Senin, 28 Agustus 2017

Konsep Kesinambungan dan Perubahan sebagai Landasan Kesadaran Sejarah

Konsep Kesinambungan dan Perubahan
sebagai Landasan Kesadaran Sejarah
Mengamati peristiwa-peristiwa sejarah kehidupan umat manusia, baik yang menyangkut aspek agama, ekonomi, lebih-lebih aspek sosial dan intektual, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya semua fenomena itu selalu mengalami kesinambungan dan perubahan. Dalam sejarah Agama Islam misalnya, jelas sebutkan bahwa ajaran Islam sesungguhnya merupakan ajaran agama yang sebelunya telah dianut oleh Nabi Ibrahim, ada hubungannya dengan ajaran Nabi Nuh, Nabi Daud dan seterusnya (Esack, 1997 : 155-172).

Bukti kesinambungan itu bisa dibuktikan dari pernyataan al-Qur’an dan juga dengan diakuinya ka`bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim sebagai salah satu simbol penting agama Islam. Ajaran tentang berkurban yang dianjurkan oleh Islam, juga merupakan ajaran yang telah dilaksanakan sejak Nabi Adam AS, ajaran puasa demikian juga telah ada sebelum agama Islam. Namun demikian ajaran-ajaran itu, selain mengalami kesinambungan, tetapi juga mengalami perubahan, misalnya tentang ajaran qurban, pada masa Nabi Adam AS berbeda dengan ketika masa Nabi Ibrahim dan berbeda pula ketika masa Nabi Muhammad dan tentu juga berbeda atau mengalami perkembangan ketika pada masa kontemporer sekarang. Pada masa Nabi Adam AS, Qurban berupa hewan ternak dan makanan/hasil tanaman, maka pada masa Nabi Ibrahim berupa manusia, dan pada masa Nabi Muhammad berupa hewan ternak saja dan dilaksanakan secara langsung oleh orang yang berkorban, akan tetapi pada masa kontemporer ini qurban dapat berupa uang, dengan cara kolektif dan dilaksanakan secara tidak langsung. Namun demikian, inti ajaran tentang qurban tetap berjalan (berkesinambungan), tidak terputus sama sekali.

Dalam bidang sosial-intelektual demikian juga, mengalami hal yang sama, kesinambungan antara yang purba, ke yang klasik, dan sampai kepada yang kontemporer sekarang ini. Bukti kesinambungan dan perubahan dari fenomena yang purba kepada fenomena yang klasik dapat dilihat dari sejarah para Nabi. Sedangkan sejarah fenomena yang klasik kepada fenomena komtemporer dapat dilihat dari jaringan sejarah sosial dan intelektual yang telah dibuat oleh para tokoh terkemuka di bidang sejarah sosial-intelektual, seperti Azyumardi Azra, Martin Van Bruinessen, dan lain-lain. 

Studi tentang kesinambungan ini sesungguhnya telah mentradisi di dalam keilmuan Islam klasik, seperti ilmu Hadits Riwayah, ilmu Hadits Dirayah yang mementingkan analisis al-ada’, dan al-tasalsul (al-Tahammal)(Al-Kahtib, 1987). Dalam bidang tasawwuf, dengan adanya proses ijazah dan bai’at antara guru dan murid. Semua itu sebagai upaya secara sitematis bagaimana kesinambungan sejarah itu dibangun, dan individu-individu yang dipilih untuk menjadi pelopornya adalah mereka yang betul-betul mempunyai potensi dan kompetensi tinggi.


Dengan memahami fenomena kesinambungan dan perubahan ini, seharusnya menjadi kesadaran kolektif bahwa setiap fenomena sosial sesungguhnya bukan hal baru yang tidak mempunyai akar sejarah sama-sekali. Memang, wujud atau karakter mungkin saja sama sekali baru, tetapi bila dilihat dari makna, nilai dan koneksinya dengan realitas sosial secara historis humanitis, tetap mempunyai koneksi-koneksi tertentu. 

Dalam konteks pendidikan misalnya, perguruan tinggi merupakan kesinambungan lembaga pendidikan menengah, lembaga pendidikan menengah merupakan kesinambungan dari lembaga pendidikan dasar, lembaga pendidikan dasar merupakan kesinambungan dari pendidikan dalam keluarga dan pendidikan keluarga merupakan kesinambungan dari pendidikan keluarga sebelumnya dan seterusnya sampai ke belakang hingga ke fenomena yang sangat klasik dan purba. Demikian juga dengan model pendidikan modern, sesungguhnya merupakan kesinambungan dari model pendidikan tradisional, dan model pendidikan tradisional merupakan kesinambungan dari model pendidikan klasik, dan model pendidikan klasik juga merupakan kesinambungan dari model pendidikan purba. 

Hanya saja, setiap proses kesinambungan dari fase-fase tertentu, sebenarnya ada bias-bias historisnya masing-masing. Bias historis itulah yang sesungguhnya merupakan karakteristik yang dimiliki dan sekaligus sebagai bentuk perubahan yang terjadi. Dengan menyadari proses kesinambungan dan perubahan ini, maka akan terjadi proses demitologi yang dengannya menganggap bahwa perubahan itu merupakan proses yang sunnatullah dan tidak dimulai dari hal yang kosong, akan tetapi tetap saja terkait dengan tradisi yang ada sebelumnya.  

  Duga Pemilu Curang, Ramai-ramai Kyai dan Ulama Sampang Desak Bawaslu Gelar Coblos Ulang LAPORAN :  NOVIYANTO AJI SABTU, 17 FEBRUARI 2024 |...