Senin, 09 Oktober 2017

TINJAUAN KOMUNIKASI DALAM HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI SUMATERA SELATAN

TINJAUAN KOMUNIKASI DALAM HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA  DI SUMATERA SELATAN
Dikompilasi oleh Suberia dari tulisan  Yenrizal
Abstract: Relationship among religious communities in South Sumatera always shows its dynamic ripples. Although open conflict triggered by religious problems never happen here, the potential for that conflict might appear any time. One of the causal factors is the strict fanaticism of the people towards their religion together with some mistakes in their communication attributes. Therefore, communication mechanism among religion, which holds togetherness values and high respects to all religious teachings, is very essential. Actually, this is the most important thing that should be considered in plaiting relationship among religious communities, particularly in South Sumatera province.


Kata Kunci : komunikasi, umat beragama, kerukunan, kesamaan maknadiv>
Gelombang reformasi 1998, tepatnya 15-17 Mei, merupakan puncak kerusuhan besar-besaran di Palembang. Aksi yang diikuti penjarahan dan penghancuran toko-toko ini berkembang menjadi tindak anarkis berbau sentimen agama. Toko-toko yang dimiliki oleh etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Guna melindungi diri, toko-toko itupun menghiasi diri dengan lembaran sajadah atau coretan besar “milik muslim” (Sriwijaya Post, 16 Mei 1998).
Secara eksplisit dapat ditangkap makna kelabu tahun 1998 itu, bahwa nama muslim ikut berperan, atau lebih jauh lagi adalah perseteruan antara muslim dan non-muslim. Padahal akar masalahnya adalah ketimpangan ekonomi antara penduduk Tionghoa dan pribumi, ditambah kekisruhan sosial politik saat itu. Secara kebetulan pula, etnis Tionghoa umumnya beragama non-Islam dan pribumi beragama Islam.
Makna konkrit dapat ditangkap di sini adalah mengedepankan simbol-simbol agama sebagai sesuatu yang diyakini kesakralannya. Aspek inilah yang menjadi bahasan dalam ilmu komunikasi saat menelaah pola hubungan antar umat beragama. Mengapa masyarakat mesti menggantungkan sajadah ketika terjadi kerusuhan? Mengapa umat Islam mesti tersinggung saat seorang maling tertangkap yang ternyata pakai jilbab? Mengapa pula umat Kristen harus marah ketika gambar salib tidak ditempatkan sebagaimana mestinya? Jawabnya adalah sakralisasi simbol-simbol agama. Inilah yang kemudian begitu mudah memicu terjadinya konflik antar umat beragama.
                Konflik antar masyarakat di Sumatera Selatan juga pernah terjadi, tepatnya pertengahan 1980 yang melibatkan antara masyarakat etnis Bali dengan penduduk asli di daerah Ogan Komering Ulu. Isu yang berkembang adalah pertikaian antara warga Hindu (etnis Bali) dan kaum Muslim (penduduk asli). Persoalan yang mendasar sebenarnya adalah, lagi-lagi, ketimpangan ekonomi. Penduduk etnis Bali umumnya menguasai sentra-sentra perekonomian masyarakat, seperti usaha transportasi, perikanan, perdagangan, dan pertanian. Hanya saja, karena warga Bali umumnya beragama Hindu, berkembang isu tentang konflik antar agama. Sampai sekarang, persaingan antara kedua etnis ini terus berlangsung, walau tidak sampai menjadi konflik terbuka.
                Sebuah pertanyaan bisa diajukan, mengapa faktor agama begitu mudah masuk dalam hubungan yang terjadi di masyarakat, khususnya antara muslim dan non-muslim. Pertanyaan ini sebenarnya menjadi masalah yang terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia. Di tempat lain, mungkin intensitasnya lebih menonjol, sedangkan untuk Sumatera Selatan, cenderung berada di bawah permukaan.
                Sesuatu yang sering menjadi penyebab munculnya kondisi beragama demikian, diyakini berbagai kalangan sebagai bentuk fanatisme berlebihan dan sikap dogmatis beragama. Padahal alasan sesungguhnya adalah untuk memperebutkan identitas dan sumber-sumber kehidupan materialistik sehingga kesadaran kolektif kemanusiaan sekarang ini terkeping-keping dan tidak lagi mencerminkan keharmonisan.
                Pengamatan lebih mendalam di Sumatera Selatan, memperlihatkan heterogenitas daerah ini. Agama yang banyak eksis di masyarakat adalah Islam, Kristen Khatolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, dan Khong Hu Cu. Etnis yang hidup di daerah ini, yang dominan adalah, etnis asli (Komering, Ogan, Musi, Semendo, Lematang, Palembang), etnis Arab, Tionghoa, Minang, Batak, dan Jawa. Uniknya pula, antara agama dan etnis sulit dipisahkan, karena stereotip yang berkembang mengidentikkan etnis dan agama, seperti penduduk asli, Arab, Minang adalah muslim, sedangkan Tionghoa, Batak, sebagian Jawa adalah non muslim. Jika terjadi benturan antar etnis, dengan cepat akan berkembang menjadi antar agama.
                Sebenarnya juga masalah dalam kehidupan beragama, tidak hanya terjadi antar umat beragama. Di Islam sendiri sebagai agama terbesar di Sumatera Selatan, memiliki ragam pemahaman dari pemeluknya sendiri. Secara umum dapat dilihat dari perbedaan paham antara penganut Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama (NU), atau antara sebagian kalangan muda yang sudah berpikiran moderat dan kritis dengan golongan lain yang masih menekuni pakem-pakem tradisional dalam beragama. 
Sejarah dan Pola Pembauran
Secara historis, riak-riak dan keragaman kehidupan beragama di Sumatera Selatan merupakan perjalanan yang berliku. Palembang dulunya dikenal sebagai pusat pertumbuhan agama Budha. Periode ini ditandai dengan munculnya pusat pendidikan agama Budha, dengan para guru besarnya yaitu, Syakhyakirti, Dharmakirti, dan Dharmapala. Selanjutnya masuklah kebudayaan Hindu, terutama saat perjalanan etnis Asia Selatan yang menyebarkan bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa. Masa ini masih masuk dalam era pre-historis, terutama zaman perunggu (Ensiklopedi Indonesia, 1991). Ketika masa keemasan Sriwijaya berlangsung, berbagai suku bangsa lain masuk ke Sumatera Selatan. Mereka membentuk pemukiman tersendiri yang terdiri dari etnis Tiongkok, Arab, Parsi, Turki, dan beberapa daerah lain di nusantara. Peristiwa yang terjadi sekitar abad ke-13 M ini dapat dilacak dari keberadaan Prasasti Kedukan Bukit. Masa-masa keemasan Sriwijaya mulai menyusut dan Palembang kemudian dikuasai oleh pengaruh Jawa, Majapahit (Jalaludin 2005).
                Abdullah (1992, hlm. 105) menyebutkan periode masuknya Islam di Palembang berlangsung sekitar tahun 1440 M, yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab, India, dan Parsi  Mereka mengitari pantai timur Sumatera dengan menjalankan tugas ganda, berdagang sambil menyiarkan agama Islam. Masa-masa inilah para pendakwah melakukan perjalanannya mengitari pedalaman Sumatera Selatan melalui jalur sungai.

                Alfitri (2005) menyebutkan bahwa agama-agama lain juga memasuki wilayah Sumatera Selatan. Hal ini disebabkan posisi strategis dan menjanjikan dari wilayah ini. Agama Nasrani mulai berkembang ketika era penjajahan memasuki Sumatera Selatan. Saat itu, sebenarnya di Palembang masih berkuasa kekuasaan Kesultanan Islam di bawah Sultan Mahmud Badaruddin. Namun melalui ekspansi perdagangan dan militer dari penjajah Hindia Belanda, kekuasaan ini kemudian takluk. Sejak itu pula masuknya misi zending Belanda dengan mengedepankan misionarisnya. Berawal dari masa ini juga mulai terjadi konflik antara penduduk pribumi dan penjajah Belanda, yang akhirnya membawa-bawa nama agama. Asumsi yang dikedepankan, para penjajah adalah non-Islam dan kafir.
                Terlihat juga dari perjalanan sejarah yang ada, tidak ditemukan catatan-catatan yang memperlihatkan konflik antar umat beragama di Sumatera Selatan. Pertikaian dan konflik yang terjadi umumnya didasarkan atas masalah non agama, seperti batas wilayah, perebutan sumber daya alam, kekuasaan, persaingan ekonomi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena penyebaran agama-agama di Palembang tidak menggunakan metode paksaan, tetapi melalui jalur perdagangan dan pendidikan (Alfitri, hlm.2005).
                Proses adaptasi dan pembauran berlangsung secara alami, seperti melalui kawin campur, faktor pekerjaan, perdagangan, maupun kesamaan agama. Contohnya, pembauran kelompok masyarakat Arab (Ayib) dengan warga Palembang di kawasan Pasar Kuto, Kelurahan 9 Ilir. Secara evolutif, etnis Arab ini mengadopsi budaya dan adat istiadat Palembang, bahkan dalam pemakaian bahasapun mereka kerap memakai pakem-pakem bahasa Palembang asli. Hal ini berbeda dengan etnis Tionghoa yang cenderung mengelompok dan terkesan ekslusif. Budaya dan tradisi merekapun sulit untuk berbaur dengan warga setempat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan agama yang mereka anut yaitu, Budha, Khong Hu Cu dan Kristen. Karena itu, ketika terjadi konflik antara penduduk asli dan etnis Tionghoa, yang sebenarnya soal kesenjangan ekonomi, dengan cepat akan mengarah pada pertikaian agama.
Pembauran etnis Tionghoa sulit berlangsung baik karena masih dipegangnya nilai-nilai budaya kedaerahan serta norma-norma agama berbeda dari masing-masingnya. Sesuatu yang tampak secara nyata adalah pemahaman secara ketat terhadap simbol-simbol agama dan kebudayaan. Secara fisik juga terdapat perbedaan antara etnis Tionghoa dengan pribumi, terutama dari bentuk mata dan warna kulit. Bahkan lebih  jauh lagi adalah ketimpangan ekonomi dan gaya hidup eksklusif dari sebagian etnis Tionghoa.
Tinjauan Komunikasi Antar Agama
                Komunikasi adalah pemaknaan pesan antar pelaku komunikasi. Pandangan ini didasarkan atas teori Interaksionisme Simbolik, dimana masyarakat disebut sebagai makluk simbolik yang selalu memaknai dan mempertukarkan simbol-simbol (Mulyana, 2001). Sesuatu belum mempunyai arti jika manusia belum memberinya makna. Tinggi rendahnya dan sakral atau tidaknya sesuatu, tergantung bagaimana manusia memberinya makna.
                George H. Mead (1972) menyebutkan bahwa manusia sangat terikat dalam memberikan makna terhadap lingkungannya. Ia menyebutkan konsep mind, self, society, sebagai bentuk keterlibatan individu dalam mempengaruhi lingkungannya. Inilah yang kemudian menjadi dasar dalam melihat bagaimana konsep “diri” antar pelaku komunikasi, dalam hal ini umat beragama berperanan membentuk hubungan. Mead menyebutkan bahwa proses komunikasi dapat berjalan baik jika terdapat kesamaan pemaknaan terhadap simbol-simbol yang ada. Semakin sama makna yang diberikan, maka makin efektiflah proses yang berlangsung.
                Pandangan Mead di atas menjadi landasan secara teoritis tentang bagaimana konsep hubungan antar umat beragama berlangsung. Tesis yang bisa dimunculkan adalah, semakin dekat kesamaan pemaknaan terhadap simbol-simbol agama maka makin harmonislah hubungan yang berlangsung. Kesamaan makna ini tidak mesti  dalam memaknai harfiah sesuatu simbol, namun adalah bagaimana masing-masing pihak dapat menghargai simbol-simbol yang dimaknai berbeda oleh masing-masing umat beragama. Kesalahan-kesalahan dalam menghargai simbol-simbol yang dimiliki oleh umat beragama inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik antar umat beragama.
