Tantangan Guru Agama dalam
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Guru merupakan pihak yang paling
bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak
semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang
ikut menentukan kualitas pendidikan. Namun demikian, guru memang merupakan
salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak
mengambil peran dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan
persekolahan. Oleh karenanya kita memang banyak menaruh harapan kepada guru
dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Guru merupakan ujung tombak bagi
keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan dalam pendidikan, oleh karena itu
guru-guru yang menangani langsung masalah pendidikan adalah guru-guru yang
memiliki kualitas cukup memadai. Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas dalam
buku Effective Schools and Effective Teachers (1989) sebagaimana dikutip
Suyanto (2000:28) mengemukakan beberapa
kriteria guru yang efektif sebagai
berikut:
1. Memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim kelas,
seperti
a. memiliki kemampuan interpersonal, khususnya kemampuan
untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa dan ketulusan
b. memiliki hubungan baik dengan siswa
c. secara tulus menerima dan memperhatikan siswa
d. menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar
e. mampu menciptakan atmosfer untuk bekerja sama dan
kohesivitas dalam kelompok
f. melibatkan siswa dalam mengorganisasikan dan
merencanakan kegiatan pembelajaran
g. mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk
berbicara dalam setiap diskusi, dan;
h. meminimalkan friksi-friksi di kelas, jika ada
2. Memiliki kemampuan yang terkait dengan strategi
manajemen, seperti :
a. memiliki kemampuan secara rutin untuk menghadapi siswa
yang tidak memiliki perhatian, suka menyela dan mengalihkan pembicaraan, dan
mampu memberikan transisi dalam
mengajar, serta
b. mampu bertanya atau
memberikan tugas yang memerlukan tingkat berpikir yang berbeda
3. Memiliki kemampuan yang
terkait dengan pemberian umpan balik dan penguatan (reinforcement), yaitu:
a. mampu memberikan umpan balik (feed back) yang positif
terhadap respond siswa
b. mampu memberikan respond yang membantu kepada siswa yang
lamban belajar
c. mampu memberikan tindak lanjut (follow up) terhadap
jawaban yang kurang memuaskan
d. mampu memberikan bantuan kepada siswa yang diperlukan
4. Memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri,
antara lain :
a. mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara
kreatif, inovatif
b. mampu memperluas dan menambah pengetahuan berkaitan
dengan metode-metode pengajaran
c. mampu memanfaatkan perencanaan kelompok guru untuk
menciaptakan metode pengajaran.
Berkaitan dengan kualitas guru
ini, Raka Joni (1980) mengemukakan tiga
dimensi umum yang menjadi kompetensi tenaga pendidik yaitu :
1. Kompetensi personal atau pribadi, artinya seorang guru
harus memiliki kepribadian yang mantap yang patut diteladani. Dengan demikian
seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran ing
ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
2. Kompetensi profesional, artinya seorang guru harus
memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi yang diajarkannya,
memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar
mengajar yang diselengarakannya.
3. Kompetensi sosial atau kemasyarakatan, artinya seorang
guru harus mampu berkomunikasi baik
dengan siswa, sesama guru maupun masyarakat luas (Suyanto, 2000:29).
Berkaitan dengan kompetensi
professional guru agama, perlu ditambahkan
suplemen yang keberadaanya bersifat conditio sine quanon. Antara lain,
pertama, guru agama harus memahami ilmu pengetahuan selain pengetahuan agama.
Pemahaman ilmu pengetahuan secara luas dimaksudkan agar para guru dapat
menjelaskan pengetahuan agama dan pengetahuan umum secara komplementer. Al
Qur'an adalah kamus dari alam semesta, sedangkan alam semesta adalah
ensiklopedi bagi al Qur'an. Segala sesuatu yang termaktub di dalam al Qur'an
dapat ditemui dalam realitas empirik pada
berbagai peristiwa di alam semesta.
Sebaliknya, segala yang terjadi di alam
semesta dapat dicari referensinya dalam al Qur'an. Informasi-informasi dalam al Qur'an
selanjutnya dirumuskan secara sistematis oleh para ahli agama menjadi suatu
ilmu yang kemudian dikenal dengan istilah ilmu agama, sementara itu berbagai
kejadian dan peristiwa alam dipelajari dan disistematisasikan dalam bentuk ilmu
pengetahuan.
Klasifikasi ini bagi kaum muslimin terutama para guru agama tidak
boleh dipahamai sebagai pengkotakan (dichotomy) yang terpisah dan berbeda,
serta menimbulkan 'fatwa' hukum wajib dan tidak wajib untuk mempelajari salah
satunya, tetapi mesti dipahami sebatas klasifikasi ilmiah untuk memudahkan
dalam pengkategorian rumpun ilmu pengetahuan.
Kesemuanya wajib dipelajari,
diketahui, dikuasai dan diamalkan
sebagai media pembentukan insan kaffah. Guru agama mesti memahami ilmu
pengetahuan agama dan umum karena keduanya saling menjelaskan. Kedua, guru
agama harus dapat berdiri lintas madzhab, memahami muqaranah al madzahib.
Pemahaman partsial yang fanatik
dan eklusif atas salah satu madzhab oleh beberapa pengikut sekte keagamaan
tertentu tidak layak untuk dipertahankan apalagi dikembangkan, karena hal
demikian tidak sejalan dengan realitas pemikiran yang heterogen dan memakukan
diri pada setting yang sangat terbatas.
Pemahaman lintas madzhab tidak dimaksudkan untuk melegitimasi tingkah eklektik
dalam keberagamaan, melainkan diarahkan untuk memahami agama secara
proporsional, mengembangkan sikap toleran, menghargai pluralitas dan dapat
saling 'menikmati' rahmat Allah. Kalau hal ini dapat terjadi, maka
perdebatan-perdebatan internal ummat
beragama yang sering mubadzir dapat
diminimalisir. Ketiga, guru agama harus
dapat memahami bahwa dirinya hidup pada masa kini dan di sini.
Pemahaman demikian diperlukan, agar mereka dapat menjelaskan ajaran agama secara
kontekstual. Ajaran agama yang dipahami dengan menyandarkan pendapat para
pendahulu secara mutlak (sami'na wa atha'na) dimana setting sosial-kultural
sudah sangat berbeda, akan mempercepat keusangan ajaran agama, membosankan,
tidak menarik dan melanggengkan kemunduran ummat Islam.
Penjelasan para ulama
terdahulu atas wahyu Allah dan hadist nabi sangat terkait sekali dengan kondisi
diri dan lingkungan dimana mereka berada. Maka tidak ada alasan untuk
memutlakkan penjelasan mereka sebagai kebenaran dan bahkan mensejajarkan
kebenaran pendapat mereka dengan kebenaran al Qur'an dan hadist nabi yang haram
untuk dikritisi.
Ketiga, guru agama harus berani menampakkan diri dan tidak
“picisan”. Perilaku guru agama yang terkadang menyembunyikan diri mereka, malu
ketika disebut sebagi guru agama, menunjukkan sikap “picisan”nya dan tidak
komitmennya pada profesi dan agamanya. Sikap ini terjadi karena mereka sadar
diri bahwa mereka belum bahkan tidak sepenuhnya menghayati dan mengamalkan
ajaran-ajaran agama.
Keempat, guru agama harus memahami dan menguasai ilmu
perbandingan agama. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memperkuat penjelasan
tentang kebenaran ajaran agama yang dianutnya. Kelima, guru agama harus percaya
diri (self confident). Profil guru agama yang penuh percaya diri, bersemangat,
motivasi kerja tinggi, bergairah membuat para anak didik semakin termotivasi
untuk belajar dan bersikap optimis dalam hidup.
Dalam menjalankan tugasnya,
peningkatan profesionalisme guru agama perlu diupayakan melalui kegiatan
pembinaan in service training. Peningkatan profesionalisme guru masa depan
perlu memanfaatkan pendekatan yang bersifat kolaboratif. Jika model penataran
yang bersifat top down, semisal penataran masih diperatahankan, profesionalisme
guru hanya akan berjalan di tempat,
bahkan penataran yang diselenggarakan
berhari-hari akan mengganggu proses
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru-guru yang baik justru tidak sempat mengajar secara intensif karena
harus mengikuti penataran. Alternatif yang baik
bagi penataran guru masa depan ialah dengan Collaborative Action
Research (CAR).
Riset ini dapat digunakan untuk peningkatan
profesionalisme guru secara langsung sesuai dengan konteks kultural sekolah di
mana guru mengajar. Hal ini terjadi karena dalam CAR guru diajak
menemukan dan merumuskan masalah yang
dihadapi secara bersama, lalu
diajak mencoba merumuskan dan melakukan langkah-langkah solusinya,
kemudian diajak melakukan refleksi
terhadap solusi yang disepakati dan akhirnya diajak melakukan pengembangan proses pembelajaran sesuai
dengan temuan CAR yang mereka lakukan bersama-sama.
Model CAR sebagai
alternatif penataran guru memiliki legitimasi yang kuat, baik dilihat dari
aspek akademik maupun setting kultural sekolah. Model CAR ini dapat digunakan
untuk meningkatkan profesionalisme guru
secara lebih bermakna. Bahkan Jeck Whitehead (1990), Jean McNiff (1993) dan Sharon Nodie Oja (1989) meyakini bahwa
model CAR dapat memberikan jembatan yang efektif terhadap kesenjangan antara
tuntutan teori dan tututan praktisi profesi
(guru).
Dalam model CAR guru
bersama kolaboratornya dapat melihat
berbagai problem pembelajaran yang dijumpai di kelasnya. Kalau problem itu
dapat ditemukan dan dipecahkan melalui penelitian kolaboratif, berarti guru
yang bersangkutan secara sadar dapat melihat permasalahan yang sebenarnya dan
juga dapat memecahkan permasalahan itu bersama kolaboratornya..
Model CAR
sebagai alternatif pembinaan in service
training memiliki beberapa keunggulan. Pertama,
perencanaan dilakukan secara bottom up sehingga akan membuat guru
lebih memiliki komitmen terhadap
persoalan yang dihadapi. Kedua, CAR tetap relevan dengan konteks sekolah
karena dia dilaksanakan dari dan
oleh guru di sekolah yang bersangkutan bekerja sama dengan kolaboratornya.
Ketiga, guru tidak harus meninggalkan kelas sehingga para siswa tidak akan
dirugikan.
Mengingat keunggulan tersebut, sudah saatnya departemen terkait memikirkan CAR sebagai
salah satu alternatif penataran guru yang professional. (Suyanto, 2000:31)
Sosok guru memegang peranan signifikan dalam menentukan kualitas proses dan out
put pendidikan. Realitas ini berlaku dalam sistem pendidikan Islam. Sebagai
salah satu komponen yang menggerakkan roda sistem pendidikan, posisi guru tidak
hanya dituntut sebagai petugas pentransfer ilmu (knowledge) semata-mata, tetapi
juga merupakan sosok teladan yang memiliki kualitas sikap (attitude) yang baik.
Supriadi mengutip pendapat
Burkina Faso, seorang guru yang baik adalah guru yang mencintai pekerjaannya,
dan juga suka belajar dari siswanya, di samping mengajar sebagai tugas
utamanya.
Ungkapan, sebagaimana yang dikemukakan Faso di atas, tampaknya
menyiratkan sebuah nuansa baru dari tugas dan fungsi guru dalam proses pendidikan.
Artinya, keberadaan guru tidak selamanya harus dipahami sebagai pemegang
hegemoni dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi, guru penting juga
mengakomodir pendekatan dialogis (dialogical approach). Signifikansi penerapan
pendekatan dialogis ini adalah kemungkinan lebih terberdayanya para siswa
melalui proses belajar yang lebih aktif, karena guru memerankan fungsinya
sebagai perangsang kreativitas siswa.
Tanggung Jawab dan Kualifikasi
Keguruan
Guru dalam dunia pendidikan
adalah pelaku utama yang tidak dapat ditinggalkan dalam mensukseskan
pendidikan. Maka tidak heran bahwa profesionalisme guru sering menjadi bahan
yang menarik untuk dibicarakan dan disoroti. Keberadaan guru dan kelayakan
seorang guru baik dalam tugas akademisnya maupun sikapnya dalam masyarakat.
Semua
unsur masyarakat menginginkan guru yang professional, guru yang berkompeten
dalam memikul tugasnya di dunia pendidikan. Selalu diharapkan akan adanya
seorang guru yang profesional yang layak membimbing generasi muda kearah yang
diinginkan dimana para generasi muda akan memiliki bekal untuk meneruskan
cita-cita bangsa.
Tetapi
malangnya hanya sedikit dari masyarakat yang menghargai profesi guru.
Masyarakat terkadang hanya menginginkan dan menerima saja tanpa ada usaha untuk
meningkatkan atau membantu tenaga profesional guru, bahkan kebanyakan
masyarakat tidak tahu apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut guru
profesional. Masyarakat hanya tahu anak-anak mereka dapat belajar dengan baik
dan mendapatkan prestasi yang baik.
Di
sisi lain guru dalam menjalankan tugasnya mendapatkan lebih banyak tantangan
dari berbagai sisi terutama dalam bidang pendidikan sendiri. Tantangan yang
telah dihadapi para guru harus bertambah lagi dengan terjadinya krisis ekonomi
yang dialami bangsa yang secara besar-besaran telah mempengaruhi pendidikan di
Indonesia.
