Proses Internalisasi, Eksternalisasi dan Obyektifikasi Makna
Normatif Tekstual al-Qur’an dan Hadits dalam Kehidupan Masyarakat
Kontemporer
Mengawali topik ini saya akan mengajukan beberapa pertanyaan
berikut; mengapa seorang muslim yang taat beribadah, tiba-tiba terjebak dalam
kasus korupsi, mengapa seorang ulama tiba-tiba mengobral janji-janji politik
dalam kampanye menyambut pemilu yang ternyata tidak dipenuhinya, mengapa
terdapat banyak orang Islam yang kaya raya, namun kemiskinan di kalangan
umat terus meningkat jumlahnya, mengapa
pendidikan Islam seolah-olah tidak punya kepentingan dengan maraknya peredaran
narkoba, kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, mengapa umat Islam di
Indonesia menjadi mayoritas, namun lembaga pendidikan Islam cenderung
memperihatinkan kondisinya, terakhir mengapa lembaga pendidikan Islam di
Indonesia mempunyai corak yang cukup beragam, ada sekolah Islam, madrasah,
pesantren salafiah, pesantren modern? Jawabannya ada pada uraian berikut
tentang internalisasi, eksternalisasi dan obyektivikasi ajaran Islam.
Internalisasi adalah proses pemaknaan sebuah fenomena,
realitas atau konsep-konsep ajaran ke dalam diri individu. Internalisasi Islam
berarti proses pemaknaan ajaran Islam bagi setiap penganut atau pemeluknya, dan
hasil pemaknaan itu menjadi nilai yang prinsip bagi kehidupannya (Berger, 1990
: 186).
Jadi, hasil dari internalisasi ajaran Islam adalah sebuah
keyakinan atau pandangan dunia (word view) seorang muslim. Bila seorang muslim
taat menjalankan ibadah shalat, dan puasa itu karena didasari keyakinan bahwa
shalat dan puasa adalah salah satu ajaran agama yang harus dilaksanakan tanpa
ada tawar menawar lagi. Perbuatan ibadah inilah baginya yang membedakan dirinya
sebagai seorang muslim dengan orang lain di luar dirinya, sehingga ia selalu
berusaha untuk terus meningkatkan kesadaran itu sampai terjadi kristalisasi
nilai-nilai ajaran itu di dalam pribadinya.
Jika kristalisasi ajaran agama
semakin kental di dalam pribadi pemeluknya, maka hubungan antara pribadi dengan
Tuhan semakin dekat pula, dan orang lain cenderung memandangnya sebagai orang
yang alim, taat beribadah, dan tentu saja akan dipandang sebagai orang yang
mendekati “kesucian”. Dengan kata lain, internalisasi adalah proses individu
memaknai ajaran agama sehingga mempunyai nilai dalam kehidupan pribadinya
dengan berusaha untuk menjadi hamba Tuhan yang taat kepada-Nya. Muslim yang
taat senantiasa berusaha untuk menemukan setiap makna atau nilai dari setiap
ajaran agama, semakin banyak nilai yang dirasakan dari pelaksanaan ajaran
agama, maka semakin intensif pula pelaksanaan ibadah kepada Tuhan. Lalu, timbul
pertanyaan apakah ketaatan kepada Tuhan itu bermakna bagi orang lain? Jawabnya
tergantung pada proses eksternalisasi.
Secara kodrati manusia tercipta sebagai makhluk sosial, oleh
karena itu ia selalu mempunyai kecenderungan untuk memahami dirinya dan
memahami orang lain di luar dirinya, serta berusaha agar orang lain dapat
memahami dirinya, termasuk bagaimana orang lain memahami apa yang diyakininya
sebagai kebenaran, kebaikan, kejahatan, kesalahan, kemuliaan, kehinaan dan
sebagainya
. Namun demikian usaha ke arah memahami orang di luar dirinya juga didorong
oleh keyakinan akan ajaran yang dianut. Jika seorang muslim mengeluarkan zakat
kepada muslim lainnya, hal itu semata-mata sebagai wujud dari pelaksanaan
ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran, begitu juga ketika ia harus
membayar mahal kepada pihak lain untuk dapat menunaikan ibadah haji, atau
ketika ia menafkahkan sebagian hartanya untuk orang lain sesama muslim, itu
semua karena tuntutan kewajiban agama yang harus dilaksanakan. Inilah
sebenarnya yang dimaksudkan dengan eksternalisasi. Jadi, eksternalisasi adalah
bentuk tindakan yang mengikutsertakan orang lain sesama pemeluk agama sebagai
implikasi dari keyakinan agama yang dianutnya.
Jika eksternalisasi itu menyangkut kepada orang lain di luar
penganut ajaran Islam, maka itulah yang dimaksud dengan obyektifikasi
(Kuntowijoyo, 2005 : 63-64). Bila seorang muslim memberikan harta kepada sesama
muslim lainnya, maka semua pihak, baik pemberi maupun penerima sama-sama
memahami dan menyadari kalau perbuatan itu merupakan perintah agama.
Obyektifikasi tidak seperti itu, obyektifikasi meloncat satu langkah lebih jauh
dari sekedar memahami tentang pelaksanaan ajaran agama, akan tetapi juga
sebagai sebuah tanggung jawab kemanusiaan.
Orang Islam boleh memaknai
pemberiannya kepada orang lain sebagai shadaqah, infaq, zakat, dan sebagainya,
tetapi yang terpenting bagaimana orang lain dapat menikmatinya walaupun tidak
harus memahami tindakan itu sebagaimana yang dimaksudkan oleh pemberinya.
Sebaliknya, sebagai pribadi muslim tidak otomatis dapat melaksanakan apa yang
diyakininya sebagai kebenaran, bila berbenturan dengan kebenaran lain yang
dianut anggota masyarakat lainnya, baik muslim maupun non muslim. Artinya,
harus didahului dengan proses adaptasi, akulturasi, kompromi atau paling tidak sosialisasi dengan keyakinan,
tradisi atau budaya lokal, sehingga semua menyadari dan memahami bahkan saling
menghormati tentang realitas sosial yang ada.
Proses seperti itulah, menurut hemat saya yang dialami oleh
Islam dan pendidikan Islam di Indonesia. Islam pertama kali merupakan agama
orang kota (Mekkah dan Madinah) yang berlatar budaya pengembara dan pedagang,
kemudian berkembang menjadi kekuatan politik dengan berdirinya “negara-negara
Islam”. Islam yang pada awalnya menjadi agama orang kota, pedagang, dan menjadi
kekuatan politik itu, kemudian masuk ke Indonesia pertama-tama menjadi agama
para pedagang (sepanjang kawasan pantai Indonesia) kemudian menjadi kekuatan
politik (berdiri kerajan-kerajaan Islam pantai) lalu mejadi agama orang
pedalaman sebagai petani (dimulai dengan berdirinya kerajaan Islam Mataram)
(Yunus, 1996 : 216-221).
Dengan demikian, Islam yang pada awalnya merupakan
agama yang rasional legal-formal karena dianut oleh kelompok masyarakat kota,
pedagang, kemudian menjadi agama yang mementingkan sufisme/magis-mistis karena
dianut oleh kelompok masyarakat pedalaman, petani. Lalu pertanyaannya bagaimana
dengan pendidikan Islam di Indonesia?
Pendidikan Islam di Indonesia, menurut hemat saya mengalami
proses yang hampir sama dengan proses penyebaran Islam itu sendiri. Pada
awalnya pendidikan Islam dilakukan oleh masyarakat kota, pedagang dan penguasa.
Pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia, pusat pendidikan Islam ada di
lingkungan istana, dengan para guru yang juga mempunyai hubungan dekat dengan istana,
atau penguasa (Yunus, 1996 : 221).
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya pusat-pusat
pendidikan Islam mengalami perubahan dari daerah-daerah pedalaman pedesaan
dengan guru yang jauh dari kekuasaan, menyebar ke kota, istana dan penguasa. Hal
ini bisa dilihat dari sejarah pertumbuhan dan penyebaran pesantren
di Indonesia. Pada umumnya, pesantren pada awalnya didirikan di sebuah
desa yang terpencil dengan komunitas masyarakat yang masih sedikit dan biasanya
bersifat tertutup dengan sebuah komplek yang dibangun dengan swadana komunitas
pesantren.
Itulah sebabnya mengapa pada awalnya pesantren merupakan milik
pribadi, dengan “manajemen keluarga”. Kondisi pesantren yang terletak di desa
terpencil, mempunyai komplek tersendiri, dan cenderung tertutup dengan
kepentingan politik dan sosial secara umum, tidak memungut biaya pendidikan,
ditambah lagi dengan seorang tokoh yang mempunyai kompetensi mistis tinggi,
memang sangat sinergis dengan kondisi
realitas masyarakat desa pada umumnya yang secara perekonomian kurang baik,
tidak mau ikut campur soal politik, dan mendambakan keharmonisan sosial.
Ketika terjadi perluasan dan pengembangan daerah-daerah
perkotaan terjadi dimana-mana di tanah air ini, maka pendidikan Islam juga
mendapat imbasnya. Lembaga pendidikan Islam yang lebih bersifat rasional
legal-formal mulai bermunculan, yaitul ahirlah madrasah-madrasah,
sekolah-sekolah Islam yang lebih bersifat terbuka, dengan manajemen organisasi,
bukan manajemen keluarga. Perkembangan bentuk lembaga pendidikan Islam yang
baru ini pada awalnya banyak dipelopori oleh organisasi massa Islam, seperti
Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Washliah, Jama`ah al-Khair, PERTI dan sebagainya.
Perkembangan dan pergeseran ini tidak hanya dari aspek bentuk kelembagaan dan
manajemen, tetapi juga pada aspek orientasi pendidikan, kurikulum, metode
pembelajaran dan juga sistem nilai yang di anut.
Dalam proses perkembangan pendidikan Islam di Indonesia
sebagaimana disebutkan di atas, jika dicermati secara baik, ternyata mengandung
akses dan bias-bias historisnya masing-masing. Artinya, selama proses
perkembangan tersebut, sesungguhnya terjadi “perang nilai”, yakni perang antara
ajaran Islam dengan nilai-nilai budaya setempat, perang antara nilai-nilai
Islam tradisional dengan nilai-nilai modern, perang antara mistis dengan
profan, perang antara ideologi dengan teknologi dan seterusnya. Namun demikian
akhir dari peperangan ini bukan pada kehancuran, tetapi dengan harmonisasi
terhadap semua bias-bias historis tadi.
Maksudnya, ada kompromi antara yang mistis dengan yang profan,
tradisional dengan modern, desa dengan kota, keluarga dengan organisasi, formal
dengan non-formal dan seterusnya.
Harmonisasi tidak hanya dalam bentuk lembaga,
tetapi juga pada aspek orientasi pendidikan, kurikulum, metode, sistem evaluasi
dan juga sistem nilai. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana
nilai hikmah dari proses harmonisasi pendidikan Islam ini menjadi kesadaran
kolektif umat Islam Indonesia, kerangka berpikir seperti apa yang bisa kita
gunakan untuk membangun itu? Menurut hemat saya, jawabnya adalah kesadaran
sejarah, dengan kerangka berpikir integralistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar