Konsep Kesinambungan dan Perubahan
sebagai Landasan Kesadaran Sejarah
Mengamati peristiwa-peristiwa sejarah kehidupan umat
manusia, baik yang menyangkut aspek agama, ekonomi, lebih-lebih aspek sosial
dan intektual, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya semua fenomena itu selalu
mengalami kesinambungan dan perubahan. Dalam sejarah Agama Islam misalnya,
jelas sebutkan bahwa ajaran Islam sesungguhnya merupakan ajaran agama yang
sebelunya telah dianut oleh Nabi Ibrahim, ada hubungannya dengan ajaran Nabi
Nuh, Nabi Daud dan seterusnya (Esack, 1997 : 155-172).
Bukti kesinambungan itu bisa dibuktikan dari pernyataan
al-Qur’an dan juga dengan diakuinya ka`bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim
sebagai salah satu simbol penting agama Islam. Ajaran tentang berkurban yang
dianjurkan oleh Islam, juga merupakan ajaran yang telah dilaksanakan sejak Nabi
Adam AS, ajaran puasa demikian juga telah ada sebelum agama Islam. Namun
demikian ajaran-ajaran itu, selain mengalami kesinambungan, tetapi juga
mengalami perubahan, misalnya tentang ajaran qurban, pada masa Nabi Adam AS
berbeda dengan ketika masa Nabi Ibrahim dan berbeda pula ketika masa Nabi
Muhammad dan tentu juga berbeda atau mengalami perkembangan ketika pada masa
kontemporer sekarang. Pada masa Nabi Adam AS, Qurban berupa hewan ternak dan
makanan/hasil tanaman, maka pada masa Nabi Ibrahim berupa manusia, dan pada
masa Nabi Muhammad berupa hewan ternak saja dan dilaksanakan secara langsung
oleh orang yang berkorban, akan tetapi pada masa kontemporer ini qurban dapat
berupa uang, dengan cara kolektif dan dilaksanakan secara tidak langsung. Namun
demikian, inti ajaran tentang qurban tetap berjalan (berkesinambungan), tidak
terputus sama sekali.
Dalam bidang sosial-intelektual demikian juga, mengalami hal
yang sama, kesinambungan antara yang purba, ke yang klasik, dan sampai kepada
yang kontemporer sekarang ini. Bukti kesinambungan dan perubahan dari fenomena
yang purba kepada fenomena yang klasik dapat dilihat dari sejarah para Nabi.
Sedangkan sejarah fenomena yang klasik kepada fenomena komtemporer dapat
dilihat dari jaringan sejarah sosial dan intelektual yang telah dibuat oleh
para tokoh terkemuka di bidang sejarah sosial-intelektual, seperti Azyumardi
Azra, Martin Van Bruinessen, dan lain-lain.
Studi tentang kesinambungan ini
sesungguhnya telah mentradisi di dalam keilmuan Islam klasik, seperti ilmu
Hadits Riwayah, ilmu Hadits Dirayah yang mementingkan analisis al-ada’, dan
al-tasalsul (al-Tahammal)(Al-Kahtib, 1987). Dalam bidang tasawwuf, dengan
adanya proses ijazah dan bai’at antara guru dan murid. Semua itu sebagai upaya
secara sitematis bagaimana kesinambungan sejarah itu dibangun, dan
individu-individu yang dipilih untuk menjadi pelopornya adalah mereka yang
betul-betul mempunyai potensi dan kompetensi tinggi.
Dengan memahami fenomena kesinambungan dan perubahan ini,
seharusnya menjadi kesadaran kolektif bahwa setiap fenomena sosial sesungguhnya
bukan hal baru yang tidak mempunyai akar sejarah sama-sekali. Memang, wujud
atau karakter mungkin saja sama sekali baru, tetapi bila dilihat dari makna,
nilai dan koneksinya dengan realitas sosial secara historis humanitis, tetap
mempunyai koneksi-koneksi tertentu.
Dalam konteks pendidikan misalnya,
perguruan tinggi merupakan kesinambungan lembaga pendidikan menengah, lembaga
pendidikan menengah merupakan kesinambungan dari lembaga pendidikan dasar,
lembaga pendidikan dasar merupakan kesinambungan dari pendidikan dalam keluarga
dan pendidikan keluarga merupakan kesinambungan dari pendidikan keluarga
sebelumnya dan seterusnya sampai ke belakang hingga ke fenomena yang sangat
klasik dan purba. Demikian juga dengan model pendidikan modern, sesungguhnya
merupakan kesinambungan dari model pendidikan tradisional, dan model pendidikan
tradisional merupakan kesinambungan dari model pendidikan klasik, dan model
pendidikan klasik juga merupakan kesinambungan dari model pendidikan purba.
Hanya saja, setiap proses kesinambungan dari fase-fase tertentu, sebenarnya ada
bias-bias historisnya masing-masing. Bias historis itulah yang sesungguhnya
merupakan karakteristik yang dimiliki dan sekaligus sebagai bentuk perubahan
yang terjadi. Dengan menyadari proses kesinambungan dan perubahan ini, maka
akan terjadi proses demitologi yang dengannya menganggap bahwa perubahan itu
merupakan proses yang sunnatullah dan tidak dimulai dari hal yang kosong, akan
tetapi tetap saja terkait dengan tradisi yang ada sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar