Pendekatan Sintetik-Analitik Sebagai Metode Memahami Al-Qur’an dan Hadits
Pendekatan Sintetik-Analitik Sebagai Metode
Memahami Al-Qur’an dan Hadits
Sejauh ini telah dikenal beberapa pendekatan untuk memahami
al-Qur’an, yaitu tafsir ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu`i (al-Qatthan, 1973
: 321-345). Namun demikian, saya lebih tertarik dengan model pendekatan dalam
memahami al-Qur’an yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo sebagai model paradigma
memahami tema-tema al-Qur’an, termasuk dalam memahami ilmu pendidikan Islam
yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Pendekatan yang dimaksud adalah
sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan
al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep,
dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, terdapat
banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian
normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan
ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah al-Qur’an itu sangat
mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab
sewaktu al-Qur’an diturunkan, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru
yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep etik-religius yang ingin
diperkenalkannya. Istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam
pandangan-dunia al-Qur’an, dan kemudian menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali
konsep, baik yang bersifat abstrak maupun kongkrit. Konsep tentang Allah,
malaikat, akhirat, ma`ruf, munkar, taqwa, ikhlas, syukur, muhsin dan
sebagainya. Selain itu, juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih merujuk pada
fenomena-fenomena kongkrit dan dapat diamati, misalnya konsep fuqara’
(orang-orang kafir), dhu`afa’ (golongan lemah), mustadh`afin (kelas tertindas),
aghniya’ (orang kaya), mufsidin (koruptor-koruptor kekuasaan), ta`lamun (kaum
mengetahui), tubshirun (kaum melihat), tasma`un (kaum mendengar), al-sam`
(auditorial), al-abshar (visual), al-af’idah (kinestetik), al-qalb (spiritual
intelegen) dan seterusnya.
Kesemua konsep di atas mempunyai makna, bukan saja karena
keunikannya secara semantik, tapi juga karena kaitannya dengan matriks struktur
normatif dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan al-Qur’an dipahami.
Dalam kaitan ini, konsep-konsep al-Qur’an bertujuan memberikan gambaran utuh
tentang doktrin Islam, dan lebih jauh lagi tentang weltanschaung (pandangan
dunia)-nya. Sementara bagian yang kedua isi kandungan al-Qur’an adalah
kisah-kisah historis dan amtsal, al-Qur’an mengajak untuk dilakukannya
perenungan untuk memperoleh wisdom (hikmah). Melalui kontemplasi terhadap
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui
metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan
hakekat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam itu,
tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis maupun menyangkut
simbol-simbol, misalnya tentang rapuhnya rumah laba-laba, luruhnya daun kering
yang jatuh tanpa lepas dari pengamatan Tuhan.
Bila dalam bagian konsep-konsep al-Qur’an memperkenalkan
pelbagai ideal-type tentang konsep-konsep, maka dalam bagian yang berisi kisah
dan amtsal kita diajak untuk mengenal arche-type tentang kondisi-kondisi yang
universal, misalnya tentang tanggung jawab Lukman al-Hakim dalam mendidik
anaknya. Kisah Lukman al-Hakim adalah kasus yang menggambarkan peran dan
tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan atau menyiapkan generasi yang
mempunyai tanggung jawab terhadap kemanusiaan dan ketuhanan.
Al-Qur’an memaksudkan penggambaran-penggambaran arche-type
semacam itu agar kita dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat
universal dan abadi. Bukan data historisnya yang penting, tetapi pesan
moralnya. Bukan bukti objektif-empirisnya yang ditonjolkan, tapi ta`wil
subjektif-normatifnya. Cara berfikir demikian inilah yang oleh Kuntowijoyo
(2005 : 15) disebut dengan pendekatan sintetik. Hal ini disebabkan kita lebih
merenungkan pesan-pesan moral al-Qur’an dalam rangka mensintesiskan penghayatan
dan pengalaman subyektif kita dengan ajaran-ajaran normatif. Melalui pendekatan
pemahaman sintetik ini kita melakukan subyektifikasi terhadap ajaran-ajaran
keagamaan dalam rangka mengembangkan perspektif etik dan moral individual.
Meski demikian, ajaran-ajaran keagamaan tidak hanya
berfungsi untuk transformasi psikologis seperti di atas, tetapi juga berfungsi
pada level yang obyektif untuk transformasi kemasyarakatan. Sejarah telah
membuktikan bahwa Islam merupakan kekuatan perubahan sosial yang besar. Tidak
seperti agama-agama lain tertentu yang mementingkan pengembangan spiritual dan
moral pada level individual, Islam mempunyai tugas untuk melakukan perubahan
sosial, yaitu yang sesuai dengan cita-cita profetiknya dalam menciptakan
masyarakat yang adil dan egaliter yang didasarkan pada iman.
Cita-cita profetik
semacam itu secara eksplisit juga dinyatakan oleh al-Qur’an, misalnya dalam
surat ali-`Imran ayat 110. Ayat ini menyatakan bahwa, kita umat Islam, adalah
umat terbaik yang pernah diciptakan untuk manusia yang bertugas melakukan amar
ma`ruf nahi munkar, dalam rangka keberimanan kepada Tuhan. Hal ini berarti
bahwa misi profetik kita adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Oleh
karena itu diperlukan pendekatan yang dapat menghasilkan pemahaman tidak hanya
bersifat subyektif, tetapi juga dapat menembus level obyektif. Pendekatan yang
dimaksud adalah pendekatan analitik (Kuntowijoyo, 2005 : 15).
Pendekatan ini pertama-tama lebih memperlakukan al-Qur’an
sebagai data, sebagai suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal
dari Tuhan. Ini merupakan suatu postulat teologis dan teoritis sekaligus.
Menurut pendekatan ini, ayat-ayat al-Qur’an sesungguhnya merupakan
pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada
level yang obyektif, bukan subyektif. Hal itu berarti al-Qur’an harus
dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan
analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap
pernyataan-pernyataan al-Qur’an akan menghasilkan konstruk-konstruk teoritis
al-Qur’an.
script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js">
Elaborasi terhadap konstruk-konstruk al-Quran inilah yang pada
akhirnya merupakan Qur’anic theory building, yaitu perumusan teori al-Qur’an,
dan inilah yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai paradigma al-Qur’an. Lalu
bagaimana implementasi paradigma Islam sebagaimana yang digagas oleh
Kuntowijoyo itu dalam studi ilmu pendidikan Islam atau tepatnya bagaimana kita
memahami ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai pesan-pesan pendidikan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar