategori-kategori dalam realitas, serta terpisah dari pemahaman organisme.

Sebaliknya, konstruktivisme memandang bahwa realitas ditentukan oleh pemelajar, karenanya tergantung pada aktivitas mental manusia. Realitas juga sebagai produk mind, sebagai prosedur simbolik mengkonstruksi realitas, serta strukturnya bergantung pada pengalaman dan interpretasi. Mind menurut konstruktivisme adalah pembangun simbol-simbol, penginterpretasian terhadap alam, dan sebagai sistem konseptual untuk mengkonstruksi realitas. Pemaknaan tidak menyesuaikan dengan realitas, tapi tergantung pada pemahaman, dan ditentukan oleh individu.

Dari perbandingan tersebut, nampaklah bahwa objektivisme dan konstruktivisme berada dalam posisi yang saling bertolak belakang, baik atas dasar kriteria metafisik maupun epistemologi.

2.         Pandangan Konstruktivisme Tentang Realitas
Konstruktivis radikal percaya bahwa tidak ada dunia nyata, tidak ada realitas objektif yang terlepas dari aktivitas mental manusia. Dalam pandangan Goodman, dunia personal kita diciptakan oleh mind, sehingga tidak ada satu realitas yang lebih nyata dibandingkan realitas yang lain. Tidak ada realitas tunggal atau entitas objektif apapun yang dapat digambarkan dengan cara yang objektif. Dunia nyata hanyalah hasil dari mind yang mengkonstruksi dunia tersebut. Bentuk konstruktivisme yang agak kurang radikal berpegang bahwa mind merupakan alat yang penting dalam menginterpretasi peristiwa-peristiwa, objek, dan perspektif tentang dunia nyata, dan bahwa interpretasi tersebut meliputi dasar pengetahuan yang bersifat personal dan individualistik.

3.         Pandangan Konstruktivisme Tentang Pengetahuan
Pandangan konstruktivis tentang realitas berpengaruh pada pandangan terhadap pengetahuan. Konstruktivis memandang pengetahuan bersifat temporer, tidak objektif, selalu berubah dan tidak menentu. Kaum konstruktivis radikal memandang pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognisi pemelajar. Pengetahuan selalu mengalami perubahan sejalan dengan proses asimilasi dan akomodasi (Sulton, 1998). Konstruktivis percaya bahwa pengetahuan dan kebenaran adalah dikonstruksi oleh individu dan tidak berada di luar mind manusia (Duffy dan Jonassen, dalam Tam, 2000).

Menurut Duffy & Cunningham (dalam Jonassen, 1996), konstruktivisme berpandangan bahwa semua pengetahuan itu bersifat lokal karena dikonstruksi atas dasar sensasi, persepsi, dan kognisi. Karenanya, pengetahuan itu tergantung pada konteksnya.

4.         Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar
Pandangan konstruktivis terhadap belajar dipengaruhi oleh pandangan terhadap pengetahuan. Karena pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang temporer, selalu berubah, dan tidak objektif, maka belajar dirumuskan sebagai upaya penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkrit, melalui aktivitas kolaboratif, refleksi, dan interpretasi (Sulton, 1998). Aktivitas yang demikian memungkinkan pemelajar memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

Menurut Duffy & Cunningham (dalam Jonassen, 1996), konstruktivis memandang belajar sebagai proses mengkonstruksi pengetahuan yang diperantarai oleh peralatan dan tanda-tanda, namun belajar juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas dialog sosial. Dalam proses belajar, pemelajar membangun representasi internal tentang pengetahuan sebagai hasil dari interpretasi personal terhadap pengalaman. Representasi ini terbuka secara konstan terhadap perubahan, struktur dan pertalinnya membentuk landasan dimana terdapat struktur pengetahuan lainnya.

Prinsip sentral konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses yang aktif. Informasi bisa dipaksakan, akan tetapi pemahaman tidak, harus timbul dari dalam (Tam, 2000). Belajar adalah kerja mental yang aktif, bukan penerimaan pelajaran secara pasif. Belajar ditentukan oleh saling hubungan yang kompleks antara pengetahuan yang ada pada pemelajar, konteks sosial, dan masalah yang harus dipecahkan (Tam, 2000).

