Senin, 13 Maret 2017

Peraturan tentang Haji terbaru



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 79 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (7), Pasal 10 ayat (3), Pasal 27, Pasal 33 ayat (2), Pasal 42, Pasal 46 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
Mengingat    : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845), sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5061);


MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
2. Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah Haji.
3. Jemaah Haji adalah Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
4. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.
5. Transportasi adalah pengangkutan yang disediakan bagi Jemaah Haji selama Penyelenggaraan Ibadah Haji.


6.  Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat umum.
7.  Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh PIHK dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.
8.  Penyelenggara Ibadah Haji Khusus, yang selanjutnya disebut PIHK, adalah biro perjalanan yang telah mendapat izin Menteri untuk menyelenggarakan Ibadah Haji Khusus.
9.  Ibadah Umrah adalah umrah yang dilaksanakan di luar musim haji.
10.        Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah, yang selanjutnya disebut PPIU, adalah biro perjalanan wisata yang telah mendapat izin dari Menteri untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah.
11.        Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut DAU, adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat.
12.        Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut BP DAU, adalah badan untuk menghimpun, mengelola, dan mengembangkan DAU.
13.        Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.


Pasal 2
(1) Penyelenggaraan Ibadah Haji meliputi unsur:
a.       kebijakan;
b.       pelaksanaan; dan
c. pengawasan.
(2) Pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan dan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji secara nasional.
(3) Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas:
a.       Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler; dan
b.       Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
BAB II
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI REGULER
Bagian Kesatu
Kebijakan
Pasal 4
(1) Pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler secara nasional.


(2)  Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(3)  Dalam menetapkan kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan kementerian/ instansi terkait.
Bagian Kedua
Pelaksanaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 5
(1)  Pemerintah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.
(2)  Pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Dalam pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan kementerian/ instansi terkait dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi serta bekerjasama dengan masyarakat.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Menteri menyelenggarakan kegiatan:
a.    pendaftaran;
b.     penetapan kuota haji;
c.    penetapan besaran setoran awal dan pembayaran BPIH;
d.   bimbingan Jemaah Haji;
e.    pembentukan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji;
f.     pelayanan administrasi dan dokumen haji;
g.    pelayanan Transportasi Jemaah Haji;
h.   pelayanan akomodasi dan konsumsi;
i.     pembinaan dan pelayanan kesehatan Jemaah Haji;
j.       perlindungan Jemaah Haji dan petugas haji; dan k. koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Paragraf 2
Pendaftaran
Pasal 7
(1) Warga Negara Indonesia berhak melaksanakan Ibadah Haji dengan mendaftarkan diri di Kantor Kementerian Agama sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang tahun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan prinsip pelayanan berdasarkan nomor urut pendaftaran. 


(3)  Nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar dalam pelayanan pemberangkatan Jemaah Haji.
(4)  Dalam hal Warga Negara Indonesia mendapatkan undangan dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan Ibadah Haji dikecualikan dari kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5)  Warga Negara Indonesia yang mendapatkan undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat melaksanakan Ibadah Haji setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
(6)  Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan setelah mendapatkan pemberitahuan dari kantor perwakilan negara Arab Saudi di Jakarta kepada Menteri.
Pasal 8
(1) Selain Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Warga Negara Asing dapat mendaftar sebagai Jemaah Haji sesuai dengan prinsip pelayanan berdasarkan nomor urut pendaftaran, dengan ketentuan:
a.     wajib mempunyai hubungan hukum sebagai suami/istri atau anak yang sah dari Warga Negara Indonesia yang telah terdaftar sebagai Jemaah Haji; dan
b.     wajib mempunyai izin tinggal sementara paling sedikit 6 (enam) bulan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jemaah Haji bagi Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(1)  Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dan telah memiliki izin tinggal sementara dapat melaksanakan Ibadah Haji dari negara yang bersangkutan.
(2)  Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3)  Dalam hal di negara tempat tinggal Warga Negara Indonesia tidak terdapat Kantor Perwakilan Republik Indonesia, Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan kepada Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara terdekat.
(4)  Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3) melaporkan Warga Negara Indonesia yang akan melaksanakan Ibadah Haji kepada Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi.
Paragraf 3
Penetapan Kuota Haji
Pasal 10
(1)  Penetapan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b didasarkan pada kebijakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
(2)  Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam kuota nasional dan kuota provinsi dengan memperhatikan prinsip adil dan proporsional.


(3) Menteri menetapkan kuota provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada pertimbangan:
a.   proporsi jumlah penduduk muslim di setiap provinsi; dan/atau
b.   proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji di setiap provinsi.
(4) Gubernur dapat menetapkan kuota provinsi ke dalam kuota kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan:
a.     proporsi jumlah penduduk muslim di setiap kabupaten/ kota; dan/ atau
b.     proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji di setiap kabupaten/ kota.
Paragraf 4
Penetapan Besaran Setoran Awal dan Pembayaran BPIH
Pasal 11
(1)   Penetapan besaran setoran awal dan pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dilakukan oleh Menteri.
(2)   Setoran awal BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan oleh Jemaah Haji pada saat pendaftaran.
(3)   Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan DPR.
(4)   Pelunasan BPIH dilakukan setelah ditetapkannya besaran BPIH oleh Presiden.
Pasal 12
BPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 termasuk biaya: 


a.     transportasi;
b.     akomodasi dan konsumsi;
c.      layanan umum; dan
d.     hidup di Arab Saudi.
Pasal 13
(1)  BPIH disetorkan pada rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk oleh Menteri.
(2)  Bank umum nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bank umum nasional yang memiliki layanan yang bersifat nasional dan memiliki layanan syariah.
(3) Bank syariah dan bank umum nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.     memperoleh rekomendasi dari lembaga yang menangani jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.     memiliki layanan yang bersifat nasional.
(4) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Menteri dengan mempertimbangkan nilai manfaat.
(5) Nilai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan langsung untuk membiayai operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Paragraf 5
Bimbingan Jemaah Haji
Pasal 14
(1) Bimbingan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d dilaksanakan sebelum keberangkatan ke Arab Saudi, selama perjalanan, dan selama di Arab Saudi.


(2)  Bimbingan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang memenuhi persyaratan dan standar yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)  Bimbingan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
a.     bimbingan pelaksanaan Ibadah Haji atau manasik haji;
b.       bimbingan perjalanan Ibadah Haji; dan c. bimbingan kesehatan.
Pasal 15
(1)  Selain bimbingan Jemaah Haji yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Jemaah Haji sebelum keberangkatan ke Arab Saudi dapat menerima bimbingan haji yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik secara perseorangan maupun kelompok bimbingan, atas biaya Jemaah Haji.
(2)  Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki:
a.     pemahaman mengenai syarat dan rukun Ibadah Haji sesuai dengan syariat Islam; dan
b.     pengalaman melakukan Ibadah Haji.
(3) Kelompok bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat izin dari Menteri.
(4) Bimbingan Jemaah Haji yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip nirlaba. 


Paragraf 6
Pembentukan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
Pasal 16
(1)  Menteri membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e di tingkat pusat, di daerah yang memiliki embarkasi, dan di Arab Saudi.
(2)  Panitia Penyelenggara Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah terbentuk paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pemberangkatan Jemaah Haji kelompok terbang pertama.
(3)  Gubernur atau bupati/walikota di daerah yang tidak memiliki embarkasi dapat membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji.
(4)  Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) terdiri atas unsur Kementerian Agama, kementerian/instansi terkait, dan pemerintah daerah.
Pasal 17
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji bertugas untuk melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan, serta pengendalian dan koordinasi pelaksanaan operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan di Arab Saudi.


- 13 -
Pasal 18
(1) Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibantu oleh petugas haji yang menyertai Jemaah Haji selama pelaksanaan Ibadah Haji.
(2) Petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas aparatur Kementerian Agama, kementerian/ instansi terkait, pemerintah daerah, dan/atau unsur masyarakat sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan.
(3) Petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan ke dalam:
a.       Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI);
b.       Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI); dan
c. Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI).
(4) Petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(5)  Dalam      menetapkan petugas          haji sebagaimana
dimaksud pada                         ayat (3) huruf c, Menteri
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(6)  Selain petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (3), gubernur atau bupati/walikota dapat mengangkat petugas haji daerah yang terdiri atas Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD).
(7) Petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) harus memenuhi persyaratan kompetensi, pengalaman, integritas, dan dedikasi yang dilakukan melalui seleksi secara profesional. 


(8) Sebelum melaksanakan tugasnya, petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) diberikan orientasi dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 19
Biaya operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 18 ayat (3) dan ayat (6) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Paragraf 7
Pelayanan Administrasi dan Dokumen Haji
Pasal 20
(1)  Pelayanan administrasi dan dokumen haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f diberikan kepada Jemaah Haji di tanah air dan di Arab Saudi.
(2)  Pelayanan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi pelayanan pendaftaran, pelunasan, dan pemanggilan masuk asrama haji.
(3) Pelayanan dokumen haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengurusan paspor, visa, dokumen perjalanan Ibadah Haji, dan dokumen lain yang diperlukan.


(4) Menteri        yang         menyelenggarakan        urusan
pemerintahan di bidang keimigrasian wajib memberikan kemudahan dalam penerbitan paspor Jemaah Haji.
Paragraf 8
Pelayanan Transportasi Jemaah Haji
Pasal 21
(1)  Pelayanan Transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf g dilakukan oleh pelaksana transportasi Jemaah Haji berdasarkan penetapan Menteri dengan mempertimbangkan efisiensi, kualitas pelayanan, kepastian pelayanan, keselamatan dan keamanan, serta kepentingan nasional.
(2)  Penetapan pelaksana transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian yang paling sedikit memuat:
a.       hak dan kewajiban para pihak;
b.       spesifikasi alat angkut;
c.       kapasitas penumpang;
d.       biaya angkutan; dan
e. jangka waktu.
(3) Pelayanan Transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi moda transportasi udara dan moda transportasi darat.- 16 -
Pasal 22
(1)  Menteri menetapkan moda transportasi udara untuk pengangkutan Jemaah Haji.
(2)  Moda transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) harus memenuhi persyaratan standar kelaikudaraan, persyaratan administratif, kapasitas pesawat, dan standar teknis lainnya.
(3) Persyaratan standar kelaikudaraan, persyaratan administratif, kapasitas pesawat, dan standar teknis lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Pasal 23
Biaya Transportasi haji dari daerah asal ke embarkasi dan dari debarkasi ke daerah asal ditetapkan dalam Peraturan Daerah setempat.
Pasal 24
Transportasi darat Jemaah Haji antarkota Jedah, Mekah, dan Madinah serta antara Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Masyair) diselenggarakan oleh Menteri bekerjasama dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Pasal 25
(1) Menteri melakukan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan pelayanan Transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).


(2) Dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pelayanan Transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Paragraf 9
Pelayanan Akomodasi dan Konsumsi
Pasal 26
(1)   Pelayanan akomodasi dan konsumsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h diberikan kepada Jemaah Haji di asrama haji embarkasi dan di Arab Saudi.
(2)   Pelayanan akomodasi dan konsumsi bagi Jemaah Haji selama di Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan pelayanan dan ketentuan yang berlaku di Arab Saudi.
Paragraf 10
Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Jemaah Haji
Pasal 27
(1) Pembinaan dan pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i wajib diberikan sebelum keberangkatan, selama pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan 14 (empat belas) hari setelah kembali ke Tanah Air.







(2) Pemerintah             wajib melindungi Jemaah Haji dari
penyakit menular yang:
a.       diduga mewabah di Arab Saudi;
b.      terbawa Jemaah Haji dari Indonesia ke Arab Saudi; dan/atau
c. terbawa                     Jemaah Haji dari Arab Saudi ke
Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
menteri          yang        menyelenggarakan        urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 28
Dalam hal Jemaah Haji sakit, Pemerintah wajib memberikan pelayanan:
a.     safari wukuf bagi Jemaah Haji yang masih dapat diberangkatkan ke Arafah; dan
b.     badal haji                 bagi Jemaah Haji yang tidak dapat
diberangkatkan ke Arafah.
Paragraf 11
Perlindungan Jemaah Haji dan Petugas Haji
Pasal 29
(1) Perlindungan Jemaah Haji dan petugas haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf j dilakukan dalam bentuk asuransi dan perlindungan lain yang diperlukan. 


(2) Biaya asuransi dan perlindungan lain yang diperlukan bagi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibebankan ke dalam komponen BPIH.
(3) Biaya asuransi dan perlindungan lain yang diperlukan bagi petugas haji dibebankan kepada Pemerintah.
Paragraf 12
Koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji
Pasal 30
Koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf k dilakukan oleh Menteri dengan menteri/pimpinan instansi terkait dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji di tingkat nasional.
Pasal 31
(1)  Gubernur berkoordinasi dengan pimpinan instansi vertikal/instansi terkait dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji di tingkat provinsi.
(2)  Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama provinsi.
Pasal 32
(1) Bupati/walikota berkoordinasi dengan pimpinan instansi          vertikal/ instansi  terkait                       dalam
Penyelenggaraan       Ibadah       Haji       di       tingkat
kabupaten/ kota.


(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama kabupaten/ kota.
Pasal 33
(1) Kepala Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi berkoordinasi dengan instansi terkait di Arab Saudi dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji di Arab Saudi.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Konsul Jenderal Republik Indonesia di Jeddah yang secara teknis operasional dilakukan oleh Kepala Kantor Misi Haji Indonesia.
BAB III
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Pasal 34
(1)  Selain Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler, penyelenggaraan Ibadah Haji dapat dilakukan melalui Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus yang pelayanan, pengelolaan, dan pembiayaannya bersifat khusus.
(2)  Pelayanan dan pengelolaan yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi waktu pelaksanaan, akomodasi, konsumsi, transportasi, kesehatan, dan bimbingan ibadah haji.

- 21 -
Pasal 35
(1)  Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh PIHK.
(2)  Menteri menetapkan jumlah minimal dan maksimal Jemaah Haji khusus yang dapat dilayani oleh PIHK pada satu musim haji.
(3)  PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
(4)  Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:
a.     telah memperoleh izin sebagai PPIU dari Menteri;
b.     telah menyelenggarakan Ibadah umrah paling singkat selama 3 (tiga) tahun dan memberangkatkan jemaah umrah paling sedikit 300 (tiga ratus) orang;
c.      memiliki          kemampuan         teknis          untuk
menyelenggarakan Ibadah            Haji khusus yang
meliputi kemampuan            sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, dan manajemen;
d.     memiliki          kemampuan      finansial        untuk
menyelenggarakan Ibadah            Haji khusus yang
dibuktikan dengan jaminan bank; dan
e. memiliki komitmen untuk            menyelenggarakan
Ibadah Haji khusus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan,        standar pelayanan yang
ditetapkan       oleh Menteri,             dan ketentuan
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.



(5)  PIHK yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberi izin oleh Menteri untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
(6)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 36
(1) PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) wajib memberikan pelayanan:
a.     pendaftaran;
b.       bimbingan Jemaah Haji khusus;
c.       Transportasi Jemaah Haji khusus;
d.       akomodasi dan konsumsi di Arab Saudi;
e.       kesehatan Jemaah Haji khusus;
f.       perlindungan Jemaah Haji khusus dan petugas haji khusus; dan
g. administrasi dan dokumen haji.
(2) Kewajiban memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g dituangkan dalam bentuk perjanjian yang disepakati antara PIHK dengan Jemaah Haji khusus.
Pasal 37
PIHK wajib melakukan pelayanan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a hanya bagi Jemaah Haji khusus yang telah terdaftar di Kementerian Agama.
- 23 -
Pasal 38
(1)  Pendaftaran Jemaah Haji khusus dilakukan di kantor wilayah Kementerian Agama atau di kantor Kementerian Agama pusat sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)  Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang tahun dengan prinsip pelayanan berdasarkan nomor urut pendaftaran.
(3) Nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar dalam pelayanan pemberangkatan Jemaah Haji.
Pasal 39
(1) Pelayanan bimbingan Jemaah Haji khusus oleh PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dilakukan sebelum keberangkatan, selama di perjalanan, dan selama di Arab Saudi.
(2) Bimbingan Jemaah Haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang diangkat oleh PIHK.
(3) PIHK wajib mengangkat petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 40
(1) Pelayanan Transportasi oleh PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c terdiri atas pelayanan transportasi dari dan ke Arab Saudi dan selama di Arab Saudi.


(2)          Transportasi dari dan ke Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan aspek kenyamanan, efisiensi rute perjalanan, keselamatan, dan keamanan sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(3)  PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan bukti tiket dan konfirmasi penerbangan kepada Menteri sebagai jaminan kepastian keberangkatan dan kepulangan Jemaah Haji khusus.
Pasal 41
(1) Pelayanan akomodasi oleh PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d wajib dilakukan dengan menempatkan Jemaah Haji khusus di hotel yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Pelayanan konsumsi oleh PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d wajib dilakukan sesuai standar menu, higienitas, dan kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 42
(1)  Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf e dilakukan oleh petugas yang diangkat oleh PIHK.
(2)  Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.


(3) Dalam hal Jemaah Haji khusus sakit, PIHK wajib memberikan pelayanan:
a.     safari wukuf bagi Jemaah Haji yang masih dapat diberangkatkan ke Arafah; dan
b.     badal haji bagi Jemaah Haji yang tidak dapat diberangkatkan ke Arafah.
Pasal 43
(1)  Perlindungan Jemaah Haji khusus dan petugas haji khusus oleh PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf f dilakukan dengan mengasuransikan Jemaah Haji khusus dan petugas haji khusus.
(2)  Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan.
(3) Besaran pertanggungan asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 44
Pelayanan administrasi dan dokumen haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf g wajib dilakukan oleh PIHK dalam bentuk:
a. menyerahkan paspor Jemaah Haji khusus kepada Menteri untuk pengurusan visa;
b. menyerahkan barcode PIHK yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri; 


c. melaporkan keberangkatan Jemaah Haji khusus kepada Menteri;
d. melaporkan kedatangan dan kepulangan Jemaah Haji khusus dari dan ke Arab Saudi kepada Kepala Kantor Misi Haji Indonesia di Arab Saudi; dan
e. melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri.
Pasal 45
Menteri menetapkan kuota bagi jemaah haji khusus.
Pasal 46
(1)   Menteri menetapkan besaran minimal BPIH khusus.
(2)  BPIH khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan pada saat pendaftaran ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk oleh Menteri.
(3) Bank syariah dan/atau bank umum nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
Pasal 47
BPIH khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) diserahkan kepada PIHK setelah PIHK menyerahkan barcode sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 48
PIHK dilarang:
a.  memberangkatkan dan memulangkan Jemaah Haji khusus tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan;
b.  memungut biaya di bawah besaran minimal BPIH khusus yang ditetapkan oleh Menteri;
c.  memalsukan dokumen Jemaah Haji khusus; dan
d.  tidak memenuhi kewajibannya kepada pihak-pihak terkait di tanah air dan di Arab Saudi.
Pasal 49
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, PIHK juga dilarang menelantarkan Jemaah Haji sehingga mengakibatkan Jemaah Haji:
a.    gagal berangkat ke Arab Saudi;
b.   melanggar masa berlaku visa;
c.    tidak dapat melaksanakan rukun haji; atau
d.   terancam keamanan dan keselamatannya. Pasal 50
(1) Menteri melakukan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh PIHK.
(2) Hasil pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk memberikan akreditasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh PIHK atau digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengenaan sanksi.
- 28 -
Pasal 51
(1)  Pemegang izin PIHK yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikenai sanksi administratif oleh Menteri.
(2)  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.       peringatan tertulis;
b.       pembekuan izin penyelenggaraan; atau c. pencabutan izin penyelenggaraan. Pasal 52
(1)  Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3), Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 41, Pasal 42 ayat (2), Pasal 44, dan Pasal 48 huruf a dan huruf d dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2)  Pengulangan terhadap pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin penyelenggaraan paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 53
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan ketentuan Pasal 48 huruf b dan huruf c dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin penyelenggaraan paling lama 2 (dua) tahun. 


(2) Pengulangan terhadap pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 54
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 55
Menteri mencabut izin penyelenggaraan PIHK, apabila izin operasional PIHK sebagai biro perjalanan wisata dicabut oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata, gubernur, atau bupati/walikota.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan, pengendalian, akreditasi, dan pengenaan sanksi PIHK diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PENYELENGGARAAN PERJALANAN IBADAH UMRAH
Pasal 57
(1) Penyelenggaraan        Perjalanan       Ibadah        Umrah
dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau PPIU.
 


(2) PPIU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.     telah memperoleh izin sebagai biro perjalanan wisata dari kementerian/instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pariwisata;
b.     telah beroperasi paling singkat 2 (dua)            tahun
sebagai biro perjalanan wisata;
c.      memiliki kemampuan teknis untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah yang meliputi kemampuan sumber daya manusia, manajemen, serta sarana dan prasarana;
d.     memiliki kemampuan finansial untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah yang dibuktikan dengan jaminan bank;
e.     memiliki mitra biro penyelenggara Ibadah Umrah di Arab Saudi yang memperoleh izin resmi dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi; dan
f.       memiliki komitmen untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 58
PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) wajib memberikan pelayanan:
a.     bimbingan Ibadah Umrah;
b.     transportasi jemaah umrah;
c.      akomodasi dan konsumsi di Arab Saudi;
d.     kesehatan jemaah umrah;


e.    perlindungan jemaah umrah dan petugas umrah; dan
f.     administrasi dan dokumen umrah.
Pasal 59
(1)  Pelayanan bimbingan jemaah umrah oleh PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilakukan sebelum keberangkatan, selama di perjalanan, dan selama di Arab Saudi.
(2)  Bimbingan jemaah umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang diangkat oleh PPIU.
(3) PPIU wajib mengangkat petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 60
(1)  Pelayanan Transportasi oleh PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b terdiri atas pelayanan Transportasi dari dan ke Arab Saudi dan selama di Arab Saudi.
(2)  Transportasi dari dan ke Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan aspek kenyamanan, keselamatan, dan keamanan.
Pasal 61
(1) Pelayanan akomodasi oleh PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c wajib dilakukan dengan menempatkan jemaah umrah di penginapan yang layak. 


(2) Pelayanan konsumsi oleh PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c wajib dilakukan sesuai standar menu, higienitas, dan kesehatan.
Pasal 62
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Pasal 63
(1)  Perlindungan jemaah umrah dan petugas umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf e menjadi tanggung jawab PPIU dengan memberikan asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan kepada jemaah umrah.
(2)  Besaran pertanggungan asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 64
Pelayanan administrasi dan dokumen umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf f wajib dilakukan oleh PPIU dalam bentuk:
a.  melakukan pengurusan dokumen perjalanan umrah dan visa bagi jemaah umrah;
b.  melaporkan keberangkatan jemaah umrah kepada Menteri; 


c.  melaporkan kedatangan dan kepulangan jemaah umrah dari dan ke Arab Saudi kepada Kepala Kantor Misi Haji Indonesia di Arab Saudi; dan
d.  melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Umrah kepada Menteri.
Pasal 65
PPIU dilarang menelantarkan jemaah umrah yang mengakibatkan j emaah umrah:
a.    gagal berangkat ke Arab Saudi;
b.   melanggar masa berlaku visa; atau c. terancam keamanan dan keselamatannya. Pasal 66
(1) Menteri melakukan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Ibadah Umrah yang dilaksanakan oleh PPIU.
(2) Hasil pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk memberikan akreditasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh PPIU atau digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengenaan sanksi.
Pasal 67
(1) Pemegang izin PPIU yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi administratif oleh Menteri. 


(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.       peringatan tertulis;
b.       pembekuan izin penyelenggaraan; atau c. pencabutan izin penyelenggaraan. Pasal 68
(1)  Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3), Pasal 60 ayat (2), Pasal 61, dan Pasal 64 dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2)  Pengulangan terhadap pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin penyelenggaraan paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 69
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 70
Menteri mencabut izin penyelenggaraan PPIU, apabila izin operasional PPIU sebagai biro perjalanan wisata dicabut oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata, gubernur, atau bupati/walikota.

- 35 -
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan, pengendalian, akreditasi, dan pengenaan sanksi PPIU diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
ORGANISASI BP DAU
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 72
Organisasi BP DAU terdiri atas:
a.     Ketua/Penanggung jawab;
b.     Dewan Pengawas; dan c. Dewan Pelaksana.
Bagian Kedua
Ketua/ Penanggung jawab
Pasal 73
Ketua/Penanggung jawab BP DAU adalah Menteri.
Pasal 74
(1) Ketua/Penanggung jawab BP DAU mempunyai tugas memimpin pengelolaan DAU. 


(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua/Penanggung jawab BP DAU menyelenggarakan fungsi:
a.    menetapkan kebijakan, rencana strategis, dan rencana program serta anggaran BP DAU;
b.   melaporkan hasil pelaksanaan tugas BP DAU setiap tahun kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Penetapan kebijakan oleh Ketua/Penanggung jawab BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan atas usul Dewan Pelaksana berdasarkan persetujuan Dewan Pengawas.
Bagian Ketiga
Dewan Pengawas
Pasal 75
Dewan Pengawas BP DAU berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua/Penanggung jawab BP DAU.
Pasal 76
(1)  Dewan Pengawas BP DAU terdiri atas 9 (sembilan) orang anggota.
(2)  Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur masyarakat sebanyak 6 (enam) orang dan unsur Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang.


(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk dari Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
(5)  Dewan Pengawas BP DAU dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
(6)  Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pengawas.
Pasal 77
Untuk dapat diangkat menjadi Dewan Pengawas BP DAU, calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.  Warga Negara Indonesia;
b.   beragama Islam;
c.  berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
d. sehat rohani dan jasmani berdasarkan keterangan dokter;
e.  berijazah paling rendah strata satu;
f.   memiliki profesionalitas dalam bidang yang relevan;
g. mempunyai komitmen yang tinggi dan amanah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan DAU bagi kemaslahatan umat; dan 


h. tidak pernah dipidana dengan pidana penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 78
(1)   Keanggotaan Dewan Pengawas BP DAU dari unsur Pemerintah dijabat oleh         pejabat eselon                                     I pada
kementerian yang menyelenggarakan                 urusan
pemerintahan di bidang agama.
(2)  Pejabat eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pejabat yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang haji, bidang pengawasan, serta bidang manajemen dan administrasi.
Pasal 79
Keanggotaan Dewan Pengawas BP DAU dari unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dipilih oleh panitia seleksi.
Pasal 80
(1) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, dibentuk oleh Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur Kementerian Agama, kementerian/instansi terkait, dan unsur lain yang diperlukan.
(2) Anggota panitia seleksi tidak dapat dipilih menjadi anggota Dewan Pengawas BP DAU.


(3)  Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilih dan menetapkan calon anggota dewan pengawas BP DAU berdasarkan hasil seleksi.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pelaksanaan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 81
Calon anggota Dewan Pengawas BP DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 80 ayat (3) diajukan oleh Menteri kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi anggota Dewan Pengawas BP DAU.
Pasal 82
(1)  Anggota Dewan Pengawas BP DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 menyelenggarakan rapat untuk memilih calon ketua dan wakil ketua Dewan Pengawas BP DAU.
(2)  Calon ketua terpilih Dewan Pengawas BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi Ketua Dewan Pengawas BP DAU.
(3) Dalam hal Ketua Dewan Pengawas belum ditetapkan oleh Presiden dan untuk kelancaran pelaksanaan tugas organisasi, Ketua Dewan Pengawas Terpilih bertindak sebagai Ketua Dewan Pengawas BP DAU.
Pasal 83
(1) Dewan Pengawas BP DAU mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan DAU yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pengawasan terhadap penghimpunan, pengembangan, dan pemanfaatan DAU serta memberikan pertimbangan kepada Ketua/Penanggungjawab BP DAU.
(2) Dewan Pengawas mempunyai fungsi:
a.     menyusun sistem pengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, dan pengawasan DAU;
b.     melaksanakan penilaian atas rumusan kebijakan, rencana strategis dan rencana kerja serta anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU;
c.      melaksanakan pengawasan dan pemantauan atas pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan DAU; dan
d.     menilai dan memberikan pertimbangan terhadap laporan tahunan yang disiapkan oleh Dewan Pelaksana sebelum ditetapkan menjadi laporan BP DAU.
(3) Dalam pelaksanaan pengawasan keuangan, Dewan Pengawas dapat menggunakan jasa tenaga profesional.
Bagian Keempat
Dewan Pelaksana
Pasal 84
Dewan Pelaksana berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua/ Penanggung jawab BP DAU melalui Dewan Pengawas.
Pasal 85
(1)  Dewan Pelaksana BP DAU terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota.
(2)  Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan ditunjuk oleh Menteri.
(3)  Dewan Pelaksana dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh Menteri dari anggota Dewan Pelaksana.
(4)  Penunjukan anggota Dewan Pelaksana BP DAU oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan usulan dari Sekretaris Jenderal Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukkan calon anggota Dewan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri
Pasal 86
Untuk dapat diangkat menjadi Anggota Dewan Pelaksana BP DAU, calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.    Pegawai Negeri;
b.   beragama Islam; dan
c. paling rendah menduduki jabatan eselon II.
Pasal 87
Calon Ketua dan calon anggota Dewan Pelaksana BP DAU yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) diajukan kepada Presiden oleh Menteri untuk ditetapkan menjadi Ketua dan Anggota Dewan Pelaksana BP DAU dengan Keputusan Presiden.
Pasal 88
(1)  Dewan Pelaksana mempunyai tugas merencanakan dan melaksanakan program pemanfaatan dan pengembangan DAU, serta mempertanggungjawabkan dan melaporkan pengelolaan DAU kepada Menteri.
(2)  Dewan Pelaksana mempunyai fungsi:
a.    menyiapkan rumusan kebijakan, rencana strategis, dan rencana kerja serta anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU;
b.   melaksanakan program pemanfaatan dan pengembangan DAU yang telah ditetapkan oleh Ketua/Penanggungjawab BP DAU;
c.    melakukan penatausahaan pengelolaan keuangan dan aset DAU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.   melakukan penilaian atas kelayakan                 usul
pemanfaatan DAU yang diajukan                       oleh
masyarakat;
e.    melaporkan pelaksanaan program dan anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU secara periodik kepada Dewan Pengawas;
f.     menyiapkan laporan tahunan dan laporan pertanggungjawaban BP DAU kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
g. menyiapkan               rancangan               Keputusan
Ketua/Penanggung               jawab BP DAU tentang
pemanfaatan DAU;
 


h.   menetapkan ketentuan teknis pelaksanaan operasional BP DAU;
i.     menyelenggarakan administrasi pengelolaan DAU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan; dan
j. membuat        lap oran   keuangan sesuai       dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rancangan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)      huruf g              disampaikan      kepada
Ketua/Penanggung jawab BP DAU                     setelah
memperoleh           persetujuan dan pertimbangan dari
Dewan Pengawas.
Pasal 89
Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Pelaksana, Menteri selaku Ketua/Penanggung jawab BP DAU dapat mengangkat tenaga profesional.
Bagian Kelima
Pemberhentian Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana
Pasal 90
(1) Anggota Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU berhenti karena:
a.       berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
b.      meninggal dunia.
(2) Anggota Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU dapat diberhentikan karena: 


a.     mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
b.     bertempat tinggal tetap di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
c.      sakit yang berkepanjangan dan/atau tidak melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus-menerus tanpa alasan yang sah;
d.     dipidana dengan pidana penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Selain berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anggota Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU yang berasal dari unsur Pemerintah diberhentikan jika yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan dari jabatannya.
Pasal 91
(1) Dalam hal anggota Dewan Pengawas BP DAU dari unsur Pemerintah dan Anggota Dewan Pelaksana BP DAU berhenti atau diberhentikan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 sebelum masa jabatannya berakhir, Menteri menunjuk pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan Pasal 78 dan Pasal 86 sebagai anggota Dewan Pengawas dan anggota Dewan Pelaksana BP DAU.



(2)  Dalam hal anggota Dewan Pengawas BP DAU yang berasal dari unsur masyarakat berhenti atau diberhentikan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2) sebelum masa jabatannya berakhir, dapat diganti dengan calon anggota hasil seleksi dari unsur yang sama.
(3)  Masa jabatan anggota Dewan Pengawas dan anggota Dewan Pelaksana BP DAU pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berakhir bersamaan dengan masa jabatan anggota Dewan Pengawas dan anggota Dewan Pelaksana BP DAU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggantian keanggotaan Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Mekanisme Kerja
Pasal 92
(1) Hubungan dan mekanisme kerja BP DAU dilaksanakan sesuai dengan tugas dan fungsi masing­masing antara Ketua/ Penanggung jawab, Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU.
(2) Hubungan dan mekanisme kerja BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan prinsip profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas.
Pasal 93
(1)  BP DAU melaksanakan sidang secara berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2)  Sidang BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Ketua/Penanggung jawab BP DAU dan dihadiri oleh para anggota Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU.
Pasal 94
Dewan Pengawas BP DAU melaksanakan sidang secara berkala paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 95
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 96
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Oktober 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 186
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 79 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
I. UMUM
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional yang melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik di dalam negeri maupun di Arab Saudi. Pemerintah berkewajiban untuk terus meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dalam bentuk
pelayanan administrasi pendaftaran, bimbingan manasik dan perjalanan haji, dokumen perjalanan, transportasi udara dan darat baik di dalam negeri maupun di Arab Saudi, pelayanan kesehatan baik sebelum keberangkatan, selama di perjalanan, selama di Arab Saudi maupun saat kembali ke tanah air, pelayanan akomodasi dan konsumsi baik di tanah air maupun di Arab Saudi, dan keamanan serta perlindungan bagi jemaah haji.
Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas publik, penyelenggaraan ibadah haji      harus dilaksanakan dengan                                         mengedepankan   prinsip
efektifitas, efisiensi, keadilan, dan profesionalitas. Penyelenggaraan ibadah haji harus dikelola dengan mengutamakan kepentingan jemaah sesuai dengan hak dan kewajibannya agar dapat melaksanakan ibadah
haji sesuai dengan tuntutan               syariah dan pelaksanaannya dapat
berjalan dengan aman dan nyaman.
Meskipun penyelenggaraan ibadah             haji menjadi tanggung jawab
Pemerintah, masyarakat didorong partisipasinya dalam penyelenggaraan ibadah haji melalui bimbingan ibadah haji baik secara perseorangan maupun kelompok dan penyelenggaraan ibadah haji khusus bagi jemaah haji yang memerlukan pelayanan khusus.
Demikian        pula,      masyarakat       diberikan       peluang       untuk
menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah di luar musim haji.



Dalam rangka memberikan perlindungan bagi jemaah haji dan jemaah umrah dan untuk menjamin terlaksananya peran serta masyarakat dengan baik dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, Pemerintah melakukan pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
Untuk melaksanakan penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Pemerintah perlu menetapkan Peraturan perundang-undangan yang mencakup kebijakan umum penyelenggaraan ibadah haji, penyelenggaraan ibadah haji khusus, penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah, dan organisasi BP DAU.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas. Pasal 4
Cukup jelas. Pasal 5
Cukup jelas. Pasal 6
Cukup jelas. Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
Cukup jelas.



Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan layanan umum antara lain :
a.     biaya pelayanan muassasah;
b.     biaya perkemahan di Arafah dan Mina; dan c. biaya naqobah (angkutan antarkota perhajian).
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas. Pasal 14
Cukup jelas. Pasal 15
Cukup jelas. Pasal 16
Cukup jelas. Pasal 17
Cukup jelas. Pasal 18
Cukup jelas.


Pasal 19
Cukup jelas. Pasal 20
Cukup jelas. Pasal 21
Cukup jelas. Pasal 22
Cukup jelas. Pasal 23
Cukup jelas. Pasal 24
Cukup jelas. Pasal 25
Cukup jelas. Pasal 26
Cukup jelas. Pasal 27
Cukup jelas. Pasal 28
Cukup jelas. Pasal 29
Cukup jelas. Pasal 30
Cukup jelas. Pasal 31
Cukup jelas. Pasal 32
Cukup jelas.



Pasal 33
Cukup jelas. Pasal 34
Cukup jelas. Pasal 35
Cukup jelas. Pasal 36
Cukup jelas. Pasal 37
Cukup jelas. Pasal 38
Cukup jelas. Pasal 39
Cukup jelas. Pasal 40
Cukup jelas. Pasal 41
Cukup jelas. Pasal 42
Cukup jelas. Pasal 43
Cukup jelas. Pasal 44
Cukup jelas. Pasal 45
Cukup jelas. Pasal 46
Cukup jelas.



Pasal 47
Cukup jelas. Pasal 48
Cukup jelas. Pasal 49
Cukup jelas. Pasal 50
Cukup jelas. Pasal 51
Cukup jelas. Pasal 52
Cukup jelas. Pasal 53
Cukup jelas. Pasal 54
Cukup jelas. Pasal 55
Cukup jelas. Pasal 56
Cukup jelas. Pasal 57
Cukup jelas. Pasal 58
Cukup jelas. Pasal 59
Cukup jelas. Pasal 60
Cukup jelas.


Pasal 61
Cukup jelas. Pasal 62
Cukup jelas. Pasal 63
Cukup jelas. Pasal 64
Cukup jelas. Pasal 65
Cukup jelas. Pasal 66
Cukup jelas. Pasal 67
Cukup jelas. Pasal 68
Cukup jelas. Pasal 69
Cukup jelas. Pasal 70
Cukup jelas. Pasal 71
Cukup jelas. Pasal 72
Cukup jelas. Pasal 73
Cukup jelas. Pasal 74
Cukup jelas.



Pasal 75
Cukup jelas. Pasal 76
Cukup jelas. Pasal 77
Cukup jelas. Pasal 78
Cukup jelas. Pasal 79
Cukup jelas. Pasal 80
Cukup jelas. Pasal 81
Cukup jelas. Pasal 82
Cukup jelas. Pasal 83
Cukup jelas. Pasal 84
Cukup jelas. Pasal 85
Cukup jelas. Pasal 86
Cukup jelas. Pasal 87
Cukup jelas. Pasal 88
Cukup jelas.


Pasal 89
Cukup jelas. Pasal 90
Cukup jelas. Pasal 91
Cukup jelas. Pasal 92
Cukup jelas. Pasal 93
Cukup jelas. Pasal 94
Cukup jelas. Pasal 95
Cukup jelas. Pasal 96
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5345

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Duga Pemilu Curang, Ramai-ramai Kyai dan Ulama Sampang Desak Bawaslu Gelar Coblos Ulang LAPORAN :  NOVIYANTO AJI SABTU, 17 FEBRUARI 2024 |...