Selasa, 22 Agustus 2017

Pendekatan Sintetik-Analitik Sebagai Metode Memahami Al-Qur’an dan Hadits

Pendekatan Sintetik-Analitik Sebagai Metode
Memahami Al-Qur’an dan Hadits
Sejauh ini telah dikenal beberapa pendekatan untuk memahami al-Qur’an, yaitu tafsir ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu`i (al-Qatthan, 1973 : 321-345). Namun demikian, saya lebih tertarik dengan model pendekatan dalam memahami al-Qur’an yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo sebagai model paradigma memahami tema-tema al-Qur’an, termasuk dalam memahami ilmu pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Pendekatan yang dimaksud adalah sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal.

Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, terdapat banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah al-Qur’an itu sangat mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab sewaktu al-Qur’an diturunkan, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep etik-religius yang ingin diperkenalkannya. Istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan-dunia al-Qur’an, dan kemudian menjadi konsep-konsep yang otentik.

Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun kongkrit. Konsep tentang Allah, malaikat, akhirat, ma`ruf, munkar, taqwa, ikhlas, syukur, muhsin dan sebagainya. Selain itu, juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih merujuk pada fenomena-fenomena kongkrit dan dapat diamati, misalnya konsep fuqara’ (orang-orang kafir), dhu`afa’ (golongan lemah), mustadh`afin (kelas tertindas), aghniya’ (orang kaya), mufsidin (koruptor-koruptor kekuasaan), ta`lamun (kaum mengetahui), tubshirun (kaum melihat), tasma`un (kaum mendengar), al-sam` (auditorial), al-abshar (visual), al-af’idah (kinestetik), al-qalb (spiritual intelegen) dan seterusnya.

Kesemua konsep di atas mempunyai makna, bukan saja karena keunikannya secara semantik, tapi juga karena kaitannya dengan matriks struktur normatif dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan al-Qur’an dipahami. Dalam kaitan ini, konsep-konsep al-Qur’an bertujuan memberikan gambaran utuh tentang doktrin Islam, dan lebih jauh lagi tentang weltanschaung (pandangan dunia)-nya. Sementara bagian yang kedua isi kandungan al-Qur’an adalah kisah-kisah historis dan amtsal, al-Qur’an mengajak untuk dilakukannya perenungan untuk memperoleh wisdom (hikmah). Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakekat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam itu, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis maupun menyangkut simbol-simbol, misalnya tentang rapuhnya rumah laba-laba, luruhnya daun kering yang jatuh tanpa lepas dari pengamatan Tuhan.

Bila dalam bagian konsep-konsep al-Qur’an memperkenalkan pelbagai ideal-type tentang konsep-konsep, maka dalam bagian yang berisi kisah dan amtsal kita diajak untuk mengenal arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal, misalnya tentang tanggung jawab Lukman al-Hakim dalam mendidik anaknya. Kisah Lukman al-Hakim adalah kasus yang menggambarkan peran dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan atau menyiapkan generasi yang mempunyai tanggung jawab terhadap kemanusiaan dan ketuhanan.

Al-Qur’an memaksudkan penggambaran-penggambaran arche-type semacam itu agar kita dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat universal dan abadi. Bukan data historisnya yang penting, tetapi pesan moralnya. Bukan bukti objektif-empirisnya yang ditonjolkan, tapi ta`wil subjektif-normatifnya. Cara berfikir demikian inilah yang oleh Kuntowijoyo (2005 : 15) disebut dengan pendekatan sintetik. Hal ini disebabkan kita lebih merenungkan pesan-pesan moral al-Qur’an dalam rangka mensintesiskan penghayatan dan pengalaman subyektif kita dengan ajaran-ajaran normatif. Melalui pendekatan pemahaman sintetik ini kita melakukan subyektifikasi terhadap ajaran-ajaran keagamaan dalam rangka mengembangkan perspektif etik dan moral individual.

Meski demikian, ajaran-ajaran keagamaan tidak hanya berfungsi untuk transformasi psikologis seperti di atas, tetapi juga berfungsi pada level yang obyektif untuk transformasi kemasyarakatan. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan kekuatan perubahan sosial yang besar. Tidak seperti agama-agama lain tertentu yang mementingkan pengembangan spiritual dan moral pada level individual, Islam mempunyai tugas untuk melakukan perubahan sosial, yaitu yang sesuai dengan cita-cita profetiknya dalam menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter yang didasarkan pada iman. 

Cita-cita profetik semacam itu secara eksplisit juga dinyatakan oleh al-Qur’an, misalnya dalam surat ali-`Imran ayat 110. Ayat ini menyatakan bahwa, kita umat Islam, adalah umat terbaik yang pernah diciptakan untuk manusia yang bertugas melakukan amar ma`ruf nahi munkar, dalam rangka keberimanan kepada Tuhan. Hal ini berarti bahwa misi profetik kita adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang dapat menghasilkan pemahaman tidak hanya bersifat subyektif, tetapi juga dapat menembus level obyektif. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan analitik (Kuntowijoyo, 2005 : 15).


Pendekatan ini pertama-tama lebih memperlakukan al-Qur’an sebagai data, sebagai suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan. Ini merupakan suatu postulat teologis dan teoritis sekaligus. Menurut pendekatan ini, ayat-ayat al-Qur’an sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang obyektif, bukan subyektif. Hal itu berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan al-Qur’an akan menghasilkan konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an.
script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js">

Elaborasi terhadap konstruk-konstruk al-Quran inilah yang pada akhirnya merupakan Qur’anic theory building, yaitu perumusan teori al-Qur’an, dan inilah yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai paradigma al-Qur’an. Lalu bagaimana implementasi paradigma Islam sebagaimana yang digagas oleh Kuntowijoyo itu dalam studi ilmu pendidikan Islam atau tepatnya bagaimana kita memahami ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai pesan-pesan pendidikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Duga Pemilu Curang, Ramai-ramai Kyai dan Ulama Sampang Desak Bawaslu Gelar Coblos Ulang LAPORAN :  NOVIYANTO AJI SABTU, 17 FEBRUARI 2024 |...