Pada
masa krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia semakin sulit bagi
para guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Semakin hari semakin besar
tantangan yang akan dihadapi para guru dalam dunia pendidikan. Saat ini
Indonesia membutuhkan tenaga guru yang lebih handal, karena dengan kondisi yang
ada kita butuh guru yang bukan hanya bertugas mengajar melainkan mendidik,
membentuk dan menempa siswanya untuk mencapai tujuan pendidikan, dan tentu saja
hal ini akan menambah beban bagi para guru.
Guru sebagai pendidik profesional
mempunyai citra yang baik di mata masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada
masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat di
sekelilingnya. Saat ini guru harus melakukan usaha yang cukup agar dirinya
menjadi layak, dan satu-satunya usaha yang harus dilakukan adalah meningkatkan
profesionalisme yang telah dimilikinya ke arah yang lebih baik.
Dulu kehidupan guru cukup
terhormat, secara ekonomis, memiliki penghasilan yang memuaskan dan guru sangat
disanjung masyarakat. Tetapi dua puluh tahun belakangan ini hal tersebut tidak
lagi terjadi dan bahkan kenangan belaka.
Profesi guru tidak lagi menjadi cita-cita yang hebat, bahkan tidak jarang hanya
menjadi pilihan terakhir dan satu-satunya karena tidak ada pekerjaan lain.
Maka untuk mendapatkan kembali
gelar kehormatan bagi profesi guru dalam kehidupan bermasyarakat di masa lalu,
guru harus bersikap dan bertindak lebih profesional dalam menjalankan
profesinya. Guru yang profesional dituntut untuk memiliki kualifikasi
pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan
bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan anak
didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan
komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri
secara terus-menerus (Continuo improvement) (Indra Djati, 2001). Dari
kualifikasi yang telah dimiliki guru ini, maka seorang guru dapat menjalankan
tugas-tugasnya dengan baik.
Guru yang benar-benar profesional
yang memiliki kualifikasi pendidikan akan membimbing anak didiknya dengan baik
sesuai harapan masyarakat. Para orang tua murid tidak akan segan untuk membayar
lebih mahal agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Hal ini
membuat pendidikan menjadi komoditi yang mahal di kalangan masyarakat, jika hal
ini terjadi maka para profesionalis guru tidak perlu khawatir akan kekurangan
pendapatan. Apabila guru dapat menempatkan diri dengan baik di hadapan
masyarakat dengan segala kualifikasi yang dimilikinya guru tidak perlu takut
akan dipandang rendah bahkan tidak dihargai.
Selain itu guru yang bermutu
adalah guru yang kreatif dan mampu menjadi pembangkit kreativitas dan guru yang
berkualitas adalah guru yang berpikir kritis dan kreatif. Pada umumnya guru
yang kreatif itu pernah dididik oleh orang-orang yang kreatif dalam lingkungan
yang mendukungnya. Guru yang kreatif itu adalah guru yang mengajar dengan
memanfaatkan ilmu dan keahliannya untuk selalu mengkomunikasikan kepada
anak-anak didiknya ide-ide lama dan ide-ide baru dalam bentuk yang
baru.(Balnadi Sutadipura, 1985). Yang dimaksud dengan berpikir kritis adalah
cara berpikir yang otonom dan obyektif, dan berpikir kreatif adalah mengolah
apa yang kita hayati secara otonom dan obyektif sedemikian rupa sehingga
mutunya dapat ditingkatkan.(Ki Muhamad Said Reksohadi pridjo,1989)
Otonom dalam berpikir berarti
independen dari pengaruh otoritas atau wibawa apapun dan siapapun yang akan
membuat kita takut atau segan untuk berpikir sendiri. Sedangkan obyektif ialah
berpikir bebas dari pamrih dan prasangka, bebas dari pertimbangan untung dan
rugi pribadi atau golongan. Dengan begitu berpikir otonom membuat seseorang
menjadi lebih bertanggung jawab atas apa yang diyakini benar dan berpikir
secara obyektif akan membebaskan diri dari kesombongan intelektual dan
spiritual. Selain itu untuk mendukung cara berpikir yang otonom dan obyektif
haruslah diiringi dengan sikap yang terbuka dan
toleran yang berarti pula bersedia untuk menerima dengan senang hati
nasihat, koreksi, teguran dan kecaman sekalipun demi meningkatkan mutu dan
kualitas dan menyempurnakan diri.
Jika seorang guru telah memiliki
profesionalisme keguruan maka tidak hanya berhenti sampai di sana melainkan
guru harus terus mengembangkan sikap profesionalnya dalam jabatan keguruannya.
Peningkatan profesi keguruan ini dapat dilakukan secara formal melalui kegiatan
penataran guru, lokakarya, seminar atau kegiatan ilmiah lainnya ataupun secara
informal melalui media massa. Hal ini akan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan seorang guru (Soetjipto & Raflis Kosasih : 1999).
Melihat dan merasakan sendiri
keadaan yang tidak menguntungkan yang dialami bangsa Indonesia pada masa krisis
ekonomi sekarang ini. Kondisi tersebut semakin menyedihkan rakyat Indonesia dan
terpuruk dalam kemiskinan. Bergantinya para pemegang tampuk pemerintahan tidak
membuat Indonesia menjadi lebih baik dalam segi ekonomi, kalau boleh mengenang,
masa lalu di belakang terasa lebih baik tetapi sayangnya kita sebagai bangsa
yang kuat tidak boleh meratapi nasib tetapi sebaliknya kita harus berjuang demi
nasib yang lebih baik di masa datang. dan kitalah yang harus memperbaiki nasib
bangsa Indonesia sendiri.
Dengan terpuruknya bangsa dalam
krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka menimbulkan dampak pula pada nafas
pendidikan di Indonesia. Dengan adanya krisis yang panjang membuat laju gerak
pendidikan cukup terhambat dalam berbagai hal. Setiap tahun ajaran baru selalu
ada siswa baru sementara krisis ekonomi memperburuk fasilitas belajar mengajar,
menghambat penambahan jumlah guru dan peningkatan kualitas guru, membuat buku
dan alat tulis menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat serta semakin
banyak keluarga yang tidak sanggup membayar SPP karena kehilangan pendapatan
disebabkan oleh kebangkrutan maupun PHK.
Fasilitas yang dimiliki setiap
sekolah harus diperbaharui atau
ditambah, tetapi saat ini dengan adanya harga barang yang terus melambung hal
tersebut menjadi hal yang sulit bahkan mustahil. Sekolah yang bisa menambah dan
memperbaharui fasilitas PBM hanyalah sekolah-sekolah besar baik yang negeri
maupun swasta, sementara sekolah-sekolah negeri yang ada di desa terpencil atau
sekolah swasta yang untuk seluruh kebutuhan sekolah mengandalkan iuran siswa,
uang DP3 (sekarang lebih dikenal dengan istilah komite sekolah) dan berstatus
rendah (diakui, terdaftar dan belum diakreditasi) sangat sulit melakukan hal
tersebut.
Beberapa Persoalan dalam
Peningkatan Kualitas Guru
Ada beberapa faktor yang
berkaitan dengan beratnya tantangan yang dihadapi oleh profesi keguruan dalam
usaha untuk meningkatkan kewibawaannya di mata masyarakat.
Pertama, berkenaan
dengan definisi profesi keguruan, masih ada kekuranganjelasan tentang definisi
keguruan, bidang garapannya yang khas, dan tingkat keahlian yang dituntut dari
pemegang profesi ini. Profesi keguruan berbeda misalnya dengan profesi
kedokteran yang bidang tugas dan tingkat keahlian yang dituntutnya oleh profesi
telah begitu jelas serta terinci sedemikian rupa.
Kedua, kenyataan yang terjadi
sepanjang sejarah profesi keguruan menunjukkan bahwa karena desakan kebutuhan
masyarakat dan sekolah akan guru, maka profesi ini tidak cukup terlindungi dari
terjadinya “gangguan” dari luar. Di masa lalu bahkan hingga sekarang, ada kesan
bahwa siapapun boleh berdiri di muka kelas untuk mengajar tanpa memperdulikan
latar belakang dan tingkat pendidikannya. Di zaman kemerdekaan, asal seseorang
bisa menulis, membaca dan berhitung dan mau membagikan kemampuannya kepada
orang lain, dapat langsung berdiri di muka kelas. Sekalipun hal tersebut
sekarang sudah banyak berkurang, pengaruh dari masa lalu itu masih terasa
hingga sekarang. Di samping itu, kualifikasi pendidikan guru kita amat beragam,
mulai dari yang hanya lulusan SLTP hingga D-3. Dapat dibayangkan betapa
sulitnya menarik suatu generalisasi utuh tentang tingkat profesionalisme guru.
Ketiga, penambahan jumlah guru
secara besar-besaran membuat sulitnya standar mutu guru dikendalikan dan
dijaga. Hal ini terjadi hampir pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
Akibatnya, ada anggapan seakan-akan
tidak ada lagi relevansinya untuk membicarakan tentang profesionalisme guru di
tengah mendesaknya kebutuhan akan guru dalam jumlah besar.
Keempat, organisasi
guru semacam PGRI agaknya belum mampu secara aktif melakukan kegiatan-kegiatan
dan agenda kerja yang secara sistematis dan langsung berkaitan dengan
peningkatan profesionalisme guru; misalnya melalui penerbitan profesional dan
kegiatan ilmiah lainnya.kurangnya dana, langkanya tenaga profesional, menjadi
sebab sulitnya organisasi seperti ini bergerak untuk maju.
Kelima, tuntutan dan
harapan masyarakat yang terus meningkat dan berubah membuat guru makin
tertantang. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat melahirkan
tuntutan-tuntutan baru terhadap peran yang seharusnya dimainkan oleh guru.
Akibatnya setiap penambahan kemampuan guru selalu berpacu dengan meningkatnya
kemampuan dan harapan masyarakat tersebut yang kadang-kadang lebih cepat dari
kemampuan guru untuk memenuhinya. Masalah terjadi apabila harapan atas peran
guru bertambah, sementara kemampuan guru memenuhinya terbatas (Supriadi: 1999:
104-105).
Untuk memenuhi harapan dan
tuntutan masyarakat yang demikian besar terhadap pengembangan pendidikan, serta
diiringi oleh kenyataan bahwa semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi,. Maka posisi dan kedudukan guru sedikit akan bergeser. Menurut
Getsner, profil guru masa depan akan semakin meninggalkan kesannya hanya
sebagai “pengajar” saja, untuk selanjutnya harus mampu menunjukkan fungsinya
secara menonjal sebagai pelatih, konselor, partisipan, pemimpin, dan bahkan
pelajar (student) (Gerstner: 1995: 241).
Sebagai pelatih guru masa depan akan
berperan ibarat pelatih olah raga. Ia akan lebih banyak membantu siswa dalam
“permainan”. Sebagai pelatih, guru akan mendorong sisiwanya untuk menguasai
alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras mencapai prestasi
setinggi-tingginya. Sebagai konselor, guru akan lebih bertindak sebagai sahabat
siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari
siswa. Di samping harus memerankan fungsi seperti di atas guru juga dituntut
untuk membentuk sebuah “team teaching”, untuk mendiskusikan sekitar persoalan
dan kendala dalam melakukan tugas-tugas keguruannya.
Sepintas, apa yang ditetapkan
Gertsner sebagai standard guru masa depan diakui atau tidak hampir sama dengan
kualifikasi guru yang dikehendaki oleh masyarakat Indonesia terhadap sosok
guru. Meskipun semua kualifikasi itu terkesan lebih bernuansa retorika, akan
tetapi agaknya tidak salah untuk mengupayakan semua idealisasi tersebut.
Dalam
konteks pendidikan Islam di Indonesia, seperti yang dikemukakan Mastuhu, untuk
masa sekarang dan yang akan datang orientasi pendidikan Islam, selain menitikberatkan pada aspek kajian agama
(studi keislaman) semata-mata ataua berarientasi ukhrowi. Tetapi pendidikan
Islam masa depan harus menjangkau semua disiplin tanpa pemisahan atas keduanya
secara ekstrem. Untuk itu, dalam kaitannya dengan peningkatan studi varian
disiplin maka guru-guru di lembaga pendidikan Islam harus mampu menguasai
disiplin keilmuan sekuler secara lebih baik. Konsekwensi dari semua itu adalah
harus dimilikinya kemampuan mengakses informasi global secara cepat melalui
berbagai media dan jaringan informasi, seperti internet dan sebagainya.
Kemampuan para guru dalam
mengakses informasi dan selanjutnya mengkomunikasikannya dengan para siswa
adalah salah satu ciri dari sosok guru masa depan dan sekaligus termasuk
kualifikasi dari profesionalisme guru.
Dengan demikian tidak ada lagi kesan
bahwa guru hanya datang dan mendikte siswa dengan gaya lama dan berlagak
sebagai penguasa tunggal informasi di kelas. Bahkan untuk masa depan tidak
menutup kemungkinan para siswa justru lebih dahulu mengetahui sebuah temuan
terbaru dari rekayasa dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari pada
sang guru, sehingga sang guru ketika menghadapi realitas seperti itu harus
mampu berlapang dada dan mendiskusikan dan menghargai temuan siswa tersebut.
