Kamis, 24 Agustus 2017

Konstruksi Teoritis Ilmu Pendidikan Islam


.    Konstruksi Teoritis Ilmu Pendidikan Islam
Berkenaan dengan konstruksi teoritis ilmu pendidikan Islam berparadigma al-Qur’an, paradigma Islam, ada beberapa langkah penting yang harus dilalui. Pertama, mengidentifikasi ayat-ayat yang telah dijaring melalui tiga teknik di atas, ke dalam beberapa kategori tertentu. Namun, ayat-ayat yang berhasil diidentifikasi tersebut tetap diberlakukan sebagai data, bukan sebagai doktrin ideologi. Kedua, Mencari pesan normatif ayat-ayat al-Qur’an tadi melalui transendensi makna tekstual dari penafsiran-penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya. Ketiga, melakukankan korepondensi antara fakta sosial yang ada dengan hasil perumusan pesan normatif al-Qur’an yang telah diangkat dari penafsiran kontekstual dan bias historisnya tadi.
Pada tahap pertama, yakni identifikasi ayat-ayat pendidikan akan menghasilkan karakteristik-karakteristik ayat yang berkenaan dengan karakteristik al-Qur’an. Karakteristik yang dimaksud terkait dengan surat-surat dalam al-Qur’an atau berkaitan dengan kisah-kisah historis dalam al-Qur’an, atau amtsal-amtsal yang terkait dengan tokoh tertentu yang dijadikan simbol oleh al-Qur’an. Dengan demikian akan muncul kategorisasi karakteristik ayat-ayat pendidikan berdasarkan surat-surat tertentu dalam al-Qur’an, misalnya karakteristik ayat-ayat pendidikan dalam surat al-Baqarah,


 karakteristik ayat-ayat pendidikan dalam surat Ali `Imran, karakteristik ayat-ayat pendidikan dalam surat al-Kahfi dan seterusnya. Selain dengan melihat surat-surat dalam al-Qur’an sebagai teknik membuat kategori, kategori ayat-ayat pendidikan juga bisa dilakukan dengan konteks tokoh tertentu, sehingga muncul kategori; karakteristik ayat-ayat pendidikan dari kisah Nabi Ibrahim, karakteristik ayat-ayat pendidikan dari kisah Nabi Musa, karakteristik ayat-ayat pendidikan dari kisah Luqman al-Hakim dan  seterusnya. 
 
Pada tahap kedua, yakni Mencari pesan normatif ayat-ayat al-Qur’an  melalui transendensi makna tekstual dari penafsiran penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya. Hal ini terkait dengan konsep kita yang pertama bahwa seluruh ayat-ayat al-Qur’an diperlakukan sebagai data. Teks al-Qur’an yang diperlakukan sebagai data tadi, dipandang sebagai teks yang otonom, sehingga bebas untuk diinterpretasikan oleh siapa saja yang kompeten dan untuk keperluan apa saja yang signifikan. Artinya teks al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk orang, kelompok atau bangsa tertentu, akan tetapi teks al-Qur’an itu pada dasarnya diperuntukkan semua orang, kelompok golongan dan bangsa manapun. Suku Quraisy, atau bangsa Arab hanyalah sekedar salah satu sampel dari desain besar yang dikehendaki oleh Allah. Dari sini barangkali muncul pertanyaan “mengapa teks al-Qur’an berbahasa Arab, dan juga mengapa diturunkan kepada bangsa Arab?”

Teks al-Qur’an berbahasa Arab, karena jelas terkait dengan hubungan antara pemberi dan penerima pesan, yaitu karena Nabi Muhammad sebagai penerima pesan berasal dari bangsa Arab, maka pesan Allah yang berhasil ditangkap olehnya tentu berbahasa Arab. Hal ini lebih disebabkan frame bahasa yang ada pada diri Nabi Muhammad adalah frame bahasa Arab, tidak ada frame bahasa lain di dalam dirinya. Oleh karena itu, dokumentasi wahyu Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad jelas menggunakan dan mengikuti struktur bahasa Arab. 

Dalam hal ini saya tidak mau terjebak pada diskursus apakan wahyu itu sebenarnya memang berupa aksara Arab atau hanya berupa bahasa batin yang ditangkap melalui kecerdasan spiritual belaka. Namun yang jelas bahasa yang digunakan di dalam teks al-Qur’an dipandang sebagai bahasa Arab fushha yang mempunyai nilai sastra sangat tinggi, baik dari segi uslub maupun makna yang terkandung di dalamnya. 

Keindahan uslub dan ketinggian makna teks al-Qur’an inilah yang pada awalnya merupakan daya tarik yang tinggi bagi masyarakat Arab terhadap al-Qur’an, atau Islam pada masa awal kelahirannya. Berangkat dari fenomena inilah akhirnya lahir beberapa cabang ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu al-Qur’an itu. Ketika al-Qur’an direspon oleh ahli-ahli bahasa Arab waktu itu, lahirlah konsep-konsep baru tentang bahasa Arab. Demikian juga ketika makna yang terkandung di dalam al-Qur’an direspon oleh para intelektual pada zaman itu, lahirlah pemahaman-pemahan baru tentang kehidupan umat manusia, khususnya bangsa Arab ketika itu.  
   
Semakin banyak orang, kelompok, atau komunitas yang berinteraksi dengan al-Qur’an, maka semakin banyak pula ragam perspektif dalam memahami al-Qur’an dan akhirnya semakin banyak pula ragam makna yang dihasilkannya. Hal ini disebabkan karena ragam latar belakang intelektual, budaya dan paradigma yang berkembang saat itu ikut perpengaruh di dalamnya. 