                Mengenai konflik umat beragama ini, secara teoritis dan praktis belum ada pemetaan potensi konflik beragama di Sumatera Selatan. Namun demikian, gejolak-gejolak kehidupan beragama tetap terlihat. Alfitri (2005) pernah membuat pemetaan singkat berdasarkan karakteristik wilayah tempat berdomisili. Ia membagi tiga karakteristik masyarakat yang berpeluang munculnya konflik beragama di Sumatera Selatan, yaitu :
  1. Komunitas perkotaan dengan tingkat keragaman cukup tinggi, kehidupan yang kompleks, dan interaksi yang tinggi. Contohnya pada daerah, Palembang, Prabumulih, Lubuk Linggau, Baturaja, Martapura, Lahat, dan Muara Enim.
  2. Komunitas kolonisasi dan transmigrasi, dengan jumlah pendatang yang cukup dominan bersentuhan dengan penduduk lokal. Contohnya daerah Belitang, Batu Marta, Tugumulyo, Megang Sakti, Jayaloka, Lempuing, Makarti Jaya, dan Pulau Rimau.
  3. Komunitas pedesaan yang dijadikan perluasan industri. Penduduk lokal di kawasan ini bersinggungan dengan pendatang yang umumnya bekerja di perusahaan industri. Seperti di Tanjung Enim, Gelumbang, Batang Hari Leko, Sungai Lilin, Kikim, Cecar.
Sementara itu, dalam pandangan ilmu komunikasi dengan perspektif interaksionisme simbolik, dapat dilihat beberapa kondisi yang dapat berpotensi menyebabkan konflik  beragama di Sumatera Selatan yaitu :
a.        Stereotip yang mengidentikkan kesatuan etnis dengan agama tertentu
Stereotip adalah persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Kelompok ini mencakup kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua, atau orang-orang dengan ragam profesi (Samovar dan Porter dalam Mulyana, 2001;218). Atau bisa juga dikatakan menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka.
Contoh-contoh di masyarakat banyak menunjukkan sikap stereotip ini. Seperti, etnis Batak adalah Kristen. Kalau akan bertamu ke rumah etnis Batak, biasanya timbul tanda tanya, apakah akan mengucapkan salam secara muslim atau tidak. Begitupun jika minum dan makan di warung-warung milik etnis Cina, masih ada sedikit keraguan apakah makanan tersebut halal atau tidak. Kecenderungan menstereotipkan berdampak pada sentimen etnis dan agama, dimana jika terjadi konflik berbau etnis akan dengan mudah masuk dalam konflik agama. Sumatera Selatan membuktikan ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, dan konflik warga keturunan Bali dan penduduk asli di Ogan Komering Ulu.
b.       Fanatisme simbol-simbol agama
Gejala ini sudah merupakan fenomena umum. Inilah yang dikatakan beberapa ahli bahwa fanatisme terhadap simbol terkadang melebihi pemahaman terhadap hakikat agama itu sendiri. Kaum dominan (Islam) terkadang lebih leluasa dan bebas dalam penggunaan simbol-simbol agamanya. Umat muslim sangat terikat dengan “kesakralan” masjid, jilbab, kopiah/peci, kaum pria berjenggot.
Kasus-kasus yang memperlihatkan konflik berdasarkan fanatisme simbol-simbol agama, biasanya tidak muncul secara frontal. Persoalan yang bersifat melecehkan agama tertentu tidak muncul ke permukaan. Artinya, disini ada konsep toleransi dari umat agama lain. Akan tetapi beberapa waktu lalu sempat terjadi ketegangan di salah satu kabupaten di Sumatera Selatan, ketika beberapa karyawan sebuah perusahaan melakukan tindak yang dianggap melecehkan masjid.
c.        Pewarisan nilai-nilai luar dalam beragama
Kenyataan ini sebenarnya pola pendidikan yang berlangsung umum di berbagai kalangan masyarakat. Kultur setempat sangat mempengaruhi sekali terhadap aspek ini. Istilah yang kemudian berkembang adalah agama warisan. Metode pengajarannya lebih dominan pada ritual-ritual agama, dengan indikator keberhasilan adalah ramai atau tidaknya rumah ibadah. Di beberapa daerah Musi Banyuasin, salah satu wilayah pedesaan Sumatera Selatan, ada anggapan umum bahwa mempelajari agama (Islam) adalah sekedar ritual rukun iman dan rukun Islam. Terbukti dengan masjid yang megah dan umatnya selalu datang, namun tingkat kriminal juga relatif tinggi. Minuman keras tetap banyak dilakoni kaum muda, sementara mereka yang sudah beranjak tua, lebih banyak di rumah dan di masjid.
Hal seperti ini menunjukkan bahwa nilai-nilai fundamental dari suatu agama tidak ditonjolkan. Masyarakat dibiasakan untuk terikat dengan simbol-simbol agamanya. Paling mudah kalau kita lihat bagaimana pendidikan anak di rumah, dimana orang tua akan memberikan ancaman-ancaman hukuman seperti masuk neraka, jika anak tidak mau baca Al Qur’an.
                Beberapa faktor penyebab dan potensi konflik di atas, sebenarnya bermuara pada satu hal, yaitu fanatisme beragama dan pemaknaan dangkal terhadap ajaran agama. Kenyataannya, rasa beragama di masyarakat masih terbatas pada sisi-sisi luar sebuah agama, sehingga yang muncul adalah egoisme beragama. Max Weber (O’Dea, 1990;20) pernah menegaskan hal ini dengan berkata bahwa, konsepsi-konsepsi beragama muncul dari keterbatasan manusia dan digunakan untuk pengembangan masyarakat.
                Dalam hal ini dapat kita berikan beberapa catatan mengenai kondisi hubungan antar umat beragama di Sumatera Selatan, dilihat dari aspek komunikasi dan pemaknaan simbol-simbol beragama. Catatan yang akan diberikan bisa menjadi sebuah analisis lebih lanjut tentang bagaimana semestinya menjalin hubungan antar agama yang harmonis dan seimbang.
                Catatan pertama adalah, pemahaman esensi beragama melalui pengkajian terhadap makna-makna universal dari suatu agama. Hal ini perlu dikembangkan dengan semangat pluralisme dan keragaman. Sebuah pandangan menarik bisa kita lontarkan dengan mengemukakan istilah “Tuhan semua agama”. Artinya, masing-masing agama memiliki Tuhan yang sama, kendatipun namanya bisa berbeda. Begitu juga dengan ritual-ritual yang kerap berbeda, padahal tujuan yang ingin dicapai mempunyai kesamaan. Umat Kristen bersembahyang di Gereja selalu mendoakan kebahagiaan hidup di dunia. Umat Islam juga beribadah di masjid dengan doa yang sama. Perbedaan hanya pada ritual dan proses yang berlangsung.
Catatan terhadap kondisi di atas bisa dipadukan dengan nilai-nilai budaya lokal yang ada yang cenderung mengedepankan aspek-aspek kebersamaan dan gotong royong. Tradisi-tradisi yang masih melekat di pedesaan, seperti kebersamaan dalam pesta pernikahan, pemakaman, menjaga kampung, panen dan sebagainya, membebaskan batasan-batasan etnis dan agama. Selagi kelompok pendatang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai lokal, maka integrasi nilai-nilai dalam masyarakat akan tetap berlangsung.
Catatan selanjutnya adalah perkembangan tingkat pendidikan yang semakin membaik di masyarakat. Hal ini akan berpengaruh terhadap tumbuhnya kesadaran akan kebersamaan. Orientasi yang berkembang tidak lagi soal ajaran-ajaran dogmatis sebuah agama, namun mengarah pada sisi duniawi dan kerukunan hidup bersama. Hal ini juga memupuk munculnya sikap toleransi dan kompromi-kompromi dalam bersikap. Masyarakat tidak lagi memahami agama secara “buta”, namun muncul kesadaran sosial. Weber (O’Dea 1990, hlm. 109) menyebutkan munculnya fenomena stratifikasi sosial dalam beragama. Ia menegaskan bahwa dalam masyarakat akan muncul kelas-kelas beragama, yang memperlihatkan kecenderungan ke arah agama keselamatan, akhirnya ke arah agama etika rasional. Bagi masyarakat dalam stratifikasi sosial rendah, akan memandang agama dari sudut “balasan” yang akan diterimanya. Karena itu, biasanya muncul sikap fanatisme kuat, ritual ibadah yang ketat, dan sikap emosional dalam beragama. Kelompok ini cenderung berhadapan dengan kelompok menengah ke atas yang lebih rasional dalam melihat agama. Namun pada kelompok rasional (ditandai dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi), muncul sikap kompromi. Mereka tidak mempercayai secara kaku sesuatu yang disebut “etika pembalasan”, lebih berorientasi pada sisi rasional. Karena itu, kalaupun mereka menerima desakan dari kalangan menengah-bawah, itu hanya karena toleransi untuk stabilitas sosial.
Perkembangan dunia pendidikan telah memberikan akses besar bagi masyarakat untuk mengembangkan konsep berpikirnya, sehingga di daerah-daerah pedesaan mulai muncul kelompok-kelompok muda yang lebih moderat. Mereka tetap mematuhi nilai-nilai lama, namun menerimanya sebagai bentuk kompromi demi stabilitas bersama. Realitas-realitas seperti ini mulai hadir di masyarakat, kendatipun belum mendominasi. Jalaludin (2005) menyebutnya sebagai bentuk kerukunan semu, karena wilayah Sumatera Selatan sangat multietnis dan agama. Kompromi-kompromi itu sulit bertahan lama, dan konflik tetap berpeluang muncul.
Catatan selanjutnya adalah pesatnya dorongan budaya massa dan perubahan orientasi beragama. Budaya massa adalah bentuk kebudayaan yang dibawa oleh media massa, dibesarkan media, dan biasanya tidak bertahan lama (McQuail 1996, hlm. 67). Bentuk kebudayaan ini, berjalan simetris dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi. Penyerap utama budaya ini adalah kaum muda perkotaan, begitu juga di pedesaan walaupun dalam intensitas yang tidak terlalu besar. Ciri khas yang ditonjolkan adalah orientasi duniawi, kesenangan, dan sikap konsumtif. Dampak negatif yang timbul adalah pandangan masyarakat akan mengarah pada sisi kesenangan, hura-hura, orientasi kesuksesan materi, dan mengaburkan ikatan-ikatan ideologis yang dianut sebelumnya.
Pesatnya perkembangan budaya massa berdampak pada pengaburan batasan-batasan ideologis agama. Latar belakang agama, etnis, asal-usul, tidak lagi jadi persoalan. Terbukti, walaupun si penyanyi beraksi di panggung dengan gantungan salib kecil di leher (simbol agama Kristen), toh penontonnya yang berpakaian jilbab (simbol agama Islam) tetap mengelu-elukannya. Wahyu Wibowo (2003, hlm.16) menyebutnya manusia tragik dalam masyarakat urban kosmopolit.  Manusia yang tidak memiliki daya untuk menunjukkan identitas dirinya, dan selalu bergantung pada sisi kesuksesan orang lain.
Sisi negatif budaya ini memang menonjol, yaitu munculnya pengaburan nilai-nilai luhur yang ada sebelumnya. Namun di sisi lain, ini justru menyatukan semua etnis dan agama dalam sebuah kelompok budaya besar. Eksklusifitas tidak terlihat, karena batasan-batasan yang ada akan mengabur dan melebur. Dalam hal inilah, potensi kerukunan itu muncul, karena adanya visi duniawi yang sama, dipersatukan oleh ikon-ikon budaya masa. Orientasi beragama juga akan bergeser menjadi penguat budaya yang diciptakan, dan bahkan metode-metode pengajaran agama juga bergeser mengikuti pola-pola budaya massa. Agama tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, tidak tersentuh, eksklusif, namun hadir sebagai sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan (secara materi). Ini terlihat dari maraknya ajang-ajang adu bakat bernuansa agama, seperti kontes da’i, festival nasyid, zikir bersama, dan pengajian yang dilaksanakan di hotel-hotel mewah.
