Kamis, 10 Agustus 2017

Tantangan Guru Agama dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran


Tantangan Guru Agama dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Guru merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan. Namun demikian, guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Oleh karenanya kita memang banyak menaruh harapan kepada guru dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Guru merupakan ujung tombak bagi keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan dalam pendidikan, oleh karena itu guru-guru yang menangani langsung masalah pendidikan adalah guru-guru yang memiliki kualitas cukup memadai. Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas dalam buku Effective Schools and Effective Teachers (1989) sebagaimana dikutip Suyanto (2000:28) mengemukakan  beberapa kriteria  guru yang efektif sebagai berikut:


1.   Memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim kelas, seperti
a.  memiliki kemampuan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan        kepada siswa dan ketulusan
b.   memiliki hubungan baik dengan siswa
c.   secara tulus menerima dan memperhatikan siswa
d.   menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar
e.   mampu menciptakan atmosfer untuk bekerja sama dan kohesivitas dalam kelompok
f.    melibatkan siswa dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran
g.   mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara dalam setiap diskusi, dan;
h.   meminimalkan friksi-friksi di kelas,  jika ada

2.    Memiliki kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen,  seperti :
a.      memiliki kemampuan secara rutin untuk menghadapi siswa yang tidak memiliki perhatian, suka menyela dan mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan  transisi dalam mengajar, serta
b.     mampu bertanya atau  memberikan tugas yang memerlukan tingkat berpikir yang berbeda

3. Memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik dan penguatan (reinforcement), yaitu:
a.     mampu memberikan umpan balik (feed back) yang positif terhadap respond siswa
b.     mampu memberikan respond yang membantu kepada siswa yang lamban belajar
c.     mampu memberikan tindak lanjut (follow up) terhadap jawaban yang kurang memuaskan
d.     mampu memberikan bantuan kepada siswa  yang diperlukan

4.     Memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, antara lain :
a.      mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara kreatif, inovatif
b.      mampu memperluas dan menambah pengetahuan berkaitan dengan metode-metode pengajaran
c.      mampu memanfaatkan perencanaan kelompok guru untuk menciaptakan metode pengajaran.

Berkaitan dengan kualitas guru ini,  Raka Joni (1980) mengemukakan tiga dimensi umum yang menjadi kompetensi tenaga pendidik yaitu :
1.    Kompetensi personal atau pribadi, artinya seorang guru harus memiliki kepribadian yang mantap yang patut diteladani. Dengan demikian seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani

2.   Kompetensi profesional, artinya seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselengarakannya.

3.   Kompetensi sosial atau kemasyarakatan, artinya seorang guru  harus mampu berkomunikasi baik dengan siswa, sesama guru maupun masyarakat luas (Suyanto, 2000:29).

Berkaitan dengan kompetensi professional guru agama, perlu ditambahkan  suplemen yang keberadaanya bersifat conditio sine quanon. Antara lain, pertama, guru agama harus memahami ilmu pengetahuan selain pengetahuan agama. Pemahaman ilmu pengetahuan secara luas dimaksudkan agar para guru dapat menjelaskan pengetahuan agama dan pengetahuan umum secara komplementer. Al Qur'an adalah kamus dari alam semesta, sedangkan alam semesta adalah ensiklopedi bagi al Qur'an. Segala sesuatu yang termaktub di dalam al Qur'an dapat ditemui dalam realitas empirik  pada berbagai peristiwa di alam semesta. 

Sebaliknya, segala yang terjadi di alam semesta dapat dicari referensinya dalam al Qur'an.   Informasi-informasi dalam al Qur'an selanjutnya dirumuskan secara sistematis oleh para ahli agama menjadi suatu ilmu yang kemudian dikenal dengan istilah ilmu agama, sementara itu berbagai kejadian dan peristiwa alam dipelajari dan disistematisasikan dalam bentuk ilmu pengetahuan. 

Klasifikasi ini bagi kaum muslimin terutama para guru agama tidak boleh dipahamai sebagai pengkotakan (dichotomy) yang terpisah dan berbeda, serta menimbulkan 'fatwa' hukum wajib dan tidak wajib untuk mempelajari salah satunya, tetapi mesti dipahami sebatas klasifikasi ilmiah untuk memudahkan dalam pengkategorian rumpun ilmu pengetahuan.

 Kesemuanya wajib dipelajari, diketahui, dikuasai dan diamalkan  sebagai media pembentukan insan kaffah. Guru agama mesti memahami ilmu pengetahuan agama dan umum karena keduanya saling menjelaskan. Kedua, guru agama harus dapat berdiri lintas madzhab, memahami muqaranah  al madzahib. 

Pemahaman partsial yang fanatik dan eklusif atas salah satu madzhab oleh beberapa pengikut sekte keagamaan tertentu tidak layak untuk dipertahankan apalagi dikembangkan, karena hal demikian tidak sejalan dengan realitas pemikiran yang heterogen dan memakukan diri pada setting  yang sangat terbatas. Pemahaman lintas madzhab tidak dimaksudkan untuk melegitimasi tingkah eklektik dalam keberagamaan, melainkan diarahkan untuk memahami agama secara proporsional, mengembangkan sikap toleran, menghargai pluralitas dan dapat saling 'menikmati' rahmat Allah. Kalau hal ini dapat terjadi, maka perdebatan-perdebatan  internal ummat beragama  yang sering mubadzir dapat diminimalisir.   Ketiga, guru agama harus dapat memahami bahwa dirinya hidup pada masa kini dan di sini. 

  Pemahaman demikian diperlukan, agar  mereka dapat menjelaskan ajaran agama secara kontekstual. Ajaran agama yang dipahami dengan menyandarkan pendapat para pendahulu secara mutlak (sami'na wa atha'na) dimana setting sosial-kultural sudah sangat berbeda, akan mempercepat keusangan ajaran agama, membosankan, tidak menarik dan melanggengkan kemunduran ummat Islam. 

Penjelasan para ulama terdahulu atas wahyu Allah dan hadist nabi sangat terkait sekali dengan kondisi diri dan lingkungan dimana mereka berada. Maka tidak ada alasan untuk memutlakkan penjelasan mereka sebagai kebenaran dan bahkan mensejajarkan kebenaran pendapat mereka dengan kebenaran al Qur'an dan hadist nabi yang haram untuk dikritisi. 

Ketiga, guru agama harus berani menampakkan diri dan tidak “picisan”. Perilaku guru agama yang terkadang menyembunyikan diri mereka, malu ketika disebut sebagi guru agama, menunjukkan sikap “picisan”nya dan tidak komitmennya pada profesi dan agamanya. Sikap ini terjadi karena mereka sadar diri bahwa mereka belum bahkan tidak sepenuhnya menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.

Keempat, guru agama harus memahami dan menguasai ilmu perbandingan agama. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memperkuat penjelasan tentang kebenaran ajaran agama yang dianutnya. Kelima, guru agama harus percaya diri (self confident). Profil guru agama yang penuh percaya diri, bersemangat, motivasi kerja tinggi, bergairah membuat para anak didik semakin termotivasi untuk belajar dan bersikap optimis dalam hidup.   

Dalam menjalankan tugasnya, peningkatan profesionalisme guru agama perlu diupayakan melalui kegiatan pembinaan in service training. Peningkatan profesionalisme guru masa depan perlu memanfaatkan pendekatan yang bersifat kolaboratif. Jika model penataran yang bersifat top down, semisal penataran masih diperatahankan, profesionalisme guru   hanya akan berjalan di tempat, bahkan  penataran yang diselenggarakan berhari-hari akan mengganggu proses  kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru-guru  yang baik justru  tidak sempat mengajar secara intensif karena harus mengikuti penataran. Alternatif yang baik  bagi penataran guru masa depan ialah dengan Collaborative Action Research (CAR). 

Riset ini  dapat digunakan untuk peningkatan profesionalisme guru secara langsung sesuai dengan konteks kultural  sekolah di  mana guru mengajar. Hal ini terjadi karena dalam CAR guru diajak menemukan dan  merumuskan masalah yang dihadapi secara  bersama, lalu diajak  mencoba merumuskan  dan melakukan langkah-langkah solusinya, kemudian diajak  melakukan refleksi terhadap solusi yang disepakati dan akhirnya diajak melakukan  pengembangan proses pembelajaran sesuai dengan temuan CAR yang mereka lakukan bersama-sama. 