Hal lain yang penting dicermati
oleh para guru masa depan adalah semangat untuk mandiri dan kreatifitas positif
dalam kerangka membantu keuangan keluarga dengan tidak menganggu tugas-tugas
keguruannya. Hal ini penting karena tampaknya untuk bebverapa waktu yang akan
datang masalah perbaikan gaji dan insentif guru untuk konteks negara seperti
Indonesia ini belum terlalu menggembirakan dan masih terbatas wacana, karena
kemampuan keuangan negara yang memang sulit.
Dengan demikian spirit kreatifitas
seperti yang dikemukakan di atas dirasa sangat penting dimiliki oleh seorang
guru untuk mengimbangi realitas yang ditunjukkan oleh masyarakat dengan ciri
kemewahan dan keserbabaruannya. Dalam analisis yang lain seorang guru akan
lebih memiliki rasa percaya diri menghadapi penampilan siswa dengan
mengimbanginya dengan penampilan yang meyakinkan.
Itulah beberapa diskripsi
mengenai profil guru masa depan dengan ciri-cirinya yang lebih progresif,
kreatif, dan berwawasan sebagai bagian dari upaya mengimbangi perkembangan teknologi
dan peradaban dunia yang semakin modern. Keringnya semangt kreatifitas dan
lebih menunjukkan citra feodalisme akan semakin memperburuk citra guru di masa
depan. Apalagi jika kita berbicara mengenai guru dalam konteks pendidikan
Islam, yang dimensi moral dn kerja keras dan jujur merupakan nilai dasar yang
harus dimiliki oleh guru di masa depan.
Dalam kaitannya dengan pemahaman
bahwa filsafat pendidikan Islam dapat dijadikan basis pengembangan
profesionalisme guru, menurut Hasan Langgulung, secara konseptual filsafat
pendidikan selalu berfungsi sebagai titik permulaan dalam proses pendidikan,
termasuk menjadi tulang punggung kemana bagian-bagian yang lain dalam
pendidikan itu bergantung dari tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan,
metode mengajar, dan aspek lain dalam pendidikan yang harus bergantung kepada
filsafat pendidikan sebagai pemberi arah, menunjuk jalan yang akan dilaluinya
dan meletakkan dasar-dasar maupun prinsip tempat tegaknya (Langgulung: 1987:
33).
Secara aplikaif, seperti yang
dikemukakan asy-Syaibani, dalam konteks pengembangan profesionalisme guru
berdasarkan nilai-nilai normatif Islam, seorang guru pada dasarnya dapat
melakukan beberapa hal tertentu untuk menata profesionalismenya. Misalnya,
kemampuan guru untuk memadukan berbagai
metode mengajar, sehingga siswa dapat dengan mudah memahami dan menguasai
pelajarannya. Juga yang penting diperhatikan adalah semangat guru untuk
membantu siswa dalam berbagai kesulitan belajarnya (al-Syaibani: 1979: 584).
Untuk itu tentu sang guru harus
memiliki wawasan yang lebih baikdari siswa tersebut. Dua hal penting yang
dikemukakan asy-Syaibani di atas, tentu dapat dikembangkan menjadi beberapa
metode pengembangan profesionalisme guru dalam batasannya yang luas. Misalnya,
dari situ dapat dilakukakan beberapa wSprogram pengembangan untuk
menyelenggarakan pendidikan tambahan bagi profesionalisme guru dalam bentuk
penataran, simposium, program penelitian, dan sebagainya, dalam rangka
meningkatkan wawasan para guru. Selain itu, persoalan metode mengajar yangs
ering disoroti oleh berbagai pihak sebagai sesuatu yang kurang dipahami guru
dalam mengajar, agaknya prinsip filisofis pendidikan Islam seperti yang
dikemukakan al-Syaibani, tampaknya akan lebih dimungkinkan untuk dapat
dikembangkan mengingat prinsip dasar yang harus dikuasai guru adalah
penguasaannya terhadap berbagai metode.
Sosok guru yang sejuk, arif, dan
mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh siswa
merupakan kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru, terutama dalam konteks
masa depan (QS: an-Nahl: 165). Guru dalam kapasitasnya sebagai profesional
menuntut untuk selalu memberikan panutan kepada siswa. Nilai keteladanan ini
dalam dunia modern seperti sekarang sangat dibutuhkan untuk mengimbangi nuansa
modernitas yang cenderung sering mengabaikan nilai-nilai norma moral.