Catatan-catatan di atas hanyalah sekelumit kenyataan bagaimana realitas perbedaan dalam kehidupan beragama bisa diminimalisir dan dijadikan sebuah prospek yang bisa menciptakan kerukukan. Di Sumatera Selatan sendiri, daerah yang sangat heterogen dan berpotensi konflik yang besar, semestinya memperhatikan catatan-catatan yang ada tersebut.
Pola komunikasi antar agama mensyaratkan adanya kesamaan pemaknaan dan niat yang sama-sama untuk menciptakan kondisi keharmonisan. Perbedaan-perbedaan yang mungkin terjadi sebaiknya dijadikan sebagai sebuah semangat untuk menciptakan kebersamaan. Sebagai penutup, dapat kita petik sebuah pandangan menarik dari Azyumardi Azra (Jalaludin 2005), bahwa untuk memudahkan berlangsungnya proses kerukunan beragama, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu, (1) Harus dicegah sikap agresif pemuka agama. Beberapa pemuka agama selama ini disinyalir sering bersikap over protective dan selalu mengklaim kebenaran agamanya masing-masing. Ini berdampak pada pengikutnya yang melahirkan fanatisme berlebihan. (2) Mencegah organisasi-organisasi keagamaan untuk menambah kuantitas anggotanya dengan cara paksa. (3) Mencegah disparasi ekonomi antara para penganut agama yang berbeda.
Kesimpulan akhir yang bisa kita ambil adalah, kerukunan beragama merupakan sebuah semangat yang lintas disiplin dan banyak pemahaman. Aspek komunikasi mensyaratkan adanya kesamaan pandangan dan keinginan untuk menghargai perbedaan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Ma’oen. 1992. Sejarah Daerah Sumatera Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – bagian Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Provinsi Sumatera Selatan, Palembang.
Alfitri. 2005. Peta Kehidupan Beragama dan Kerukunan Antar Umat Beragama di Sumatera Selatan, makalah disampaikan pada seminar Peningkatan Kehidupan Beragama dan Kerukunan Antar Umat Beragama di Sumatera Selatan, LKPD, Fak. Dakwah IAIN Raden Fatah, tanggal 25 Juni 2005.
Grose, George B dan Benjamin J. Hubbard (ed.). 1998. Tiga Agama Satu Tuhan, Sebuah Dialog, Penerbit Mizan, Bandung.
Isre, Moh. Soleh (ed.). 2003. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer,  Balitbang dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama Departemen Agama RI, Jakarta.
Jalaludin. 2005. Merajut Keharmonisan di Bingkai Harapan, makalah disampaikan pada seminar Peningkatan Kehidupan Beragama dan Kerukunan Antar Umat Beragama di Sumatera Selatan, LKPD, Fak. Dakwah IAIN Raden Fatah, tanggal 25 Juni 2005.
McQuail, Dennis. 1996. Teori Komunikasi Massa, penerjemah Agus Dharma dan Aminudin Ram, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1996.
Mead, George H. 1972. Mind, Self, and Society, The University of Chicago Press, Chicago and London.
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Penerbit Remaja Rosda Karya, Bandung.
O’Dea, Thomas F. 1990. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Press, Jakarta.
Peeters, Jeroen. 1997. Kaum Tuo-Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, INIS, Jakarta.
Robertson, Roland (ed.). 1995. Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Penerbit Rajawali, Jakarta.
Shadily, Hassan dkk. 1991. Ensiklopedi Indonesia, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Soekamto, Soerjono. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.
Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan, Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Masyarakat Urban Kosmopolit, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.



§ Yenrizal adalah dosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Fatah Palembang. Menyelesaikan Pragram Magister Saint pada PPs. Universitas Padjajaran Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Duga Pemilu Curang, Ramai-ramai Kyai dan Ulama Sampang Desak Bawaslu Gelar Coblos Ulang LAPORAN :  NOVIYANTO AJI SABTU, 17 FEBRUARI 2024 |...