Model CAR sebagai alternatif penataran guru memiliki legitimasi yang kuat, baik dilihat dari aspek akademik maupun setting kultural sekolah. Model CAR ini dapat digunakan untuk  meningkatkan profesionalisme guru secara lebih bermakna. Bahkan Jeck Whitehead (1990), Jean McNiff (1993)  dan Sharon Nodie Oja (1989) meyakini bahwa model CAR dapat memberikan jembatan yang efektif terhadap kesenjangan antara tuntutan teori dan tututan praktisi profesi  (guru). 

  Dalam model CAR guru bersama  kolaboratornya dapat melihat berbagai problem pembelajaran yang dijumpai di kelasnya. Kalau problem itu dapat ditemukan dan dipecahkan melalui penelitian kolaboratif, berarti guru yang bersangkutan secara sadar dapat melihat permasalahan yang sebenarnya dan juga dapat memecahkan permasalahan itu bersama kolaboratornya.. 

Model CAR sebagai  alternatif pembinaan in service training memiliki beberapa keunggulan. Pertama,  perencanaan dilakukan secara bottom up sehingga akan membuat guru lebih  memiliki komitmen terhadap persoalan yang dihadapi. Kedua, CAR tetap relevan dengan konteks  sekolah  karena  dia dilaksanakan dari dan oleh guru di sekolah yang bersangkutan bekerja sama dengan kolaboratornya. Ketiga, guru tidak harus meninggalkan kelas sehingga para siswa tidak akan dirugikan. 

Mengingat keunggulan tersebut, sudah saatnya  departemen terkait memikirkan CAR sebagai salah satu alternatif penataran guru yang professional. (Suyanto, 2000:31) Sosok guru memegang peranan signifikan dalam menentukan kualitas proses dan out put pendidikan. Realitas ini berlaku dalam sistem pendidikan Islam. Sebagai salah satu komponen yang menggerakkan roda sistem pendidikan, posisi guru tidak hanya dituntut sebagai petugas pentransfer ilmu (knowledge) semata-mata, tetapi juga merupakan sosok teladan yang memiliki kualitas sikap (attitude) yang baik.

Supriadi mengutip pendapat Burkina Faso, seorang guru yang baik adalah guru yang mencintai pekerjaannya, dan juga suka belajar dari siswanya, di samping mengajar sebagai tugas utamanya.
Ungkapan, sebagaimana  yang dikemukakan Faso di atas, tampaknya menyiratkan sebuah nuansa baru dari tugas dan fungsi guru dalam proses pendidikan. Artinya, keberadaan guru tidak selamanya harus dipahami sebagai pemegang hegemoni dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi, guru penting juga mengakomodir pendekatan dialogis (dialogical approach). Signifikansi penerapan pendekatan dialogis ini adalah kemungkinan lebih terberdayanya para siswa melalui proses belajar yang lebih aktif, karena guru memerankan fungsinya sebagai perangsang kreativitas siswa.

Tanggung Jawab dan Kualifikasi Keguruan
Guru dalam dunia pendidikan adalah pelaku utama yang tidak dapat ditinggalkan dalam mensukseskan pendidikan. Maka tidak heran bahwa profesionalisme guru sering menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan dan disoroti. Keberadaan guru dan kelayakan seorang guru baik dalam tugas akademisnya maupun sikapnya dalam masyarakat.

                Semua unsur masyarakat menginginkan guru yang professional, guru yang berkompeten dalam memikul tugasnya di dunia pendidikan. Selalu diharapkan akan adanya seorang guru yang profesional yang layak membimbing generasi muda kearah yang diinginkan dimana para generasi muda akan memiliki bekal untuk meneruskan cita-cita bangsa.

                Tetapi malangnya hanya sedikit dari masyarakat yang menghargai profesi guru. Masyarakat terkadang hanya menginginkan dan menerima saja tanpa ada usaha untuk meningkatkan atau membantu tenaga profesional guru, bahkan kebanyakan masyarakat tidak tahu apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut guru profesional. Masyarakat hanya tahu anak-anak mereka dapat belajar dengan baik dan mendapatkan prestasi yang baik.

                Di sisi lain guru dalam menjalankan tugasnya mendapatkan lebih banyak tantangan dari berbagai sisi terutama dalam bidang pendidikan sendiri. Tantangan yang telah dihadapi para guru harus bertambah lagi dengan terjadinya krisis ekonomi yang dialami bangsa yang secara besar-besaran telah mempengaruhi pendidikan di Indonesia.

                Pada masa krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia semakin sulit bagi para guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Semakin hari semakin besar tantangan yang akan dihadapi para guru dalam dunia pendidikan. Saat ini Indonesia membutuhkan tenaga guru yang lebih handal, karena dengan kondisi yang ada kita butuh guru yang bukan hanya bertugas mengajar melainkan mendidik, membentuk dan menempa siswanya untuk mencapai tujuan pendidikan, dan tentu saja hal ini akan menambah beban bagi para guru.

Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di mata masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat di sekelilingnya. Saat ini guru harus melakukan usaha yang cukup agar dirinya menjadi layak, dan satu-satunya usaha yang harus dilakukan adalah meningkatkan profesionalisme yang telah dimilikinya ke arah yang lebih baik.

Dulu kehidupan guru cukup terhormat, secara ekonomis, memiliki penghasilan yang memuaskan dan guru sangat disanjung masyarakat. Tetapi dua puluh tahun belakangan ini hal tersebut tidak lagi terjadi dan bahkan  kenangan belaka. Profesi guru tidak lagi menjadi cita-cita yang hebat, bahkan tidak jarang hanya menjadi pilihan terakhir dan satu-satunya karena tidak ada pekerjaan lain.

Maka untuk mendapatkan kembali gelar kehormatan bagi profesi guru dalam kehidupan bermasyarakat di masa lalu, guru harus bersikap dan bertindak lebih profesional dalam menjalankan profesinya. Guru yang profesional dituntut untuk memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus-menerus (Continuo improvement) (Indra Djati, 2001). Dari kualifikasi yang telah dimiliki guru ini, maka seorang guru dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.

Guru yang benar-benar profesional yang memiliki kualifikasi pendidikan akan membimbing anak didiknya dengan baik sesuai harapan masyarakat. Para orang tua murid tidak akan segan untuk membayar lebih mahal agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Hal ini membuat pendidikan menjadi komoditi yang mahal di kalangan masyarakat, jika hal ini terjadi maka para profesionalis guru tidak perlu khawatir akan kekurangan pendapatan. Apabila guru dapat menempatkan diri dengan baik di hadapan masyarakat dengan segala kualifikasi yang dimilikinya guru tidak perlu takut akan dipandang rendah bahkan tidak dihargai.

Selain itu guru yang bermutu adalah guru yang kreatif dan mampu menjadi pembangkit kreativitas dan guru yang berkualitas adalah guru yang berpikir kritis dan kreatif. Pada umumnya guru yang kreatif itu pernah dididik oleh orang-orang yang kreatif dalam lingkungan yang mendukungnya. Guru yang kreatif itu adalah guru yang mengajar dengan memanfaatkan ilmu dan keahliannya untuk selalu mengkomunikasikan kepada anak-anak didiknya ide-ide lama dan ide-ide baru dalam bentuk yang baru.(Balnadi Sutadipura, 1985). Yang dimaksud dengan berpikir kritis adalah cara berpikir yang otonom dan obyektif, dan berpikir kreatif adalah mengolah apa yang kita hayati secara otonom dan obyektif sedemikian rupa sehingga mutunya dapat ditingkatkan.(Ki Muhamad Said Reksohadi pridjo,1989)

Otonom dalam berpikir berarti independen dari pengaruh otoritas atau wibawa apapun dan siapapun yang akan membuat kita takut atau segan untuk berpikir sendiri. Sedangkan obyektif ialah berpikir bebas dari pamrih dan prasangka, bebas dari pertimbangan untung dan rugi pribadi atau golongan. Dengan begitu berpikir otonom membuat seseorang menjadi lebih bertanggung jawab atas apa yang diyakini benar dan berpikir secara obyektif akan membebaskan diri dari kesombongan intelektual dan spiritual. Selain itu untuk mendukung cara berpikir yang otonom dan obyektif haruslah diiringi dengan sikap yang terbuka dan  toleran yang berarti pula bersedia untuk menerima dengan senang hati nasihat, koreksi, teguran dan kecaman sekalipun demi meningkatkan mutu dan kualitas dan menyempurnakan diri.

Jika seorang guru telah memiliki profesionalisme keguruan maka tidak hanya berhenti sampai di sana melainkan guru harus terus mengembangkan sikap profesionalnya dalam jabatan keguruannya. Peningkatan profesi keguruan ini dapat dilakukan secara formal melalui kegiatan penataran guru, lokakarya, seminar atau kegiatan ilmiah lainnya ataupun secara informal melalui media massa. Hal ini akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seorang guru (Soetjipto & Raflis Kosasih :  1999).

Melihat dan merasakan sendiri keadaan yang tidak menguntungkan yang dialami bangsa Indonesia pada masa krisis ekonomi sekarang ini. Kondisi tersebut semakin menyedihkan rakyat Indonesia dan terpuruk dalam kemiskinan. Bergantinya para pemegang tampuk pemerintahan tidak membuat Indonesia menjadi lebih baik dalam segi ekonomi, kalau boleh mengenang, masa lalu di belakang terasa lebih baik tetapi sayangnya kita sebagai bangsa yang kuat tidak boleh meratapi nasib tetapi sebaliknya kita harus berjuang demi nasib yang lebih baik di masa datang. dan kitalah yang harus memperbaiki nasib bangsa Indonesia sendiri.

Dengan terpuruknya bangsa dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka menimbulkan dampak pula pada nafas pendidikan di Indonesia. Dengan adanya krisis yang panjang membuat laju gerak pendidikan cukup terhambat dalam berbagai hal. Setiap tahun ajaran baru selalu ada siswa baru sementara krisis ekonomi memperburuk fasilitas belajar mengajar, menghambat penambahan jumlah guru dan peningkatan kualitas guru, membuat buku dan alat tulis menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat serta semakin banyak keluarga yang tidak sanggup membayar SPP karena kehilangan pendapatan disebabkan oleh kebangkrutan maupun PHK.

Fasilitas yang dimiliki setiap sekolah  harus diperbaharui atau ditambah, tetapi saat ini dengan adanya harga barang yang terus melambung hal tersebut menjadi hal yang sulit bahkan mustahil. Sekolah yang bisa menambah dan memperbaharui fasilitas PBM hanyalah sekolah-sekolah besar baik yang negeri maupun swasta, sementara sekolah-sekolah negeri yang ada di desa terpencil atau sekolah swasta yang untuk seluruh kebutuhan sekolah mengandalkan iuran siswa, uang DP3 (sekarang lebih dikenal dengan istilah komite sekolah) dan berstatus rendah (diakui, terdaftar dan belum diakreditasi) sangat sulit melakukan hal tersebut.
Beberapa Persoalan dalam Peningkatan Kualitas Guru

Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan beratnya tantangan yang dihadapi oleh profesi keguruan dalam usaha untuk meningkatkan kewibawaannya di mata masyarakat. 

Pertama, berkenaan dengan definisi profesi keguruan, masih ada kekuranganjelasan tentang definisi keguruan, bidang garapannya yang khas, dan tingkat keahlian yang dituntut dari pemegang profesi ini. Profesi keguruan berbeda misalnya dengan profesi kedokteran yang bidang tugas dan tingkat keahlian yang dituntutnya oleh profesi telah begitu jelas serta terinci sedemikian rupa. 

Kedua, kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah profesi keguruan menunjukkan bahwa karena desakan kebutuhan masyarakat dan sekolah akan guru, maka profesi ini tidak cukup terlindungi dari terjadinya “gangguan” dari luar. Di masa lalu bahkan hingga sekarang, ada kesan bahwa siapapun boleh berdiri di muka kelas untuk mengajar tanpa memperdulikan latar belakang dan tingkat pendidikannya. Di zaman kemerdekaan, asal seseorang bisa menulis, membaca dan berhitung dan mau membagikan kemampuannya kepada orang lain, dapat langsung berdiri di muka kelas. Sekalipun hal tersebut sekarang sudah banyak berkurang, pengaruh dari masa lalu itu masih terasa hingga sekarang. Di samping itu, kualifikasi pendidikan guru kita amat beragam, mulai dari yang hanya lulusan SLTP hingga D-3. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menarik suatu generalisasi utuh tentang tingkat profesionalisme guru.

Ketiga, penambahan jumlah guru secara besar-besaran membuat sulitnya standar mutu guru dikendalikan dan dijaga. Hal ini terjadi hampir pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Akibatnya, ada anggapan  seakan-akan tidak ada lagi relevansinya untuk membicarakan tentang profesionalisme guru di tengah mendesaknya kebutuhan akan guru dalam jumlah besar.

Keempat, organisasi guru semacam PGRI agaknya belum mampu secara aktif melakukan kegiatan-kegiatan dan agenda kerja yang secara sistematis dan langsung berkaitan dengan peningkatan profesionalisme guru; misalnya melalui penerbitan profesional dan kegiatan ilmiah lainnya.kurangnya dana, langkanya tenaga profesional, menjadi sebab sulitnya organisasi seperti ini bergerak untuk maju. 

Kelima, tuntutan dan harapan masyarakat yang terus meningkat dan berubah membuat guru makin tertantang. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat melahirkan tuntutan-tuntutan baru terhadap peran yang seharusnya dimainkan oleh guru. Akibatnya setiap penambahan kemampuan guru selalu berpacu dengan meningkatnya kemampuan dan harapan masyarakat tersebut yang kadang-kadang lebih cepat dari kemampuan guru untuk memenuhinya. Masalah terjadi apabila harapan atas peran guru bertambah, sementara kemampuan guru memenuhinya terbatas (Supriadi: 1999: 104-105).


Untuk memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat yang demikian besar terhadap pengembangan pendidikan, serta diiringi oleh kenyataan bahwa semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,. Maka posisi dan kedudukan guru sedikit akan bergeser. Menurut Getsner, profil guru masa depan akan semakin meninggalkan kesannya hanya sebagai “pengajar” saja, untuk selanjutnya harus mampu menunjukkan fungsinya secara menonjal sebagai pelatih, konselor, partisipan, pemimpin, dan bahkan pelajar (student) (Gerstner: 1995: 241). 

Sebagai pelatih guru masa depan akan berperan ibarat pelatih olah raga. Ia akan lebih banyak membantu siswa dalam “permainan”. Sebagai pelatih, guru akan mendorong sisiwanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras mencapai prestasi setinggi-tingginya. Sebagai konselor, guru akan lebih bertindak sebagai sahabat siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Di samping harus memerankan fungsi seperti di atas guru juga dituntut untuk membentuk sebuah “team teaching”, untuk mendiskusikan sekitar persoalan dan kendala dalam melakukan tugas-tugas keguruannya.

Sepintas, apa yang ditetapkan Gertsner sebagai standard guru masa depan diakui atau tidak hampir sama dengan kualifikasi guru yang dikehendaki oleh masyarakat Indonesia terhadap sosok guru. Meskipun semua kualifikasi itu terkesan lebih bernuansa retorika, akan tetapi agaknya tidak salah untuk mengupayakan semua idealisasi tersebut.

 Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, seperti yang dikemukakan Mastuhu, untuk masa sekarang dan yang akan datang orientasi pendidikan Islam, selain  menitikberatkan pada aspek kajian agama (studi keislaman) semata-mata ataua berarientasi ukhrowi. Tetapi pendidikan Islam masa depan harus menjangkau semua disiplin tanpa pemisahan atas keduanya secara ekstrem. Untuk itu, dalam kaitannya dengan peningkatan studi varian disiplin maka guru-guru di lembaga pendidikan Islam harus mampu menguasai disiplin keilmuan sekuler secara lebih baik. Konsekwensi dari semua itu adalah harus dimilikinya kemampuan mengakses informasi global secara cepat melalui berbagai media dan jaringan informasi, seperti internet dan sebagainya.


Kemampuan para guru dalam mengakses informasi dan selanjutnya mengkomunikasikannya dengan para siswa adalah salah satu ciri dari sosok guru masa depan dan sekaligus termasuk kualifikasi dari profesionalisme guru. 
Dengan demikian tidak ada lagi kesan bahwa guru hanya datang dan mendikte siswa dengan gaya lama dan berlagak sebagai penguasa tunggal informasi di kelas. Bahkan untuk masa depan tidak menutup kemungkinan para siswa justru lebih dahulu mengetahui sebuah temuan terbaru dari rekayasa dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari pada sang guru, sehingga sang guru ketika menghadapi realitas seperti itu harus mampu berlapang dada dan mendiskusikan dan menghargai temuan siswa tersebut.

Hal lain yang penting dicermati oleh para guru masa depan adalah semangat untuk mandiri dan kreatifitas positif dalam kerangka membantu keuangan keluarga dengan tidak menganggu tugas-tugas keguruannya. Hal ini penting karena tampaknya untuk bebverapa waktu yang akan datang masalah perbaikan gaji dan insentif guru untuk konteks negara seperti Indonesia ini belum terlalu menggembirakan dan masih terbatas wacana, karena kemampuan keuangan negara yang memang sulit.

 Dengan demikian spirit kreatifitas seperti yang dikemukakan di atas dirasa sangat penting dimiliki oleh seorang guru untuk mengimbangi realitas yang ditunjukkan oleh masyarakat dengan ciri kemewahan dan keserbabaruannya. Dalam analisis yang lain seorang guru akan lebih memiliki rasa percaya diri menghadapi penampilan siswa dengan mengimbanginya dengan penampilan yang meyakinkan.

Itulah beberapa diskripsi mengenai profil guru masa depan dengan ciri-cirinya yang lebih progresif, kreatif, dan berwawasan sebagai bagian dari upaya mengimbangi perkembangan teknologi dan peradaban dunia yang semakin modern. Keringnya semangt kreatifitas dan lebih menunjukkan citra feodalisme akan semakin memperburuk citra guru di masa depan. Apalagi jika kita berbicara mengenai guru dalam konteks pendidikan Islam, yang dimensi moral dn kerja keras dan jujur merupakan nilai dasar yang harus dimiliki oleh guru di masa depan.

Dalam kaitannya dengan pemahaman bahwa filsafat pendidikan Islam dapat dijadikan basis pengembangan profesionalisme guru, menurut Hasan Langgulung, secara konseptual filsafat pendidikan selalu berfungsi sebagai titik permulaan dalam proses pendidikan, termasuk menjadi tulang punggung kemana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan itu bergantung dari tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode mengajar, dan aspek lain dalam pendidikan yang harus bergantung kepada filsafat pendidikan sebagai pemberi arah, menunjuk jalan yang akan dilaluinya dan meletakkan dasar-dasar maupun prinsip tempat tegaknya (Langgulung: 1987: 33).

Secara aplikaif, seperti yang dikemukakan asy-Syaibani, dalam konteks pengembangan profesionalisme guru berdasarkan nilai-nilai normatif Islam, seorang guru pada dasarnya dapat melakukan beberapa hal tertentu untuk menata profesionalismenya. Misalnya, kemampuan guru untuk memadukan  berbagai metode mengajar, sehingga siswa dapat dengan mudah memahami dan menguasai pelajarannya. Juga yang penting diperhatikan adalah semangat guru untuk membantu siswa dalam berbagai kesulitan belajarnya (al-Syaibani: 1979: 584).

Untuk itu tentu sang guru harus memiliki wawasan yang lebih baikdari siswa tersebut. Dua hal penting yang dikemukakan asy-Syaibani di atas, tentu dapat dikembangkan menjadi beberapa metode pengembangan profesionalisme guru dalam batasannya yang luas. Misalnya, dari situ dapat dilakukakan beberapa wSprogram pengembangan untuk menyelenggarakan pendidikan tambahan bagi profesionalisme guru dalam bentuk penataran, simposium, program penelitian, dan sebagainya, dalam rangka meningkatkan wawasan para guru. Selain itu, persoalan metode mengajar yangs ering disoroti oleh berbagai pihak sebagai sesuatu yang kurang dipahami guru dalam mengajar, agaknya prinsip filisofis pendidikan Islam seperti yang dikemukakan al-Syaibani, tampaknya akan lebih dimungkinkan untuk dapat dikembangkan mengingat prinsip dasar yang harus dikuasai guru adalah penguasaannya terhadap berbagai metode.

Sosok guru yang sejuk, arif, dan mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh siswa merupakan kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru, terutama dalam konteks masa depan (QS: an-Nahl: 165). Guru dalam kapasitasnya sebagai profesional menuntut untuk selalu memberikan panutan kepada siswa. Nilai keteladanan ini dalam dunia modern seperti sekarang sangat dibutuhkan untuk mengimbangi nuansa modernitas yang cenderung sering mengabaikan nilai-nilai norma moral. Nilai-nilai moralitas oleh kebanyakan pemikir pendidikan muslim sering dilihat sebagai nuansa yang mulai tinggalkan oleh pelaksanaan pendidikan modern, sehingga dengan demikian nilai-nilai moral yang diterapkan di lembaga sekolah dan dicontohkan oleh para pendidik di sekolah menjadi sangat signifikan artinya.

Al-Ghazali, seperti yang dikemukakan oleh Imam Syafi’ie dalam tulisannya, menegaskan posisi guru dalam kaitannya sebagai contoh dari sisi moralitas ini, sebagai pengemban tugas mulia yang harus menjadi penutan umat dalam segala hal. Dalam batasan itu, al-Ghazali lalu menyatarakan status guru sebagai penyampai kebenaran sebagai umat. Sehingga tidak berlebihan jika al-Ghazali kemudian menempatkan posisi guru ke dalam barisan para nabi (Imam Syafi’ie: 1992: 37). Pandangan di atas, jika dikaji secara mendasar akan sangat berarti untuk dijadikan pijakan dalam memformulasikan kembali posisi guru yang dalam beberapa kurun waktu terakhir ini cenderung mulai menyimpang dari nilai-nilai dasar filosofis ini.

Konsep Islam mengenai moral ini dalam konteks pembicaraan profesionalisme guru khususnya, dalam dalam diskursus pendidikan umumnya, selalu menarik dan urgen untuk dikedepankan. Sebab, seperti yang dikemukakan Zuhairini, bahwa moral memang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, yang pada hakekatnya mempunyai potensi esensial sebagai moral being. Setiap orang dilahirkan sudah berada dalam kehidupan masyarakat manusia yang sudah jadi, yang telah memiliki nilai-nilai baik yang buruk, aturan-aturan tingkah laku, norma-norma sosial tertentu yang harus dipatuhi dan dijalankan. Dalam Islam, bidang moral ini justru menempati posisi yang paling penting setelah seorang muslim beriman kepada Tuhan  (Zuhairini: 1995: 195).



Demikian pentingnya dimensi moralitas ini, maka Allah perlu mengutuskan para nabi dan rasul-Nya untuk sebagai pemberi contoh prilaku yang baik bagi umat manusia. Selanjutnya, dari sisi profesionalisme guru dalam penguasaan materi pelajaran, filsafat pendidikan Islam juga sangat menekankan agar seorang guru selalu  menguasai  materi  pelajaran   yang   akan   digunakan.  

Sebagaimana  kita ketahui, bahwa salah satu kualifikasi guru profesional adalah kemampuan guru dalam memahami dan menguasai materi ajaran yang akan diajarkannya kepada siswa. Selain itu, guru juga dipersyaratkan untuk memperdalam wawasan keilmuannya. Peningkatan wawasan  dan pengetahuan bagi seseorang pendidik merupakan hal yang penting sehingga dia dapat meraih simpati dan minat anak didik (An-Nahlawi: 1995: 172-173). Sebab bermutu atau tidaknya pendidikan juga bukan tergantung pada  kurikulum yang digunakan, tetapi ditentukan juga oleh kualitas dan mutu tenaga pengajarnya.


 Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Kariem
Al-Abrasyi, M. Athiyyah. 1993. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Aroosi, M. 1980. “Islamic Curriculum and the Teacher”, dalam Muhammad Hamid al-Afendi dan Nabi Ahmed Baloch, Curriculum and Teacher Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (Ed.). 1979. Aims and Objectives od Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.
An-Nahlawi, Abdurrahman.  1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press.
Arifin, M. 1976. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga.  Jakarta: Bulan Bintang.
Asy-Syaibani, Omar Muhamad Toumy.  1979. Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung.  Jakarta: Bulan Bintang.
An-Nadwi, Abul Hasan. 1987. Pendidikan Islam Yang Mandiri: Suatu Upaya Meretas Belenggu Ketergantungan. Bandung: Dunia Ilmu.
Al-Bilgrami, Hasan. 1989. Konsep Universitas Islam. Terj. Machnun Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Al-Ghazali, Al Imam Abu Muhammad Ibn Muhammad. Tt. Ihya Ulumuddin. Beirut-Lebanon: Dar al-Ma'rifah.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. 1979. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos.


Bukhori.  2000. “Pendidikan Nasional : Reformasi atau Revolusi, dalam Analisi CSIS. Jakarta: Pustaka Nasional.
/div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Duga Pemilu Curang, Ramai-ramai Kyai dan Ulama Sampang Desak Bawaslu Gelar Coblos Ulang LAPORAN :  NOVIYANTO AJI SABTU, 17 FEBRUARI 2024 |...