PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 79 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 79 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (7), Pasal 10 ayat (3), Pasal 27, Pasal 33
ayat (2), Pasal 42, Pasal 46 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (2) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845),
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5061);
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN
IBADAH HAJI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan:
1.
Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan
kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
2.
Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan
Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan,
dan perlindungan Jemaah Haji.
3.
Jemaah
Haji adalah Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan telah mendaftarkan
diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan.
4.
Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut
BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar
oleh Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.
5. Transportasi
adalah pengangkutan yang disediakan bagi Jemaah Haji selama
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
6. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler
adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan
pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat umum.
7. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh PIHK dengan
pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.
8. Penyelenggara
Ibadah Haji Khusus, yang selanjutnya disebut PIHK, adalah biro perjalanan yang telah mendapat izin Menteri untuk menyelenggarakan Ibadah
Haji Khusus.
9. Ibadah Umrah
adalah umrah yang dilaksanakan di luar musim haji.
10.
Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah, yang selanjutnya
disebut PPIU, adalah biro perjalanan wisata yang telah mendapat izin
dari Menteri untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah.
11.
Dana
Abadi Umat, yang selanjutnya disebut DAU, adalah sejumlah dana yang diperoleh
dari hasil pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber
lain yang halal dan tidak mengikat.
12.
Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut BP DAU, adalah badan untuk
menghimpun, mengelola, dan mengembangkan DAU.
13.
Pemerintah
adalah Pemerintah Republik Indonesia.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan Ibadah Haji
meliputi unsur:
a.
kebijakan;
b.
pelaksanaan;
dan
c. pengawasan.
(2) Pemerintah
bertanggung jawab terhadap kebijakan dan pelaksanaan Penyelenggaraan
Ibadah Haji secara nasional.
(3) Pengawasan
Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas:
Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas:
a.
Penyelenggaraan
Ibadah Haji Reguler; dan
b.
Penyelenggaraan
Ibadah Haji Khusus.
BAB II
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI REGULER
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI REGULER
Bagian Kesatu
Kebijakan
Pasal 4
Pasal 4
(1)
Pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji
Reguler secara nasional.
(2) Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji
Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
(3) Dalam menetapkan
kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri berkoordinasi dengan kementerian/
instansi terkait.
Bagian
Kedua
Pelaksanaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 5
Pelaksanaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 5
(1)
Pemerintah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.
(2)
Pelaksanaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Dalam pelaksanaan Penyelenggaraan
Ibadah Haji Reguler sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri berkoordinasi
dengan kementerian/ instansi terkait dan
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi serta bekerjasama dengan masyarakat.
a.
pendaftaran;
b.
penetapan
kuota haji;
c.
penetapan besaran setoran awal dan pembayaran BPIH;
d.
bimbingan
Jemaah Haji;
e.
pembentukan
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji;
f.
pelayanan
administrasi dan dokumen haji;
g.
pelayanan
Transportasi Jemaah Haji;
h.
pelayanan
akomodasi dan konsumsi;
i.
pembinaan
dan pelayanan kesehatan Jemaah Haji;
j.
perlindungan Jemaah Haji dan petugas haji; dan k. koordinasi
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Paragraf 2
Pendaftaran
Pasal 7
(1)
Warga Negara Indonesia berhak melaksanakan Ibadah Haji dengan mendaftarkan diri
di Kantor Kementerian Agama sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang telah
ditetapkan oleh Menteri.
(2)
Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sepanjang tahun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan prinsip pelayanan
berdasarkan nomor urut pendaftaran.
(3)
Nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar
dalam pelayanan pemberangkatan Jemaah Haji.
(4)
Dalam
hal Warga Negara Indonesia mendapatkan undangan
dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan Ibadah Haji
dikecualikan dari kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5)
Warga Negara Indonesia yang mendapatkan undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat melaksanakan Ibadah Haji setelah mendapat rekomendasi dari
Menteri.
(6)
Rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan setelah mendapatkan pemberitahuan
dari kantor perwakilan negara Arab Saudi di
Jakarta kepada Menteri.
Pasal 8
(1) Selain Warga
Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Warga Negara Asing dapat mendaftar sebagai Jemaah Haji
sesuai dengan prinsip pelayanan berdasarkan
nomor urut pendaftaran, dengan ketentuan:
a.
wajib
mempunyai hubungan hukum sebagai suami/istri atau anak yang sah dari Warga
Negara Indonesia yang telah terdaftar sebagai
Jemaah Haji; dan
b.
wajib mempunyai izin tinggal sementara paling sedikit 6 (enam) bulan.
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pendaftaran
Jemaah Haji bagi Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
(1)
Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dan telah memiliki izin tinggal
sementara dapat melaksanakan Ibadah Haji dari negara yang bersangkutan.
(2)
Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
terlebih dahulu memberitahukan kepada Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3)
Dalam
hal di negara tempat tinggal Warga Negara Indonesia tidak terdapat Kantor
Perwakilan Republik Indonesia, Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan kepada Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara
terdekat.
(4)
Kepala
Kantor Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
ayat (3) melaporkan Warga Negara Indonesia yang akan melaksanakan Ibadah Haji
kepada Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi.
Paragraf 3
Penetapan Kuota Haji
Pasal 10
Penetapan Kuota Haji
Pasal 10
(1) Penetapan kuota haji sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b didasarkan
pada kebijakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
(2) Menteri
menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam kuota nasional dan kuota provinsi dengan memperhatikan prinsip adil dan
proporsional.
(3) Menteri menetapkan kuota provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didasarkan pada pertimbangan:
a.
proporsi jumlah penduduk muslim di setiap provinsi; dan/atau
b.
proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji di setiap provinsi.
(4) Gubernur dapat menetapkan kuota
provinsi ke dalam kuota kabupaten/kota
didasarkan pada pertimbangan:
a.
proporsi
jumlah penduduk muslim di setiap kabupaten/ kota; dan/ atau
b.
proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji di setiap kabupaten/ kota.
Paragraf 4
Penetapan Besaran Setoran Awal dan Pembayaran BPIH
Pasal 11
Penetapan Besaran Setoran Awal dan Pembayaran BPIH
Pasal 11
(1)
Penetapan besaran setoran awal dan pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf c dilakukan oleh Menteri.
(2)
Setoran awal BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan oleh Jemaah Haji
pada saat pendaftaran.
(3)
Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan
DPR.
(4)
Pelunasan BPIH dilakukan setelah ditetapkannya besaran BPIH oleh Presiden.
Pasal 12
BPIH sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 termasuk biaya:
a.
transportasi;
b.
akomodasi
dan konsumsi;
c.
layanan
umum; dan
d.
hidup
di Arab Saudi.
Pasal 13
(1)
BPIH disetorkan pada rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional
yang ditunjuk oleh Menteri.
(2)
Bank
umum nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan bank umum nasional yang memiliki
layanan yang bersifat nasional dan memiliki layanan syariah.
(3) Bank syariah dan bank umum nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.
memperoleh
rekomendasi dari lembaga yang menangani jasa
keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.
memiliki
layanan yang bersifat nasional.
(4) BPIH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Menteri dengan mempertimbangkan
nilai manfaat.
(5) Nilai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan
langsung untuk membiayai operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Paragraf 5
Bimbingan Jemaah Haji
Pasal 14
Bimbingan Jemaah Haji
Pasal 14
(1) Bimbingan Jemaah
Haji sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf d dilaksanakan sebelum keberangkatan
ke Arab Saudi, selama perjalanan, dan selama di Arab Saudi.
(2) Bimbingan Jemaah Haji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang memenuhi persyaratan dan standar yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Bimbingan Jemaah Haji sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
a.
bimbingan pelaksanaan Ibadah Haji atau manasik haji;
b.
bimbingan
perjalanan Ibadah Haji; dan c. bimbingan
kesehatan.
Pasal 15
(1) Selain bimbingan Jemaah Haji yang
diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Jemaah Haji
sebelum keberangkatan ke Arab Saudi dapat menerima bimbingan haji yang
diselenggarakan oleh masyarakat, baik secara perseorangan maupun kelompok
bimbingan, atas biaya Jemaah Haji.
(2) Perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki:
a.
pemahaman mengenai syarat dan rukun Ibadah Haji sesuai dengan syariat Islam; dan
b.
pengalaman
melakukan Ibadah Haji.
(3)
Kelompok bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat izin dari
Menteri.
(4)
Bimbingan
Jemaah Haji yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan prinsip nirlaba.
Paragraf 6
Pembentukan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
Pasal 16
Pembentukan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
Pasal 16
(1)
Menteri membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf e di tingkat pusat, di daerah yang
memiliki embarkasi, dan
di Arab Saudi.
(2) Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
sudah terbentuk paling lambat 3 (tiga)
bulan sebelum pemberangkatan Jemaah Haji kelompok terbang pertama.
(3)
Gubernur atau bupati/walikota di daerah yang tidak memiliki embarkasi dapat membentuk
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji.
(4)
Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) terdiri atas unsur
Kementerian Agama, kementerian/instansi
terkait, dan pemerintah daerah.
Pasal 17
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
bertugas untuk melakukan pembinaan, pelayanan
dan perlindungan, serta pengendalian
dan koordinasi pelaksanaan operasional
Ibadah Haji di dalam negeri dan di Arab Saudi.
-
13 -
Pasal 18
Pasal 18
(1)
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dibantu oleh petugas haji yang menyertai Jemaah Haji
selama pelaksanaan Ibadah Haji.
(2)
Petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
aparatur Kementerian Agama, kementerian/
instansi terkait, pemerintah daerah, dan/atau unsur masyarakat sesuai dengan
keahlian yang dibutuhkan.
(3) Petugas haji sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikelompokkan ke dalam:
a.
Tim
Pemandu Haji Indonesia (TPHI);
b.
Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI); dan
c. Tim Kesehatan
Haji Indonesia (TKHI).
(4)
Petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(5)
Dalam menetapkan petugas haji sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
huruf c, Menteri
berkoordinasi
dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(6) Selain petugas
haji sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), gubernur atau bupati/walikota dapat mengangkat
petugas haji daerah yang terdiri atas Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) dan Tim
Kesehatan Haji Daerah (TKHD).
(7) Petugas haji
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) harus memenuhi persyaratan kompetensi,
pengalaman, integritas, dan dedikasi yang dilakukan melalui seleksi secara
profesional.
(8) Sebelum melaksanakan tugasnya,
petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) diberikan orientasi dan pelatihan sesuai dengan bidang
tugasnya.
Pasal 19
Biaya operasional Panitia
Penyelenggara Ibadah Haji sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 18 ayat (3)
dan ayat (6) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Paragraf 7
Pelayanan Administrasi dan Dokumen Haji
Pasal 20
Pelayanan Administrasi dan Dokumen Haji
Pasal 20
(1)
Pelayanan administrasi dan dokumen haji sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf f diberikan kepada Jemaah Haji di tanah air dan di Arab Saudi.
(2)
Pelayanan
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit meliputi pelayanan pendaftaran, pelunasan, dan
pemanggilan masuk asrama haji.
(3) Pelayanan dokumen haji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengurusan paspor, visa, dokumen
perjalanan Ibadah Haji, dan dokumen lain yang diperlukan.
(4)
Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keimigrasian
wajib memberikan kemudahan dalam penerbitan
paspor Jemaah Haji.
Paragraf
8
Pelayanan Transportasi Jemaah Haji
Pasal 21
Pelayanan Transportasi Jemaah Haji
Pasal 21
(1) Pelayanan Transportasi Jemaah Haji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf g dilakukan oleh pelaksana
transportasi Jemaah Haji berdasarkan penetapan
Menteri dengan mempertimbangkan efisiensi, kualitas pelayanan, kepastian
pelayanan, keselamatan dan keamanan, serta
kepentingan nasional.
(2) Penetapan pelaksana transportasi
Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam perjanjian yang paling sedikit memuat:
a.
hak
dan kewajiban para pihak;
b.
spesifikasi
alat angkut;
c.
kapasitas
penumpang;
d.
biaya
angkutan; dan
e. jangka waktu.
(3) Pelayanan Transportasi Jemaah
Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi moda transportasi udara dan
moda transportasi darat.- 16 -
Pasal 22
(1) Menteri menetapkan moda transportasi
udara untuk pengangkutan Jemaah Haji.
(2) Moda transportasi
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) harus memenuhi persyaratan standar kelaikudaraan, persyaratan
administratif, kapasitas pesawat, dan standar teknis lainnya.
(3) Persyaratan standar kelaikudaraan, persyaratan
administratif, kapasitas pesawat, dan standar teknis lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perhubungan.
Pasal 23
Biaya
Transportasi haji dari daerah asal ke embarkasi dan dari debarkasi ke daerah asal ditetapkan dalam
Peraturan Daerah setempat.
Pasal 24
Transportasi darat Jemaah Haji
antarkota Jedah, Mekah, dan Madinah serta
antara Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Masyair) diselenggarakan
oleh Menteri bekerjasama dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Pasal 25
(1) Menteri melakukan pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan pelayanan
Transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(2) Dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian pelayanan Transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Paragraf 9
Pelayanan Akomodasi dan Konsumsi
Pasal 26
Pelayanan Akomodasi dan Konsumsi
Pasal 26
(1)
Pelayanan
akomodasi dan konsumsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h diberikan
kepada Jemaah Haji di asrama haji embarkasi dan di Arab Saudi.
(2)
Pelayanan akomodasi dan konsumsi bagi Jemaah Haji selama di
Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh Menteri.
(3) Standar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan pelayanan dan ketentuan yang berlaku di Arab
Saudi.
Paragraf 10
Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Jemaah Haji
Pasal 27
Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Jemaah Haji
Pasal 27
(1) Pembinaan dan pelayanan kesehatan
Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i wajib diberikan sebelum keberangkatan, selama pelaksanaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan 14 (empat belas) hari setelah kembali ke Tanah
Air.
(2) Pemerintah wajib melindungi Jemaah Haji dari
penyakit menular yang:
penyakit menular yang:
a.
diduga
mewabah di Arab Saudi;
b.
terbawa Jemaah Haji dari Indonesia ke Arab Saudi; dan/atau
c. terbawa Jemaah Haji dari Arab Saudi
ke
Indonesia.
Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembinaan dan pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 28
Dalam hal Jemaah
Haji sakit, Pemerintah wajib memberikan
pelayanan:
a.
safari
wukuf bagi Jemaah Haji yang masih dapat diberangkatkan ke Arafah; dan
b. badal haji bagi Jemaah Haji
yang tidak dapat
diberangkatkan ke Arafah.
diberangkatkan ke Arafah.
Paragraf 11
Perlindungan Jemaah Haji dan Petugas Haji
Pasal 29
Perlindungan Jemaah Haji dan Petugas Haji
Pasal 29
(1) Perlindungan
Jemaah Haji dan petugas haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf j dilakukan dalam
bentuk asuransi dan perlindungan lain yang diperlukan.
(2)
Biaya asuransi dan perlindungan lain yang diperlukan bagi Jemaah Haji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibebankan ke dalam komponen BPIH.
(3)
Biaya asuransi dan perlindungan lain yang diperlukan bagi petugas haji
dibebankan kepada Pemerintah.
Paragraf 12
Koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji
Pasal 30
Koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji
Pasal 30
Koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf k dilakukan oleh Menteri dengan menteri/pimpinan
instansi terkait dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji di tingkat nasional.
Pasal 31
(1) Gubernur berkoordinasi dengan
pimpinan instansi vertikal/instansi terkait
dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji di tingkat provinsi.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Agama provinsi.
Pasal 32
(1) Bupati/walikota berkoordinasi dengan pimpinan instansi vertikal/ instansi terkait dalam
Penyelenggaraan Ibadah Haji di tingkat
kabupaten/ kota.
kabupaten/ kota.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama kabupaten/
kota.
Pasal 33
(1)
Kepala Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia untuk Kerajaan
Arab Saudi berkoordinasi dengan instansi terkait di Arab Saudi dalam Penyelenggaraan
Ibadah Haji di Arab Saudi.
(2)
Koordinasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Konsul Jenderal Republik Indonesia di Jeddah yang secara teknis
operasional dilakukan oleh Kepala Kantor Misi Haji Indonesia.
BAB
III
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Pasal 34
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Pasal 34
(1) Selain Penyelenggaraan Ibadah Haji
Reguler, penyelenggaraan Ibadah Haji dapat dilakukan melalui Penyelenggaraan
Ibadah Haji Khusus yang pelayanan, pengelolaan, dan pembiayaannya bersifat
khusus.
(2) Pelayanan dan pengelolaan yang
bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi waktu pelaksanaan,
akomodasi, konsumsi, transportasi, kesehatan, dan bimbingan ibadah haji.
- 21 -
Pasal 35
Pasal 35
(1)
Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh PIHK.
(2)
Menteri
menetapkan jumlah minimal dan maksimal Jemaah Haji khusus yang dapat dilayani
oleh PIHK pada satu musim haji.
(3)
PIHK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
(4)
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:
a.
telah
memperoleh izin sebagai PPIU dari Menteri;
b.
telah
menyelenggarakan Ibadah umrah paling singkat
selama 3 (tiga) tahun dan memberangkatkan
jemaah umrah paling sedikit 300 (tiga ratus) orang;
c.
memiliki kemampuan teknis untuk
menyelenggarakan Ibadah Haji
khusus yang
meliputi
kemampuan sumber
daya manusia,
sarana dan prasarana, dan manajemen;
sarana dan prasarana, dan manajemen;
d.
memiliki kemampuan finansial untuk
menyelenggarakan
Ibadah Haji
khusus yang
dibuktikan dengan jaminan bank; dan
dibuktikan dengan jaminan bank; dan
e. memiliki komitmen untuk menyelenggarakan
Ibadah Haji khusus sesuai dengan peraturan
Ibadah Haji khusus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, standar
pelayanan yang
ditetapkan oleh Menteri, dan ketentuan
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
(5) PIHK yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberi izin oleh Menteri untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 36
(1)
PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) wajib memberikan pelayanan:
a.
pendaftaran;
b.
bimbingan
Jemaah Haji khusus;
c.
Transportasi
Jemaah Haji khusus;
d.
akomodasi
dan konsumsi di Arab Saudi;
e.
kesehatan
Jemaah Haji khusus;
f.
perlindungan Jemaah Haji khusus dan petugas haji khusus; dan
g. administrasi
dan dokumen haji.
(2) Kewajiban memberikan pelayanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
sampai dengan huruf g dituangkan
dalam bentuk perjanjian yang disepakati antara PIHK dengan Jemaah Haji
khusus.
Pasal 37
PIHK wajib melakukan pelayanan
pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a hanya bagi Jemaah Haji khusus yang
telah terdaftar di Kementerian Agama.
- 23 -
Pasal 38
Pasal 38
(1)
Pendaftaran Jemaah Haji khusus dilakukan di kantor wilayah
Kementerian Agama atau di kantor Kementerian Agama pusat sesuai dengan
prosedur dan
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)
Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang tahun dengan prinsip
pelayanan berdasarkan nomor urut pendaftaran.
(3) Nomor urut
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar dalam pelayanan
pemberangkatan Jemaah Haji.
Pasal 39
(1)
Pelayanan bimbingan Jemaah Haji khusus oleh PIHK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dilakukan sebelum keberangkatan, selama di perjalanan,
dan selama di Arab Saudi.
(2)
Bimbingan Jemaah Haji khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh petugas yang diangkat oleh PIHK.
(3) PIHK wajib mengangkat petugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai
standar yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 40
(1) Pelayanan Transportasi oleh PIHK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c terdiri atas pelayanan
transportasi dari dan ke Arab Saudi dan selama di Arab Saudi.
(2)
Transportasi
dari dan ke Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan
aspek kenyamanan, efisiensi rute perjalanan,
keselamatan, dan keamanan sesuai standar yang telah ditetapkan oleh
Menteri.
(3)
PIHK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan
bukti tiket dan konfirmasi penerbangan kepada Menteri sebagai jaminan
kepastian keberangkatan dan kepulangan
Jemaah Haji khusus.
Pasal 41
(1)
Pelayanan akomodasi oleh PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
huruf d wajib dilakukan dengan menempatkan Jemaah Haji khusus di hotel yang memenuhi standar yang ditetapkan
oleh Menteri.
(2)
Pelayanan konsumsi oleh PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
huruf d wajib dilakukan sesuai standar menu, higienitas, dan kesehatan yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 42
(1) Pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf e
dilakukan oleh petugas yang diangkat oleh PIHK.
(2) Petugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memenuhi standar yang
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
(3)
Dalam hal Jemaah Haji khusus sakit, PIHK wajib memberikan pelayanan:
a.
safari
wukuf bagi Jemaah Haji yang masih dapat diberangkatkan ke Arafah; dan
b.
badal
haji bagi Jemaah Haji yang tidak dapat diberangkatkan ke Arafah.
Pasal 43
(1) Perlindungan Jemaah Haji khusus dan
petugas haji khusus oleh PIHK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf f dilakukan dengan mengasuransikan Jemaah Haji khusus dan petugas haji
khusus.
(2) Asuransi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan.
(3) Besaran
pertanggungan asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 44
Pelayanan administrasi dan dokumen haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf g wajib dilakukan
oleh PIHK dalam bentuk:
a.
menyerahkan paspor Jemaah Haji khusus kepada Menteri untuk pengurusan visa;
b.
menyerahkan
barcode PIHK yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sesuai
batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri;
c.
melaporkan keberangkatan Jemaah Haji khusus kepada Menteri;
d.
melaporkan kedatangan dan kepulangan Jemaah Haji khusus dari dan ke Arab Saudi kepada
Kepala Kantor Misi Haji Indonesia di Arab Saudi; dan
e. melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri.
Pasal 45
Menteri menetapkan kuota bagi jemaah
haji khusus.
Pasal 46
(1)
Menteri
menetapkan besaran minimal BPIH khusus.
(2) BPIH khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disetorkan pada saat pendaftaran ke
rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang
ditunjuk oleh Menteri.
(3) Bank syariah dan/atau bank umum
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
Pasal 47
BPIH khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) diserahkan kepada PIHK setelah PIHK menyerahkan barcode sesuai batas waktu yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 48
PIHK dilarang:
a. memberangkatkan dan memulangkan
Jemaah Haji khusus tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan;
b. memungut biaya di
bawah besaran minimal BPIH khusus
yang ditetapkan oleh Menteri;
c. memalsukan dokumen Jemaah Haji
khusus; dan
d. tidak memenuhi
kewajibannya kepada pihak-pihak terkait di tanah air dan di Arab Saudi.
Pasal 49
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, PIHK juga dilarang menelantarkan Jemaah Haji
sehingga mengakibatkan Jemaah Haji:
a.
gagal
berangkat ke Arab Saudi;
b.
melanggar
masa berlaku visa;
c.
tidak
dapat melaksanakan rukun haji; atau
d.
terancam keamanan dan keselamatannya. Pasal 50
(1)
Menteri melakukan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Ibadah Haji yang
dilaksanakan oleh PIHK.
(2)
Hasil
pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan
untuk memberikan akreditasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh PIHK atau
digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengenaan sanksi.
- 28 -
Pasal 51
Pasal 51
(1) Pemegang izin PIHK yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikenai sanksi
administratif oleh Menteri.
(2) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.
peringatan
tertulis;
b.
pembekuan izin penyelenggaraan; atau c. pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 52
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3),
Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
41, Pasal 42 ayat (2), Pasal 44, dan Pasal 48 huruf a dan huruf d
dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Pengulangan terhadap pelanggaran
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin penyelenggaraan
paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 53
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan
ketentuan Pasal 48 huruf b dan huruf c
dikenai sanksi administratif berupa
pembekuan izin penyelenggaraan paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Pengulangan terhadap pelanggaran
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 54
Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai sanksi administratif berupa
pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 55
Menteri mencabut
izin penyelenggaraan PIHK, apabila izin operasional PIHK sebagai biro
perjalanan wisata dicabut
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata,
gubernur, atau bupati/walikota.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengawasan, pengendalian, akreditasi, dan pengenaan sanksi PIHK diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PENYELENGGARAAN PERJALANAN IBADAH UMRAH
Pasal 57
PENYELENGGARAAN PERJALANAN IBADAH UMRAH
Pasal 57
(1) Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah
dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau PPIU.
dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau PPIU.
(2) PPIU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.
telah
memperoleh izin sebagai biro perjalanan wisata
dari kementerian/instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang pariwisata;
b. telah beroperasi paling singkat 2
(dua) tahun
sebagai biro perjalanan wisata;
sebagai biro perjalanan wisata;
c.
memiliki
kemampuan teknis untuk menyelenggarakan
perjalanan Ibadah Umrah yang meliputi kemampuan sumber daya manusia,
manajemen, serta sarana dan prasarana;
d.
memiliki
kemampuan finansial untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah yang
dibuktikan dengan jaminan bank;
e.
memiliki mitra biro penyelenggara Ibadah Umrah di Arab Saudi yang memperoleh izin
resmi dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi; dan
f.
memiliki
komitmen untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 58
PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 ayat (1) wajib
memberikan pelayanan:
a.
bimbingan
Ibadah Umrah;
b.
transportasi
jemaah umrah;
c.
akomodasi
dan konsumsi di Arab Saudi;
d.
kesehatan
jemaah umrah;
e.
perlindungan
jemaah umrah dan petugas umrah; dan
f.
administrasi
dan dokumen umrah.
Pasal 59
(1) Pelayanan bimbingan jemaah umrah oleh
PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilakukan sebelum keberangkatan, selama di perjalanan, dan selama
di Arab Saudi.
(2) Bimbingan jemaah
umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang diangkat oleh PPIU.
(3) PPIU wajib
mengangkat petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 60
(1) Pelayanan Transportasi oleh PPIU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b
terdiri atas pelayanan Transportasi dari dan ke Arab Saudi dan selama di
Arab Saudi.
(2) Transportasi dari dan ke Arab Saudi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan aspek kenyamanan,
keselamatan, dan keamanan.
Pasal 61
(1) Pelayanan
akomodasi oleh PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c wajib dilakukan dengan menempatkan jemaah umrah di penginapan yang
layak.
(2) Pelayanan konsumsi
oleh PPIU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 huruf c wajib dilakukan sesuai standar menu, higienitas, dan
kesehatan.
Pasal 62
Pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
58 huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Pasal 63
(1) Perlindungan jemaah umrah dan petugas
umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
huruf e menjadi tanggung jawab PPIU dengan memberikan asuransi jiwa,
kesehatan, dan kecelakaan kepada jemaah umrah.
(2) Besaran
pertanggungan asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 64
Pelayanan administrasi dan dokumen
umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
huruf f wajib dilakukan oleh PPIU dalam bentuk:
a.
melakukan pengurusan dokumen perjalanan umrah dan visa bagi jemaah umrah;
b.
melaporkan keberangkatan jemaah umrah kepada Menteri;
c. melaporkan kedatangan dan kepulangan
jemaah umrah dari dan ke Arab Saudi kepada Kepala Kantor Misi Haji Indonesia di
Arab Saudi; dan
d. melaporkan
pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Umrah kepada Menteri.
Pasal 65
PPIU dilarang
menelantarkan jemaah umrah yang mengakibatkan j emaah umrah:
a.
gagal
berangkat ke Arab Saudi;
b.
melanggar masa berlaku visa; atau c. terancam
keamanan dan keselamatannya. Pasal
66
(1)
Menteri melakukan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan
Ibadah Umrah yang dilaksanakan oleh
PPIU.
(2)
Hasil
pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan
untuk memberikan akreditasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh PPIU atau
digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengenaan sanksi.
Pasal 67
(1) Pemegang izin PPIU yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi
administratif oleh Menteri.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.
peringatan
tertulis;
b.
pembekuan izin penyelenggaraan; atau c. pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 68
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3), Pasal 60 ayat (2), Pasal 61, dan Pasal 64 dikenai sanksi
administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Pengulangan terhadap pelanggaran
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin penyelenggaraan
paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 69
Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dikenai sanksi administratif berupa
pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 70
Menteri mencabut izin
penyelenggaraan PPIU, apabila izin operasional PPIU sebagai biro perjalanan wisata dicabut oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pariwisata, gubernur, atau bupati/walikota.
- 35 -
Pasal 71
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengawasan, pengendalian, akreditasi, dan pengenaan sanksi PPIU diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB V
ORGANISASI
BP DAU
Bagian Kesatu
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 72
Organisasi BP DAU terdiri atas:
a.
Ketua/Penanggung
jawab;
b.
Dewan
Pengawas; dan c. Dewan Pelaksana.
Bagian Kedua
Ketua/ Penanggung jawab
Ketua/ Penanggung jawab
Pasal 73
Ketua/Penanggung jawab BP DAU adalah
Menteri.
Pasal 74
(1)
Ketua/Penanggung jawab BP DAU mempunyai tugas memimpin pengelolaan DAU.
(2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua/Penanggung jawab BP DAU
menyelenggarakan fungsi:
a.
menetapkan kebijakan, rencana strategis, dan rencana program serta anggaran BP
DAU;
b.
melaporkan hasil pelaksanaan tugas BP DAU setiap tahun
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
(3) Penetapan
kebijakan oleh Ketua/Penanggung jawab BP DAU sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dilaksanakan atas usul Dewan Pelaksana berdasarkan persetujuan Dewan
Pengawas.
Bagian Ketiga
Dewan Pengawas
Pasal 75
Dewan Pengawas
Pasal 75
Dewan Pengawas BP DAU berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada
Ketua/Penanggung jawab BP DAU.
Pasal 76
(1)
Dewan Pengawas BP DAU terdiri atas 9 (sembilan) orang anggota.
(2)
Keanggotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas unsur masyarakat sebanyak 6 (enam) orang dan unsur Pemerintah
sebanyak 3 (tiga) orang.
(3)
Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Majelis
Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
(4)
Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk dari Kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
(5)
Dewan Pengawas BP DAU dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
(6)
Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pengawas.
Pasal 77
Untuk dapat diangkat menjadi Dewan
Pengawas BP DAU, calon
anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b.
beragama
Islam;
c. berusia paling
rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
d.
sehat rohani dan jasmani berdasarkan keterangan dokter;
e. berijazah paling rendah strata satu;
f.
memiliki
profesionalitas dalam bidang yang relevan;
g. mempunyai
komitmen yang tinggi dan amanah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan DAU bagi kemaslahatan
umat; dan
h. tidak pernah dipidana dengan
pidana penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 78
(1)
Keanggotaan
Dewan Pengawas BP DAU dari unsur Pemerintah dijabat oleh pejabat eselon I pada
kementerian
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
pemerintahan di bidang agama.
(2)
Pejabat eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pejabat yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang haji, bidang pengawasan, serta bidang manajemen
dan administrasi.
Pasal 79
Keanggotaan Dewan Pengawas BP DAU dari unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat
(3) dipilih oleh panitia seleksi.
Pasal 80
(1)
Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
dibentuk oleh Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur Kementerian Agama, kementerian/instansi
terkait, dan unsur lain yang diperlukan.
(2)
Anggota panitia seleksi tidak dapat dipilih menjadi anggota Dewan Pengawas BP DAU.
(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memilih dan menetapkan calon anggota dewan pengawas BP DAU
berdasarkan hasil seleksi.
(4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pelaksanaan seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 81
Calon anggota Dewan Pengawas BP DAU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 dan Pasal 80 ayat (3) diajukan oleh
Menteri kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi anggota Dewan Pengawas
BP DAU.
Pasal 82
(1) Anggota Dewan Pengawas BP DAU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 menyelenggarakan rapat untuk memilih calon
ketua dan wakil ketua Dewan Pengawas BP DAU.
(2) Calon ketua terpilih Dewan Pengawas
BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri kepada Presiden
untuk ditetapkan menjadi Ketua Dewan Pengawas BP DAU.
(3) Dalam hal Ketua Dewan Pengawas
belum ditetapkan oleh Presiden dan untuk
kelancaran pelaksanaan tugas organisasi, Ketua Dewan Pengawas Terpilih
bertindak sebagai Ketua Dewan Pengawas BP DAU.
Pasal 83
(1)
Dewan Pengawas BP DAU mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap
pengelolaan DAU yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pengawasan terhadap penghimpunan, pengembangan,
dan pemanfaatan DAU serta memberikan pertimbangan kepada Ketua/Penanggungjawab
BP DAU.
(2)
Dewan
Pengawas mempunyai fungsi:
a.
menyusun
sistem pengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, dan pengawasan DAU;
b.
melaksanakan penilaian atas rumusan kebijakan, rencana
strategis dan rencana kerja serta anggaran tahunan pengelolaan,
pemanfaatan, dan pengembangan
DAU;
c.
melaksanakan pengawasan dan pemantauan atas pelaksanaan pengelolaan dan
pemanfaatan DAU; dan
d.
menilai dan memberikan pertimbangan terhadap laporan tahunan yang disiapkan oleh
Dewan Pelaksana sebelum ditetapkan menjadi
laporan BP DAU.
(3) Dalam pelaksanaan pengawasan
keuangan, Dewan Pengawas dapat menggunakan
jasa tenaga profesional.
Bagian Keempat
Dewan Pelaksana
Pasal 84
Dewan Pelaksana
Pasal 84
Dewan Pelaksana
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua/ Penanggung jawab
BP DAU melalui Dewan
Pengawas.
Pasal 85
(1)
Dewan Pelaksana BP DAU terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota.
(2)
Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
unsur Pemerintah dan ditunjuk oleh Menteri.
(3)
Dewan
Pelaksana dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh Menteri dari anggota
Dewan Pelaksana.
(4)
Penunjukan
anggota Dewan Pelaksana BP DAU oleh Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan usulan dari Sekretaris Jenderal
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penunjukkan calon anggota Dewan Pelaksana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri
Pasal
86
Untuk dapat diangkat menjadi Anggota
Dewan Pelaksana BP
DAU, calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Pegawai
Negeri;
b.
beragama
Islam; dan
c. paling rendah menduduki jabatan eselon II.
Pasal 87
Calon Ketua dan calon anggota Dewan
Pelaksana BP DAU yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3)
diajukan kepada Presiden oleh Menteri untuk
ditetapkan menjadi Ketua dan Anggota
Dewan Pelaksana BP DAU dengan Keputusan Presiden.
Pasal 88
(1)
Dewan Pelaksana mempunyai tugas merencanakan dan melaksanakan program pemanfaatan
dan pengembangan DAU, serta mempertanggungjawabkan dan melaporkan pengelolaan
DAU kepada Menteri.
(2)
Dewan
Pelaksana mempunyai fungsi:
a.
menyiapkan rumusan kebijakan, rencana strategis, dan
rencana kerja serta anggaran tahunan
pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU;
b.
melaksanakan
program pemanfaatan dan pengembangan DAU yang telah ditetapkan oleh
Ketua/Penanggungjawab BP DAU;
c.
melakukan
penatausahaan pengelolaan keuangan dan aset DAU sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d.
melakukan
penilaian atas kelayakan usul
pemanfaatan DAU yang diajukan oleh
masyarakat;
masyarakat;
e.
melaporkan
pelaksanaan program dan anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU secara periodik kepada Dewan
Pengawas;
f.
menyiapkan
laporan tahunan dan laporan pertanggungjawaban
BP DAU kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
g. menyiapkan rancangan Keputusan
Ketua/Penanggung jawab
BP DAU tentang
pemanfaatan DAU;
pemanfaatan DAU;
h.
menetapkan ketentuan teknis pelaksanaan operasional BP DAU;
i.
menyelenggarakan administrasi pengelolaan DAU sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan; dan
j. membuat lap oran keuangan
sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rancangan
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g disampaikan kepada
Ketua/Penanggung jawab BP DAU setelah
memperoleh persetujuan
dan pertimbangan dari
Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas.
Pasal 89
Untuk membantu pelaksanaan tugas
Dewan Pelaksana, Menteri selaku Ketua/Penanggung jawab BP DAU dapat mengangkat
tenaga profesional.
Bagian Kelima
Pemberhentian Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana
Pasal 90
Pemberhentian Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana
Pasal 90
(1) Anggota Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU berhenti karena:
a.
berakhir
masa jabatan sebagai anggota; atau
b.
meninggal
dunia.
(2) Anggota Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU dapat diberhentikan karena:
a.
mengundurkan
diri atas permintaan sendiri;
b.
bertempat
tinggal tetap di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
c.
sakit
yang berkepanjangan dan/atau tidak melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan
secara terus-menerus tanpa alasan yang sah;
d.
dipidana dengan pidana penjara karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(3) Selain
berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anggota Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU yang berasal dari unsur Pemerintah
diberhentikan jika yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan dari
jabatannya.
Pasal
91
(1) Dalam hal anggota Dewan Pengawas
BP DAU dari unsur Pemerintah dan Anggota Dewan Pelaksana BP DAU berhenti atau
diberhentikan dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 sebelum masa jabatannya berakhir, Menteri
menunjuk pejabat pengganti sesuai dengan
ketentuan Pasal 78 dan Pasal 86
sebagai anggota Dewan Pengawas dan anggota Dewan Pelaksana BP DAU.
(2) Dalam hal anggota Dewan Pengawas BP
DAU yang berasal dari unsur masyarakat berhenti atau diberhentikan dengan
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2) sebelum masa
jabatannya berakhir, dapat diganti dengan calon anggota hasil seleksi dari
unsur yang sama.
(3) Masa jabatan
anggota Dewan Pengawas dan anggota Dewan Pelaksana BP DAU pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berakhir bersamaan
dengan masa jabatan anggota Dewan Pengawas dan anggota Dewan Pelaksana BP DAU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggantian keanggotaan Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian
Keenam
Mekanisme Kerja
Pasal 92
Mekanisme Kerja
Pasal 92
(1)
Hubungan dan mekanisme kerja BP DAU dilaksanakan
sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing antara Ketua/ Penanggung jawab, Dewan Pengawas dan
Dewan Pelaksana BP DAU.
(2)
Hubungan dan mekanisme kerja BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan prinsip
profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas.
Pasal 93
(1)
BP DAU melaksanakan sidang secara berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu)
tahun.
(2)
Sidang BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin
oleh Ketua/Penanggung jawab BP DAU dan dihadiri oleh para anggota Dewan
Pengawas dan Dewan
Pelaksana BP DAU.
Pasal 94
Dewan Pengawas BP
DAU melaksanakan sidang secara berkala
paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 95
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 95
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang
mengatur mengenai Penyelenggaraan
Ibadah Haji dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 96
Peraturan Pemerintah ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Oktober 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2012 NOMOR 186
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 79 TAHUN 2012
NOMOR 79 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
I. UMUM
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan
tugas nasional yang melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik di dalam
negeri maupun di Arab Saudi. Pemerintah
berkewajiban untuk terus meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji
dalam bentuk
pelayanan
administrasi pendaftaran, bimbingan manasik dan perjalanan haji, dokumen perjalanan,
transportasi udara dan darat baik di dalam negeri maupun di Arab Saudi, pelayanan kesehatan
baik sebelum keberangkatan, selama di perjalanan, selama di Arab Saudi maupun saat kembali ke tanah air, pelayanan
akomodasi dan konsumsi baik di tanah air maupun di Arab Saudi, dan
keamanan serta perlindungan bagi jemaah haji.
Dalam rangka
mewujudkan akuntabilitas publik, penyelenggaraan ibadah haji harus
dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip
efektifitas,
efisiensi, keadilan, dan profesionalitas. Penyelenggaraan ibadah haji harus dikelola dengan
mengutamakan kepentingan jemaah sesuai
dengan hak dan kewajibannya agar dapat melaksanakan ibadah
haji sesuai dengan tuntutan syariah
dan pelaksanaannya dapat
berjalan dengan aman dan nyaman.
berjalan dengan aman dan nyaman.
Meskipun penyelenggaraan ibadah haji
menjadi tanggung jawab
Pemerintah,
masyarakat didorong partisipasinya dalam penyelenggaraan ibadah haji melalui bimbingan ibadah haji
baik secara perseorangan maupun kelompok dan penyelenggaraan ibadah haji khusus
bagi jemaah haji yang memerlukan pelayanan khusus.
Demikian pula, masyarakat diberikan peluang untuk
menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah di luar musim haji.
menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah di luar musim haji.
Dalam rangka memberikan perlindungan
bagi jemaah haji dan jemaah umrah
dan untuk menjamin terlaksananya peran serta masyarakat dengan baik dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, Pemerintah
melakukan pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
Untuk melaksanakan penyelenggaraan
ibadah haji sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji, Pemerintah perlu menetapkan Peraturan perundang-undangan
yang mencakup kebijakan umum penyelenggaraan
ibadah haji, penyelenggaraan ibadah haji khusus, penyelenggaraan perjalanan
ibadah umrah, dan organisasi BP DAU.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup
jelas. Pasal 4
Cukup
jelas. Pasal 5
Cukup
jelas. Pasal 6
Cukup
jelas. Pasal 7
Cukup
jelas. Pasal 8
Cukup
jelas. Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan layanan umum antara lain :
a.
biaya
pelayanan muassasah;
b.
biaya perkemahan di Arafah dan Mina; dan c. biaya naqobah
(angkutan antarkota perhajian).
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup
jelas. Pasal 14
Cukup
jelas. Pasal 15
Cukup
jelas. Pasal 16
Cukup
jelas. Pasal 17
Cukup
jelas. Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup
jelas. Pasal 20
Cukup
jelas. Pasal 21
Cukup
jelas. Pasal 22
Cukup
jelas. Pasal 23
Cukup
jelas. Pasal 24
Cukup
jelas. Pasal 25
Cukup
jelas. Pasal 26
Cukup
jelas. Pasal 27
Cukup
jelas. Pasal 28
Cukup
jelas. Pasal 29
Cukup
jelas. Pasal 30
Cukup
jelas. Pasal 31
Cukup
jelas. Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup
jelas. Pasal 34
Cukup
jelas. Pasal 35
Cukup
jelas. Pasal 36
Cukup
jelas. Pasal 37
Cukup
jelas. Pasal 38
Cukup
jelas. Pasal 39
Cukup
jelas. Pasal 40
Cukup
jelas. Pasal 41
Cukup
jelas. Pasal 42
Cukup
jelas. Pasal 43
Cukup
jelas. Pasal 44
Cukup
jelas. Pasal 45
Cukup
jelas. Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup
jelas. Pasal 48
Cukup
jelas. Pasal 49
Cukup
jelas. Pasal 50
Cukup
jelas. Pasal 51
Cukup
jelas. Pasal 52
Cukup
jelas. Pasal 53
Cukup
jelas. Pasal 54
Cukup
jelas. Pasal 55
Cukup
jelas. Pasal 56
Cukup
jelas. Pasal 57
Cukup
jelas. Pasal 58
Cukup
jelas. Pasal 59
Cukup
jelas. Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup
jelas. Pasal 62
Cukup
jelas. Pasal 63
Cukup
jelas. Pasal 64
Cukup
jelas. Pasal 65
Cukup
jelas. Pasal 66
Cukup
jelas. Pasal 67
Cukup
jelas. Pasal 68
Cukup
jelas. Pasal 69
Cukup
jelas. Pasal 70
Cukup
jelas. Pasal 71
Cukup
jelas. Pasal 72
Cukup
jelas. Pasal 73
Cukup
jelas. Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup
jelas. Pasal 76
Cukup
jelas. Pasal 77
Cukup
jelas. Pasal 78
Cukup
jelas. Pasal 79
Cukup
jelas. Pasal 80
Cukup
jelas. Pasal 81
Cukup
jelas. Pasal 82
Cukup
jelas. Pasal 83
Cukup
jelas. Pasal 84
Cukup
jelas. Pasal 85
Cukup
jelas. Pasal 86
Cukup
jelas. Pasal 87
Cukup
jelas. Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup
jelas. Pasal 90
Cukup
jelas. Pasal 91
Cukup
jelas. Pasal 92
Cukup
jelas. Pasal 93
Cukup
jelas. Pasal 94
Cukup
jelas. Pasal 95
Cukup
jelas. Pasal 96
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 5345
Tidak ada komentar:
Posting Komentar