Dari keragaman ini lahirlah ilmu-ilmu berikut; ilmu qira’at, ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu qawa`id, ilmu badi`, ilmu ma`ani, ilmu munasabat, ilmu fiqh, ilmu tashawwuf, ilmu tauhid ilmu akhlak, dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut lahir berkat adanya interaksi budaya dengan teks al-Qur’an. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ilmu-ilmu yang dibangun oleh para tokoh intelektual atau ulama-ulama Islam pada dasarnya merupakan sintesis antara peradaban yang telah ada dengan teks al-Qur’an dan selanjutnya juga dengan teks Hadits. Pertanyaan selanjutnya, apakah ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh intelektual atau ulama-ulama Islam ketika itu juga mewakili masyarakat kita sekarang?

Pertanyaan itulah yang merupakan inti dari perlunya transendensi makna tekstual al-Qur’an dari penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya. Artinya, ketika kita memahami keilmuan Islam, maka kita harus bisa memisahkan antara makna tekstual al-Qur’an dengan makna interpretasinya. Katakanlah ketika kita memahami tashawwuf dan pendidikan, maka tashawwuf dan pendidikan  yang kita maksudkan adalah tashawwuf dan pendidikan yang diisyaratkan oleh teks al-Qur’an, bukan tashawwuf dan pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan tokoh-tokoh lainnya, mengapa? 

Karena thasawwuf dan pendidikan  yang dikemukakan oleh al-Ghazali tentu tidak terlepas dari konteks budaya, tradisi atau paradigma keilmuan yang berkembang pada masa al-Ghazali. Di sinilah kita harus bisa memisahkan mana yang benar-benar makna tekstual dan makna kontekstual itu. Dengan demikian, kita dapat terlepas dari kungkungan penafsiran makna kontekstual dan selanjutnya memahami makna tekstual ayat-ayat al-Quran itu dengan konteks kita sekarang, bukan konteks zaman al-Ghazali. Akan tetapi, bukan berarti kita harus meninggalkan hasil interpretasi al-Ghazali, boleh saja kita tetap mengambil pendapatnya, namun harus disertai dengan analisis yang kritis, bukan sekedar mengikuti saja. 

Cara berpikir demikian berlaku untuk semua bidang keilmuan dalam konteks kehidupan masyarakat kita dewasa ini, baik dalam bidang teologi, hukum, sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. 

Ketika Nabi telah wafat, otonomi penafsiran oleh para sahabat periode berikutnya semakin longgar, mengapa? Ketika Nabi telah wafat, maka otoritasnya sebagai satu-satunya standar kebenaran interpretasi atas teks al-Qur’an menjadi hilang. Artinya perkembangan tekstual Hadits otomatis menjadi terhenti, sementara fenomena kehidupan umat manusia, termasuk umat Islam terus mengalami perkembangan dan perubahan dengan cepat sebagai hasil dari meluasnya pengaruh Islam ke seluruh penjuru dunia.

 Dengan demikian, maka interaksi budaya dan tradisi umat Islam dengan teks alQur’an dan Hadits semakin intens, sebagai hasilnya muncullah beberapa aliran atau mazhab dalam memahami Islam, baik dalam bidang teologi, fiqh, tasawwuf, maupun pendidikan. Dalam bidang pendidikan Islam, waktu itu muncullah pusat-pusat pendidikan Islam, seperti model pendidikan madrasah Nizamiyah di Irak, Jami`ah al-Azhar di Mesir,  Jami`ah Cordova di Spanyol, model pendidikan di Haramain dan sebagainya. Model pendidikan yang dikembangkan dalam beberapa pusat pendidikan tersebut akhirnya melahirkan teks-teks ilmu pendidikan Islam dengan karakteristik dan tokohnya masing-masing.

 Pertanyaan selanjutnya, bagaimana sikap kita terhadap teks-teks pendidikan tersebut berkaitan dengan kehidupan kontemporer ini? Inilah perlunya langkah yang kedua, yakni mengangkat makna tekstual ayat al-Qur’an atau Hadits dari pengaruh penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya, kemudian kita bawa makna yang telah diangkat tadi untuk kebutuhan ilmu pendidikan Islam kontemporer, sehingga dapat menjadi sarana internalisasi, eksternalisasi dan obyektifikasi nilai-nilai Islam sebagaimana yang terkandung dalam makna normatif al-Qur’an dan Hadits ke dalam kehidupan masyarakat kontemporer (itulah arti garis putus-putus dalam bagan di atas). Setelah itu, maka langkah selanjutnya adalah upaya penelitian dan pengembangan ilmu pendidikan Islam secara terus menerus. 

Upaya penelitian dan pengembangan yang dimaksud senantiasa dibarengi dengan tekat mendialogkan, korespondensi, antara makna normatif-etik ayat-ayat al-Qur’an dengan realitas sosial umat manusia kontemporer. Dengan cara ini, maka ilmu pendidikan dapat terhindar dari anomali-anomali pemikiran, dan menjadi responsif terhadap tuntutan perubahan sosial yang terus berlangsung. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka pendidikan Islam dapat menjadi “mesin produktif” dalam menghasilkan umat yang unggul, baik di bidang ilmu pengetahuan, sains, lebih-lebih moralitas keagamaan. Jadi, peserta didik siap terjun untuk menjadi manusia yang mempunyai kemampuan problem solving, bukan sekedar sebagai pewaris tradisi keagamaan yang dibentuk oleh pendahulu pada era klasik (Abdullah, 1998 : 59). Untuk kebutuhan itulah, maka pendidikan Islam perlu mengalami proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektifikasi.

/div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Duga Pemilu Curang, Ramai-ramai Kyai dan Ulama Sampang Desak Bawaslu Gelar Coblos Ulang LAPORAN :  NOVIYANTO AJI SABTU, 17 FEBRUARI 2024 |...