D.        Aplikasi Konstruktivis dalam Pendidikan dan Pembelajaran
1.         Peran Pengajar
Menurut Copley (dalam Tam, 2000), konstruktivisme menuntut seorang guru bertindak sebagai seorang fasilitator yang berfungsi utama untuk membantu siswa menjadi partisipan aktif dalam belajar mereka dan membuat hubungan bermakna antara pengetahuan sebelumnya, pengetahuan yang diajarkan, dan proses-proses yang terlibat dalam belajar. Omrod (dalam Tam, 2000) menyatakan bahwa guru harus dapat mendorong perkembangan siswa dengan penyajian tugas-tugas yang “hanya dapat mereka selesaikan dengan bantuan”, yaitu dalam ZPD siswa.

Sejalan dengan pandangan bahwa guru adalah seorang pembimbing dan bukan seorang ahli, pembelajaran konstruktivis selalu berkaitan dengan pemagangan demana guru berpartisipasi dengan siswa dalam solusi masalah. Disni, guru melayani sebagai sebagai model dan pembimbing, dengan menunjukkan pada siswa bagaimna merefleksikan pada peningkatan pengetahuan mereka dan memberikan arah bila siswa mengalami kesulitan. Jumlah bimbingan yang diberikan oleh  guru tergantung pada level pengetahuan dan pengalaman siswa.

Dengan demikian, tanggung jawab utama guru adalah menciptakan dan memelihara lingkungan problem solving yang kolaboratif, dimana siswa dimungkinkan mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri, dan guru bertindak sebagai fasilitator atau pembimbing. Secara rinci, ciri-ciri guru dalam perspektif konstruktivis (Tam, 2000) adalah:
•     Mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa
•   Menggunakan berbagai bahan, termasuk data mentah, sumber utama, dan bahan interaktif, dan mendorong siswa untuk menggunakannya
•     Menuntut pemahaman siswa terhadap konsep sebelum membagi pemahaman mereka tentang konsep tersebut
•       Mendorong siswa untuk terlibat dalam dialog dengan guru dan dengan siswa yang lain
•     Mendorong siswa menemukan dengan menanyakan pertanyaan terbuka dan mendorong siswa saling bertanya satu sama lain dan mencari elaborasi respon awal siswa
•    Melibatkan siswa dalam pengalaman yang menunjukkan kontradiksi dengan pemahaman awal, lalu mendorong terjadinya diskusi
•       Memberi waktu bagi siswa untuk mengkonstruksi hubungan dan menciptakan metafora
•    Mengukur pemahaman siswa melalui aplikasi dan kinerja tugas-tugas yang terbuka untuk direstrukturisasi

2.         Proses Belajar
Dalam perspektif konstruktivisme, belajar adalah sebuah proses yang aktif dimana pemaknan dikembangkan atas dasar pengalaman (Newby et. Al, dalam Tam, 2000). Belajar harus disituasikan dalam konteks yang kaya, merefleksikan konteks dunia nyata guna timbulnya proses konstruktif dan mentransfernya ke lingkungan di luar sekolah atau pelatihan. Belajar melalui cognitive apprenticeship, menunjukkan kolaborasi problem solving dunia nyata, dan penggunaan peralatan yang tersedia dalam situasi problem solving adalah kuncinya (Bednar et. al, dalam Duffy & Jonassen, 1992).

Proses belajar tersebut kemudian menghasilkan abstraksi reflektif, menghasilkan simbol-simbol dalam sebuah media. Simbol-simbol tersebut lalu menjadi bagian penyimpanan skema individu, yang pada gilirannya digunakan bila mempersepsi dan mengkonsepsi lebih jauh. Misalnya, kilauan air terjun di siang hari dan air terjun di kala senja tetap dilihat sebagai air terjun meski sinar cahaya yang masuk ke retina sangat berbeda. Simbol linguistik “air terjun”  merepresentasikan abstraksi reflektif yang merupakan hasil dari generalisasi pengalaman dengan air terjun sebelumnya, tetapi kemudian digunakan dalam mempersepsi stimulus yang terisolasi dari lingkungan, mentransformasikan dan mengorganisasikannya untuk menciptakan pemaknaan. Media yang digunakan dalam representasi saat kita berupaya mengkomunikasikan pemaknaan kita tentang komunitas juga mempunyai efek pada simbolnya. Air terjun yang direpresentasikan dengan musik bisa melibatkan irama dan keharmonisan, direpresentasikan dalam seni visual bisa melibatkan bentuk, garis dan tekstur, direpresentasikan dalam ilmu pengetahuan, bisa melibatkan kekuatan, interaksi, kontinuitas, dan diskontinuitas.

3.         Proses Pembelajaran
Pembelajaran bagi konstruktivis adalah memberikan pemelajar situasi kolaboratif dimana mereka memiliki pemaknaan dan kesempatan untuk mengkonstruk pemahaman yang baru dan spesifik situasi dengan memasang pengetahuan sebelumnya dari sumber yang berbeda (Ertmer & Newby, dalam Tam, 2000).
Dua karakteristik pembelajaran konstruktivis (Tam, 2000) adalah:
1.         Masalah yang “tepat”
Pembelajaran konstruktivis meminta pemelajar untuk menggunakan pengetahuan mereka untuk memcahkan masalah yang bermakna dan kompleks. Masalah memberikan konteks bagi pemalajar untuk mengaplikasikan pengetahuan mereka dan memiliki belajar mereka. Masalah yang tepat dituntut untuk menstimulasi eksplorasi dan refleksi yang diperlukan bagi konstruksi pengetahuan. Menurut Brook and Brook (dalam Tam, 2000), masalah yang tepat adalah yang:
•           menuntut pemelajar membuat dan menguji sebuah prediksi
•           dapat dipecahkan dengan peralatan yang tidak mahal
•           realistik kompleks
•           bermanfaat dari upaya kelompok
•           dipandang relevan dan menarik oleh siswa

2.         Kolaborasi. Perspektif konstruktivis mendukung bahwa pemelajar belajar melalui interaksi dengan sesamanya. Pemelajar bekerja bersama, mengaplikasikan kombinasi pengetahuan mereka untuk solusi masalah. Dialog yang dihasilkan dari upaya kombinasi ini memberikan pemelajar kesempatan untuk menguji dan memperbaiki pemahaman mereka dalam proses berkelanjutan.

4.         Strategi Pembelajaran
Konstruktivis merupakan teori tentang belajar, dan bukan deskripsi tentang pembelajaran. Namun ada prinsip-prinsip umum belajar berdasarkan konstruktivisme yang dapat membantu kita dalam memikirkan ulang dan mereformasi praktek-praktek strategi pembelajaran saat ini (Fosnot, 1996), yaitu:
1.         Belajar bukanlah hasil dari perkembangan, tetapi belajar itu sendiri adalah perkembangan. Belajar menuntut penemuan dan organisasi diri pada sisi pemelajar. Karenanya guru perlu membiarkan pemelajar menimbulkan pertanyaan sendiri, menghasilkan hipotesis dan model mereka sendiri sebagai kemungkinan-kemungkinan, dan selanjutnya mengujinya.

2.         Ketidakseimbangan memfasilitasi belajar. “Kesalahan” diperlukan untuk dirasakan sebagai hasil konsepsi pemelajar dan karenanya tidak perlu diminimalisir ataupun dihindari. Tantangan, penyelidikan yang terbuka secara nyata, konteks yang bermakna perlu diberikan, yang memungkinkan pemelajar untuk mengeksplorasi dan menghasilkan banyak peluang, baik yang nyata maupun yang kontradiksi. Kontradiksi ini perlu dijelaskan, dieksplorasi, dan didiskusikan.

3.         Abstraksi reflektif adalah kekuatan yang mengendalikan belajar. Sebagai pembuat makna, manusia butuh mengorganisasi dan mengeneralisasi semua pengalaman dalam bentuk representasi. Dengan memberikan waktu untuk refleksi melalui penulisan jurnal, representasi dalam bentuk multi simbol, dan/atau diskusi tentang hubungan-hubungan pengalaman atau strategi-strategi bisa memfasilitasi abstraksi reflektif.
4.         Dialog dalam sebuah komunitas yang melahirkan pemikiran lebih jauh. Kelas perlu dipandang sebagai sebuah “komunitas diskursus yang terlibat dalam aktivitas, refleksi, dan percakapan”. Pemelajar bertanggung jawab untuk mempertahankan, membuktikan, menilai, dan mengkomunikasikan pandangan-pandangan mereka pada komunitas kelas. Pandangan tersebut baru dapat diterima sebagai kebenaran jika dapat dimengerti oleh komunitas dan meningkat pada level “taken-as-shared”.

5.         Belajar memproses perkembangan struktur-struktur. Saat pemelajar berupaya membuat pemaknaan, pergantian struktur progresif dalam perspektif dikonstruksi sebagai “ide besar”. Ide besar yang dikonstruksi oleh pemelajar ini merupakan prinsip-prinsip pengorganisasian sentral yang dapat digeneralisasi semua pengalaman dan seringkali membutuhkan pembatalan atau reorganisasi konsepsi awal. Proses ini terus berlangsung selama perkembangan.

Inti dari kegiatan pembelajaran dalam perspektif konstruktivis adalah penataan lingkungan belajar. Sebenarnya banyak sekali ahli pendidikan dan psikologi kognitif yang berupaya mengembangkan lingkungan dan preskripsi pembelajaran yang lebih konstruktivistik. Yang paling penting dari preskripsi ini adalah Situated cognition, penetapan pembelajaran dalam konteks yang relevan. Pendekatan yang berkaitan dengan ini adalah menuntut pemelajar melakukan cognitive apprenticeship. Lingkungan pembelajaran dan guru harus berfokus pada pendekatan realistik untuk memecahkan masalah dunia nyata tanpa menggunakan urut-urutan pembelajaran yang ditentukan sebelumnya. Pengajar adalah seorang pelatih dan penganalisa strategi-strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.

Strategi penting lainnya adalah penyajian multiple perspective pada pemelajar. Teori fleksibelitas kognitif adalah model konseptual bagi pembelajaran yang memfasilitasi kemajuan perolehan pengetahuan dalam domain pengetahuan yang tidak terstruktur. Teori fleksibelitas menghindari pembelajaran yang terlalu menyederhanakan dengan penekanan pada saling hubungan antar konsep, dengan pemberian representasi atau perspektif jamak pada konteksnya karena tidak ada skema tunggal (tidak ada realitas objektif), dan dengan menekankan pembelajaran berbasis kasus yang memberikan perspektif atau tema jamak yang terkait dengan kasus tersebut.

Cunningham, Duffy, & Knuth (dalam Wilson, 1996) mengemukakan prinsip-prinsip yang dapat digunakan dalam mendesain lingkungan belajar , yaitu:
1.        Mengembangkan pengalaman melalui proses konstruksi pengetahuan.
2.       Mengembangkan pengalaman belajar yang memungkinkan apresiasi dan kaya akan berbagai alternatif.
3.       Mengintegrasikan proses belajar dengan pengalaman yang nyata dan relevan.
4.        Memberikan kesempatan pada siswa utnuk menentukan isi dan arah belajar mereka sendiri.
5.        Menanamkan belajar melalui pengalaman bersosialisasi.
6.        Mendorong penggunaan berbagai bentuk representasi.
7.        Mendorong peningkatan kesadaran pemalajar dalam proses pembentukan pengetahuan.

Nyoman S. Degeng mengemukakan implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran atas dasar pandangan konstruktivis tentang belajar, yaitu:
1.  Dorong munculnya diskusi terhadap pengetahuan yang baru dipelajari. Pengetahuan baru bukan dijiplak untuk diterima sebagaimana adanya
2.  Dorong munculnya berfikir divergen, kaitan, dan pemecahan ganda, bukan hanya ada satu jawaban yang benar
3. Dorong munculnya berbagai jenis luapan pikiran/aktivitas, seperti: bermain peran, simulasi, debat, dan pemberian penjelasan kepada teman
4. Tekankan pada keterampilan berfikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan merumuskan hipotesis
5.  Kaitkan informasi baru dengan pengalaman pribadi atau pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa
6.  Gunakan informasi pada situasi baru


Model pembelajaran yang sejalan dengan perspektif konstruktivis ini adalah Problem Based Learning (Duffy&Cunningham, dalam Jonassen, 1996).
5.    Desain Pembelajaran
Implikasi konstruktivis pada desain pembelajaran (Bednar et al, dalam Duffy & Jonassen, 1992) antara lain adalah:
1.   Dalam analisis isi pelajaran, Karena pemelajar harus mengkonstruksi pemahaman mereka, maka isi pelajaran tidak dapat dispesifikasi sebelumnya, dan tidak mungkin memisahkan unit-unit informasi atau membuat asumsi a priori tentang bagaimana informasi akan digunakan.
2.   Dalam analisis karakteristik pemelajar, pendekatan konstruktivis juga mengidentifikasi keterampilan pemelajar, akan tetapi tidak mencari kekurngan-kekurangan mereka secara mendetil.
3.      Konstruktivis juga tidak mempunyai tujuan belajar atau kinerja sebagai bagian internal dari domain isi, tetapi mencari tugas-tugas otentik dan membiarkan tujuan yang lebih spesifik muncul dan direalisasikan sebagai hal yang tepat dengan individu pemelajar dalam memecahkan tugas dunia nyata.
4.     Strategi desain makro dan mikro yang biasa digunakan dalam desain pembelajaran tradisional dianggap tidak tepat. Teknik-teknik pembelajaran dalam perspektif konstruktivis adalah:
•    Situating Cognition, yaitu pengalaman belajar perlu disituasikan dalam konteks dunia nyata. Yang dimaksud dengan konteks dunia nyata adalah: (1) tidak ada perincian tugas, (2) tugas dikerjakan atas dasar lingkungan atau informasi di sekitarnya, dan (3) konteks lingkungan adalah penting
•        Cognitive apprenticeship
Guru harus menjadi model bagi siswa dan melatih siswa ke arah kinerja ahli
•        Multiple perspective
Siswa harus belajar untuk mengkonstruksi perspektif jamak atas sebuah isu. Mereka harus berupaya melihat sebuah isu dari sudut pandang yang berbeda-beda.
5.         Strategi sentral untuk mencapai perspektif ini adalah menciptakan lingkungan belajar kolaboratif. Strategi penting kedua adalah penggunaan contoh-contoh (Bednar et al, dalam Duffy & Jonassen, 1992)
6.         Evaluasi dalam perspektif konstruktivis harus menguji proses berfikir. Salah satu tipe evaluasinya adalah dengan meminta siswa memecahkan sebuah masalah dan kemudian mempertahankan keputusan mereka. Tipe lainnya adalah dengan meminta siswa menunjukkan proses belajar mereka sendiri ketika mereka mengkonstruksi pandangan mereka. Dua unsur penting evaluasi ini adalah: (1) perspektif yang dikembangkan oleh tiap-tiap siswa adalah efektif, dan (2) siswa dapat mempertahankan penilaian mereka (Bednar et al, dalam Duffy & Jonassen, 1992).

Khusus tentang bagaimana mendesain evaluasi berdasarkan perspektif konstruktivisme, Jonassen (1991) menyatakan bahwa proses perolehan pengetahuan harus dievaluasi. Menurutnya, mengevaluasi bagaimana pemelajar mengkonstruksi pengetahuan mereka adalah lebih penting dari pada produk yang dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa prosedur evaluasi harus menjadi bagian dari proses pembelajaran. Jonassen juga merasa bahwa evaluasi yang tidak terikat pada tujuan dapat menjadi bagian penting dari pengukuran konstruktivis. Cole (1992) menyatakan bahwa evaluasi proses belajar konstruktif dapat ditingkatkan dengan penambahan beragam evaluator yang berada dalam rentang keahlian pada bidang yang dipelajari dan yang merepresentasikan multiple perspective. Ini memungkinkan guru memainkan peran memfasilitasi pelatihan sementara sumber-sumber eksternal bertanggung jawab terhadap keputusan sumatif.
Wilson et al (1996) menunjukkan ciri-ciri evaluasi dalam perspektif konstruktivis, yaitu:
•   Menyertakan pengukuran dalam produk mengajar yang mungkin
• Mengkritik danmendiskusikan prodek berdasarkan konteks otentik, mencakup potofolio, proyek, karangan, dan kinerja.
•   Mengevaluasi proses dan produk
•   Menggunakan pengukuran informal di dalam kelas dan lingkungan belajar.

Secara umum, menurut Jonassen (1991) implikasi konstruktivisme dalam teknologi pembelajaran adalah:
1.  Tujuan pembelajaran harus dinegosiasi, bukan dipaksakan.
2. Analisis tugas dan isi tidak difokuskan pada pengidentifikasian dan penentuan urut-urutan belajar yang tunggal
3.  Tujuan teknologi pembelajaran tidak diarhkan pada penentuan strategi pembelajaran yang matemagenik
4.  Evaluasi belajar tidak didasarkan pada kriteria


Lebow (dalam Tam, 2000) mengusulkan lima prinsip Mindset baru sebagai nilai-nilai konstruktivis yang mempengaruhi desain pembelajaran, yaitu:
Prinsip 1: Memelihara penyangga antara pemelajar dan potensi efek yang membahayakan dari praktek-praktek pembelajaran dengan:
•      Peningkatan penekanan domain afektif
•      Membuat pembelajaran yang relevan dengan pemelajar
•   Membantu pemelajar mengembangkan keterampilan, sikap, dan keyakinan yang mendukung self-regulation dari proses belajar
•     Menyeimbangkan kecenderungan untuk mengontrol situasi belajar dengan keinginan untuk meningkatkan otonomi personal
Prinsip 2: Memberikan konteks bagi belajar yang mendukung otonomi dan keterhubungan
Prinsip 3: Melekatkan alasan untuk belajar ke dalam aktivitas belajar itu sendiri
Prinsip 4: Mendukung self-regulated learning dengan meningkatkan keterampilan dan sikap yang memungkinkan pemelajar mengasumsikan peningkatan tanggung jawab bagi berkembangnya proses restrukturisasi.
Prinsip 5: Memperkuat kecenderungan pemelajar untuk terlibat dalam proses belajar intensional, khususnya dengan mendorong eksplorasi kesalahan yang strategis.

Dalam mewujudkan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivis tersebut, Willis (dalam Tam, 2000) menawarkan model desain instruksional Construktivis-Interpretivis, dengan ciri-ciri sbb:
1.         proses desain bersifat rekursif, tidak linier, dan terkadang kacau
2.         perencanaannya bersifat organik, pengembangan, reflektif, dan kolaboratif
3.         tujuan muncul dari kerja desain dan pengembngan
4.         tidak memerlukan ahli ID umum
5.         Pembelajaran menekankan belajar dalam konteks yang bermakna (tujuannya adalah pemahaman personal dalam konteks yang bermakna)
6.         pentingnya evaluasi formatif
7.         data subjektif menjadi sangat bernilai

McClintock (dalam Sulton, 1998) juga mengemukakan satu bentuk model desain belajar yang didasarkan pada penataan lingkungan belajar, yaitu Interpretation Construction Approach (ICON) Design Model. Tujuh aktivitas belajar dalam model desain tersebut adalah:
1.         Observasi. Pemelajar harus mengadakan observasi benda nyata yang berada di sekitarnya dalm situasi yang nyata
2.         Membangun interpretasi. Pemelajar membangun interpretasi dari observasi dan membangun argumen untuk kesahihan interpretasi mereka
3.         Kontekstualisasi. Pemelajar mendapatkan masukan latar belakang dan konteks materi dari berbagai macam bentuk interpretasi dan argumentasi
4.         Pembelajaran suatu keahlian kognitif (cognitif apprenticiship). Pemelajar menyajikan hasil belajar pada guru untuk penyempurnan observasi, interpretasi, dan kontekstualisasi
5.         Kolaborasi. Pemelajar bekerjasama dalam observasi, interpretasi, dan kontekstualisasi
6.         Berbagi interpretasi. Pemelajar mendapatkan kebebasan kognisi dalam menyampaikan berbagai interpretasi
7.         Berbagai manifestasi. Pemelajar mendapatkan berbagai kemampuan melalui meliht berbagai manifestasi dari interpretasi yang sama.

E.         Penutup
Konstruktivis bukanlah panacea bagi semua masalah pembelajaran dalam pendidikan maupun pelatihan. Konstruktivis juga tidak lebih baik dari teori dan teknologi lainnya. Akan tetapi, konstruktivis dirancang untuk membuat belajar menjadi proses yang lebih realistik dan bermakna.
Sebelum konstruktivisme muncul, praktek-praktek pendidikan lebih banyak dilandasi oleh epistemologi objektivisme yang memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang bersifat pasti dan objektif, dan berada di luar diri individu yang kemudian ditransmisikan melalui proses mengajar oleh guru. Dengan demikian, belajar merupakan proses transfer pengetahuan.
Paradigma konstruktivisme bertentangan dengan pandangan tersebut. Berdasarkan pada pandangan di bidang psikologi, filsafat, dan antropologi, pengetahuan digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat temporer, terus berkembang, tidak objektif, dikonstruksi secara internal, dan diperantarai secara sosial dan kultural. Belajar menurut perspektif ini dipandang sebagai proses pengaturan diri dengan cara mengkonstruksi representasi dan model-model baru sebagai upaya pembentukan pengertian dengan peralatan dan simbol-simbol yang dikembangkan secara kultural, dan selanjutnya menegosiasi pemaknaan tersebut melalui aktivitas, diskursus dan perdebatan sosial kooperatif.

Meski konstruktivisme bukanlah teori tentang mengajar, namun teori ini menunjukkan pengambilan pendekatan yang sangat berbeda dengan pembelajaran yang banyak digunakan di sekolah-sekolah. Paradigma konstruktivisme tentang belajar mengusulkan pendekatan mengajar yang memberikan kesempatan pada pemelajar untuk mengalami secara kongkrit dan berarti secara kontekstual melalui pencarian pola-pola, pemunculan pertanyaan sendiri, dan pengkonstruksian model, konsep, dan strategi mereka sendiri. Ruang kelas dipandang sebagai miniatur masyarakat, yaitu komunitas pemelajar yang terlibat dalam aktivitas, diskursus, dan refleksi. Hirarki tradisional tentang guru sebagai orang yang paling tahu dan pemelajar sebagai orang yang tidak tahu yang dikontrol untuk mempelajari apa yang diketahui guru sudah tidak ada, berganti dengan guru yang hanya berperan sebagai fasilitator dan pemelajar lebih sebagai pemilik ide-ide. Tujuannya adalah otonomi, saling pertukaran hubungan sosial, dan pemberdayaan.


DAFTAR PUSTAKA


Bednar, Anne K, Cunningham D., Duffy, Thomas M., & Perry, J.D. 1992. Theory into Practice: How Do We Link? dalam Duffy, Thomas M. & Jonassen, David H (Eds). Constructivism and The Technology of Instruction. A Conversation, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Degeng, Nyoman S. 1998. Pembelajaran Beradasrkan Pendekatan Kesemrawutan. Jurnal Teknologi Pembelajaran: Teori dan penelitian, Tahun 6 No.3, Desember

Duffy, Thomas M. & Cunningham, D.J. 1996. Constructivism: Implication for The Design and Delivery of Instruction, dalam Jonnasen, D.H. Handbook of Research for Educational Communications and Technology, New York: Simon & Schuster Macmillan

Fosnot, Catherine T. 1996. Constructivism: A Psychology Theory of Learning, dalam Fosnot, Catherine T. (Ed). Constructivism Theory, Perspectives, and Practice, New York: Teachers College, Columbia University

Jonassen, David. H. 1991. Objectivism versus Constructivism: Do We Need a New Philosophical Paradigm? Educational Technology Research and Development, Vol. 39, No.3

Sulton. 1998. Pengelolaan Pembelajaran Berdasarkan Teori Konstruktivis. Jurnal Teknologi Pembelajaran: Teori dan penelitian, Tahun 6 No. 1, April

Tam, Maureen. 2000. Constructivism, Instructional Design, and Technology: Implications for Transforming Distance Learning, http://ifets.ieee.org/periodical/vol_2_2000/tam.html
Wilson, Brent G. (Ed.) 1996. Constructivist Learning Environment, Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publication




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Duga Pemilu Curang, Ramai-ramai Kyai dan Ulama Sampang Desak Bawaslu Gelar Coblos Ulang LAPORAN :  NOVIYANTO AJI SABTU, 17 FEBRUARI 2024 |...