Nilai-nilai moralitas oleh kebanyakan pemikir pendidikan muslim sering dilihat
sebagai nuansa yang mulai tinggalkan oleh pelaksanaan pendidikan modern,
sehingga dengan demikian nilai-nilai moral yang diterapkan di lembaga sekolah
dan dicontohkan oleh para pendidik di sekolah menjadi sangat signifikan
artinya.
Al-Ghazali, seperti yang
dikemukakan oleh Imam Syafi’ie dalam tulisannya, menegaskan posisi guru dalam
kaitannya sebagai contoh dari sisi moralitas ini, sebagai pengemban tugas mulia
yang harus menjadi penutan umat dalam segala hal. Dalam batasan itu, al-Ghazali
lalu menyatarakan status guru sebagai penyampai kebenaran sebagai umat.
Sehingga tidak berlebihan jika al-Ghazali kemudian menempatkan posisi guru ke
dalam barisan para nabi (Imam Syafi’ie: 1992: 37). Pandangan di atas, jika
dikaji secara mendasar akan sangat berarti untuk dijadikan pijakan dalam
memformulasikan kembali posisi guru yang dalam beberapa kurun waktu terakhir
ini cenderung mulai menyimpang dari nilai-nilai dasar filosofis ini.
Konsep Islam mengenai moral ini
dalam konteks pembicaraan profesionalisme guru khususnya, dalam dalam diskursus
pendidikan umumnya, selalu menarik dan urgen untuk dikedepankan. Sebab, seperti
yang dikemukakan Zuhairini, bahwa moral memang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia, yang pada hakekatnya mempunyai potensi esensial sebagai
moral being. Setiap orang dilahirkan sudah berada dalam kehidupan masyarakat
manusia yang sudah jadi, yang telah memiliki nilai-nilai baik yang buruk,
aturan-aturan tingkah laku, norma-norma sosial tertentu yang harus dipatuhi dan
dijalankan. Dalam Islam, bidang moral ini justru menempati posisi yang paling
penting setelah seorang muslim beriman kepada Tuhan (Zuhairini: 1995: 195).
Demikian pentingnya dimensi
moralitas ini, maka Allah perlu mengutuskan para nabi dan rasul-Nya untuk
sebagai pemberi contoh prilaku yang baik bagi umat manusia. Selanjutnya, dari
sisi profesionalisme guru dalam penguasaan materi pelajaran, filsafat
pendidikan Islam juga sangat menekankan agar seorang guru selalu menguasai
materi pelajaran yang
akan digunakan.
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa salah satu kualifikasi guru profesional adalah
kemampuan guru dalam memahami dan menguasai materi ajaran yang akan
diajarkannya kepada siswa. Selain itu, guru juga dipersyaratkan untuk
memperdalam wawasan keilmuannya. Peningkatan wawasan dan pengetahuan bagi seseorang pendidik
merupakan hal yang penting sehingga dia dapat meraih simpati dan minat anak
didik (An-Nahlawi: 1995: 172-173). Sebab bermutu atau tidaknya pendidikan juga
bukan tergantung pada kurikulum yang
digunakan, tetapi ditentukan juga oleh kualitas dan mutu tenaga pengajarnya.
Al-Qur’an al-Kariem
Al-Abrasyi, M. Athiyyah. 1993.
Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry.
Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Aroosi, M. 1980. “Islamic
Curriculum and the Teacher”, dalam Muhammad Hamid al-Afendi dan Nabi Ahmed
Baloch, Curriculum and Teacher Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib
(Ed.). 1979. Aims and Objectives od Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz
University.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press.
Arifin, M. 1976. Hubungan Timbal
Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang.
Asy-Syaibani, Omar Muhamad
Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam,
terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan
Bintang.
An-Nadwi, Abul Hasan. 1987.
Pendidikan Islam Yang Mandiri: Suatu Upaya Meretas Belenggu Ketergantungan.
Bandung: Dunia Ilmu.
Al-Bilgrami, Hasan. 1989. Konsep
Universitas Islam. Terj. Machnun Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Al-Ghazali, Al Imam Abu Muhammad
Ibn Muhammad. Tt. Ihya Ulumuddin. Beirut-Lebanon: Dar al-Ma'rifah.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah.
1979. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos.
Bukhori. 2000. “Pendidikan Nasional : Reformasi atau
Revolusi, dalam Analisi CSIS. Jakarta: Pustaka Nasional.
/div>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar