PARADIGMA KONSTRUKTIVISME SEBAGAI ORIENTASI BARU DALAM PEDAGOGIK
Dikompilasi dari tulisan Nyayu Khodijah ( Dosen UIN Raden Fatah Palembang )
Abstrak :
Dalam teori pembelajaran guru
bukanlah seorang ahli, akan tetapi seorang pembimbing. Karena konstruktivisme
adalah bagaimana membuat tahu dan mengetahui, sehingga sangat tergantung dari
intern individu dalam proses ini. Seorang siswa dalam pembelajaran, sangat
tergantung dengan kondisi internal dan mentalnya.
Hal ini sangat berbeda jauh
dengan objektivisme yang memandang sebuah realitas adalah tergantung kondisi
eksternal dari individu. Untuk itulah yang menajdi perbedaan disini adalah
realitas sehingga membuat siswa dalam proses pembelajaran menjadi lebih
realistis dan lebih bermakna. Akan tetapi, paradigma kontruktivisme bukanlah
hal yang baku dalam proses pembelajaran, masih banyak paradigma ilmu lain
tentang pembelajaran. Karena, konstruktivisme bukan teori pembelajaran
melainkan teori yang mengusulkan pendekatan mengajar yang memberikan kesempatan
pada pemelajar untuk mengalami secara kongkrit dan berarti secara kontekstual
melalui pencarian pola-pola, pemunculan pertanyaan sendiri, dan pengkonstruksian
model, konsep, dan strategi mereka sendiri. Ruang kelas dipandang sebagai
miniatur masyarakat, yaitu komunitas pemelajar yang terlibat dalam aktivitas,
diskursus, dan refleksi.
A. Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa
pergantian paradigma belajar berpengaruh pada perubahan paradigma tentang
proses dan metode pembelajaran, termasuk pada bagaimana pembelajaran dirancang.
Bednar, dkk (dalam Duffy & Jonassen, 1992) menyatakan bahwa desain dan
pengembangan pembelajaran harus didasarkan pada teori tentang belajar, desain
yang efektif hanya mungkin jika pengembang mengembangkan kesadaran reflektif
tentang dasar teoritis yang mendasari desainnya. Dengan kata lain, desain
instruksional yang efektif muncul dari aplikasi teori belajar tertentu.
Dalam sejarah perkembangan teori
belajar, setidaknya telah terjadi tiga kali pergantian paradigma. Paradigma
pertama adalah behavioristik yang menekankan pada proses belajar sebagai
perubahan perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan, guru dapat memanipulasi
lingkungan sedemikian rupa agar terjadi perubahan perilaku pada siswa.
Paradigma kedua adalah kognitif yang memandang bahwa proses belajar tidak
semata-mata terkait dengan perilaku nyata tetapi juga melibatkan proses-proses
mental seperti persepsi, berfikir, dan memori. Paradigma ketiga adalah
konstruktivisme yang berpandangan bahwa proses mental individu mengkonstruksi
pengetahuan atas dasar pengalaman.
Sebenarnya pandangan konstruktivisme
ini bukanlah hal yang baru, akan tetapi merupakan penggabungan dari berbagai
pendekatan, seperti pendekatan Connectionist dari Rummelhart & McClelland,
Semiotik dari Cunningham, Ekperientalisme dari Lakoff, Intertekstualitas dari
Morgan, Relativisme dari Perry, dan lain-lain (Bednar, et.al, dalam Duffy &
Jonassen, 1992). Dalam beberapa tahun terakhir, konstruktivisme banyak menjadi
bahan pembicaraan baik dalam buku-buku, jurnal, situs internet, maupun dalam
diskusi terbuka, seminar, kuliah, dan sebagainya. Tulisan ini berupaya mengupas
tentang bagaimana perspektif konstruktivisme dalam kaitannya dengan orientasi
baru dalam pedagogik.
B. Sejarah Singkat dan Konteks
Filosofi
Menurut Von Glasersfeld (dalam Duffy
& Cunningham, 1996), teori konstruktivis pertama kali dikemukakan oleh
seorang filosuf Italia bernama Giambattista Vico, pada awal abad ke 18. Vico
berpandangan bahwa: “to know means to know how to make” (mengetahui bermakna
mengetahui bagaimana membuat (tahu)). Beberapa filosuf abad ke 20 kemudian
memberikan pandangan konstruktivis yang lebih mengemuka, diantaranya adalah
Kuhn, Wittgenstein, dan Rorty. Menurut mereka, pengetahuan dikonstruksi oleh
individu dan berkaitan dengan konteks.
Muncul dan berkembangnya paradigma
konstruktivis dalam bidang filsafat tersebut sejalan dengan perkembangan yang
terjadi dalam teori dan praktek pedagogik. Jean Jaques Rousseau yang hidup
sezaman dengan Vico memberikan penekanan pada learning by doing, dimana guru
hanya berperan sebagai penyaji masalah yang akan menstimulasi rasa ingin tahu
pemelajar dan meningkatkan belajar. Selain Rousseau, John Dewey juga bereaksi
terhadap proses belajar yang mendasarkan pada sistem hafalan. Ia
berpendapat bahwa kehidupan haruslah
membentuk konteks dasar bagi belajar.
Seperti Rousseau dan Dewey, Bruner
juga memandang proses belajar dalam aktivitas pemelajar. Penekanan utama Bruner
adalah pada discovery learning. Bruner juga memberikan perhatian pada upaya
membantu guru dalam menggunakan pendekatan discovery learning ini. Untuk itu,
ia merancang sebuah kurikulum yang diberi nama kurikulum MACOS (Man A Course of
Study). Kurikulum tersebut merangsang keingintahuan siswa. Metode-metode yang
digunakan meliputi: inquiry, eksperimen, observasi, wawancara, penelusuran
literatur, meringkas, mempertahankan opini, dan sebagainya.
Dewasa ini, konstruktivisme menjadi
payung dari berbagai pandangan yang menekankan pada peran guru sebagai manajer,
fasilitator atau pelatih. Dari berbagai pandangan tersebut, ada dua pandangan
yang mendominasi, yaitu Individual Cognitive Constructivist dari Piaget dkk
(1977), dan Sociocultural Constructivist dari Vygotsky. Pandangan Piaget dkk
memiliki ciri-ciri: (1) perhatian teoritis adalah pada proses psikologis
individu, (2) fokus analisis adalah pada membangun model-model reorganisasi
konseptual individu siswa dan dengan menganalisis konstitusi bersama mereka
dari situasi perkembangan sosial lokal, (3) tujuannya adalah menjelaskan dasar
sosial dan kultural dari pengalaman personal, (4) lokasi mind dikatakan
terletak di kepala, (5) belajar merupakan proses reorganisasi kognitif secara
aktif, (6) belajar dipandang sebagai organisasi diri kognitif, dengan asumsi
bahwa anak berpartisipasi dalam latihan kultural, (7) kelas dipandang sebagai
sebuah pengembangan mikrokultur yang dibentuk bersama oleh guru dan siswa, dan
(8) kelompok dipandang bersift heterogen.
Vygotsky dengan Sociocultural
Constructivist-nya memiliki ciri-ciri: (1) perhatian teoritis adalah pada
proses-proses sosial dan kultural, (2) fokus analisis adalah partisipasi
individu dalam praktek yang terorganisir secara kultural dan interaksi face to
face, (3) tujuannya adalahkonstitusi proses sosial dan kultural dengan
interpretasi individu secara aktif, (4) mind dipandang terletak dalam diri
individu dalam interaksi sosial, (5) belajar merupakan proses akulturasi ke
dalam komunitas praktis yang tetap, (6) belajar dipandang sebagai proses
akulturasi dengan asumsi bahwa abak mengkonstruksi secara aktif, (7) kelas
dipandang sebagai instantiasi dari praktek pendidikan yang terorganisir secara
kultural, dan (8) kelompok dipandang bersifat homogen dengan anggota komunitas
yang tetap.
C. Paradigma
Konstruktivisme
1. Definisi
Konstruktivisme adalah sebuah teori
tentang belajar yang didasarkan pada pandangan bahwa pengetahuan dikonstruksi
oleh pemelajar berdasarkan pada aktivitas mental. Pemelajar dianggap sebagai
organisme yang aktif mencari pemaknaan. Konstruksi pemaknaan bisa diawali
dengan melahirkan hubungan dengan realitas, tetapi lama kelamaan menjadi semakin
kompleks, beragam, dan realistik. Menurut Fosnot (1996), konstruktivisme adalah
teori tentang pengetahuan dan belajar yang menggambarkan tentang apa itu
“mengetahui” dan bagaimana seseorang “menjadi tahu”.
Jonassen (1991) menyatakan bahwa:
Konstruktivisme memandang bahwa realitas dikonstruksi oleh pemelajar
berdasarkan aktivitas mental. Manusia merupakan penerima dan penginterpretasi
realitas, namun mengkonstruksi realitas mereka sendiri melalui pelibatan dalam
aktivitas-aktivitas mental. Berfikir merupakan landasan bagi persepsi tentang
pengalaman-pengalaman fisik dan sosial, yang hanya dapat dipahami oleh mind.
Apa yang dihasilkan oleh mind adalah model-model mental yang menjelaskan pada
pemelajar apa yang ia persepsikan. Kita semua mengkonsepsi realitas internal
secara berbeda, berdasarkan pada rangkaian pengalaman kita yang unik dengan
dunia dan keyakinan kita tentang hal itu.
Paradigma yang nampak kontras sekali
perbedaannya dengan konstruktivisme adalah objektivisme. Objektivisme memandang
realitas sebagai sesuatu yang berada di luar diri individu yang strukturnya
ditentukan oleh entitas, kelengkapan, dan hubungan-hubungan, serta dapat
dimodelkan. Mind bagi objektivisme adalah pemroses simbol-simbol, cermin dari
alam, dan merupakan mesin abstrak untuk memanipulasi simbol-simbol tersebut.
Pemaknaan bersifat menyesuaikan dengan entitas dan kategori-kategori dalam
realitas, serta terpisah dari pemahaman organisme.
Sebaliknya, konstruktivisme
memandang bahwa realitas ditentukan oleh pemelajar, karenanya tergantung pada
aktivitas mental manusia. Realitas juga sebagai produk mind, sebagai prosedur
simbolik mengkonstruksi realitas, serta strukturnya bergantung pada pengalaman
dan interpretasi. Mind menurut konstruktivisme adalah pembangun simbol-simbol, penginterpretasian
terhadap alam, dan sebagai sistem konseptual untuk mengkonstruksi realitas.
Pemaknaan tidak menyesuaikan dengan realitas, tapi tergantung pada pemahaman,
dan ditentukan oleh individu.
Dari perbandingan tersebut,
nampaklah bahwa objektivisme dan konstruktivisme berada dalam posisi yang
saling bertolak belakang, baik atas dasar kriteria metafisik maupun
epistemologi.
2. Pandangan
Konstruktivisme Tentang Realitas
Konstruktivis radikal percaya bahwa
tidak ada dunia nyata, tidak ada realitas objektif yang terlepas dari aktivitas
mental manusia. Dalam pandangan Goodman, dunia personal kita diciptakan oleh
mind, sehingga tidak ada satu realitas yang lebih nyata dibandingkan realitas
yang lain. Tidak ada realitas tunggal atau entitas objektif apapun yang dapat
digambarkan dengan cara yang objektif. Dunia nyata hanyalah hasil dari mind
yang mengkonstruksi dunia tersebut. Bentuk konstruktivisme yang agak kurang
radikal berpegang bahwa mind merupakan alat yang penting dalam menginterpretasi
peristiwa-peristiwa, objek, dan perspektif tentang dunia nyata, dan bahwa
interpretasi tersebut meliputi dasar pengetahuan yang bersifat personal dan
individualistik.
3. Pandangan
Konstruktivisme Tentang Pengetahuan
Pandangan konstruktivis tentang
realitas berpengaruh pada pandangan terhadap pengetahuan. Konstruktivis
memandang pengetahuan bersifat temporer, tidak objektif, selalu berubah dan
tidak menentu. Kaum konstruktivis radikal memandang pengetahuan itu terbentuk
dalam struktur kognisi pemelajar. Pengetahuan selalu mengalami perubahan
sejalan dengan proses asimilasi dan akomodasi (Sulton, 1998). Konstruktivis
percaya bahwa pengetahuan dan kebenaran adalah dikonstruksi oleh individu dan
tidak berada di luar mind manusia (Duffy dan Jonassen, dalam Tam, 2000).
Menurut Duffy & Cunningham
(dalam Jonassen, 1996), konstruktivisme berpandangan bahwa semua pengetahuan
itu bersifat lokal karena dikonstruksi atas dasar sensasi, persepsi, dan
kognisi. Karenanya, pengetahuan itu tergantung pada konteksnya.
4. Pandangan
Konstruktivisme Tentang Belajar
Pandangan konstruktivis terhadap
belajar dipengaruhi oleh pandangan terhadap pengetahuan. Karena pengetahuan
dipandang sebagai sesuatu yang temporer, selalu berubah, dan tidak objektif,
maka belajar dirumuskan sebagai upaya penyusunan pengetahuan dari pengalaman
kongkrit, melalui aktivitas kolaboratif, refleksi, dan interpretasi (Sulton,
1998). Aktivitas yang demikian memungkinkan pemelajar memiliki pemahaman yang
berbeda-beda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif
yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Menurut Duffy & Cunningham
(dalam Jonassen, 1996), konstruktivis memandang belajar sebagai proses
mengkonstruksi pengetahuan yang diperantarai oleh peralatan dan tanda-tanda,
namun belajar juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas dialog sosial. Dalam
proses belajar, pemelajar membangun representasi internal tentang pengetahuan
sebagai hasil dari interpretasi personal terhadap pengalaman. Representasi ini
terbuka secara konstan terhadap perubahan, struktur dan pertalinnya membentuk
landasan dimana terdapat struktur pengetahuan lainnya.
Prinsip sentral konstruktivisme
adalah bahwa belajar merupakan proses yang aktif. Informasi bisa dipaksakan,
akan tetapi pemahaman tidak, harus timbul dari dalam (Tam, 2000). Belajar
adalah kerja mental yang aktif, bukan penerimaan pelajaran secara pasif.
Belajar ditentukan oleh saling hubungan yang kompleks antara pengetahuan yang
ada pada pemelajar, konteks sosial, dan masalah yang harus dipecahkan (Tam,
2000).
D. Aplikasi
Konstruktivis dalam Pendidikan dan Pembelajaran
1. Peran
Pengajar
Menurut Copley (dalam Tam, 2000),
konstruktivisme menuntut seorang guru bertindak sebagai seorang fasilitator
yang berfungsi utama untuk membantu siswa menjadi partisipan aktif dalam belajar
mereka dan membuat hubungan bermakna antara pengetahuan sebelumnya, pengetahuan
yang diajarkan, dan proses-proses yang terlibat dalam belajar. Omrod (dalam
Tam, 2000) menyatakan bahwa guru harus dapat mendorong perkembangan siswa
dengan penyajian tugas-tugas yang “hanya dapat mereka selesaikan dengan
bantuan”, yaitu dalam ZPD siswa.
Sejalan dengan pandangan bahwa guru
adalah seorang pembimbing dan bukan seorang ahli, pembelajaran konstruktivis
selalu berkaitan dengan pemagangan demana guru berpartisipasi dengan siswa
dalam solusi masalah. Disni, guru melayani sebagai sebagai model dan
pembimbing, dengan menunjukkan pada siswa bagaimna merefleksikan pada
peningkatan pengetahuan mereka dan memberikan arah bila siswa mengalami
kesulitan. Jumlah bimbingan yang diberikan oleh
guru tergantung pada level pengetahuan dan pengalaman siswa.
Dengan demikian, tanggung jawab
utama guru adalah menciptakan dan memelihara lingkungan problem solving yang
kolaboratif, dimana siswa dimungkinkan mengkonstruksi pengetahuan mereka
sendiri, dan guru bertindak sebagai fasilitator atau pembimbing. Secara rinci,
ciri-ciri guru dalam perspektif konstruktivis (Tam, 2000) adalah:
• Mendorong
dan menerima otonomi dan inisiatif siswa
• Menggunakan
berbagai bahan, termasuk data mentah, sumber utama, dan bahan interaktif, dan
mendorong siswa untuk menggunakannya
• Menuntut
pemahaman siswa terhadap konsep sebelum membagi pemahaman mereka tentang konsep
tersebut
• Mendorong
siswa untuk terlibat dalam dialog dengan guru dan dengan siswa yang lain
• Mendorong
siswa menemukan dengan menanyakan pertanyaan terbuka dan mendorong siswa saling
bertanya satu sama lain dan mencari elaborasi respon awal siswa
• Melibatkan
siswa dalam pengalaman yang menunjukkan kontradiksi dengan pemahaman awal, lalu
mendorong terjadinya diskusi
• Memberi
waktu bagi siswa untuk mengkonstruksi hubungan dan menciptakan metafora
• Mengukur
pemahaman siswa melalui aplikasi dan kinerja tugas-tugas yang terbuka untuk
direstrukturisasi
2. Proses
Belajar
Dalam perspektif konstruktivisme,
belajar adalah sebuah proses yang aktif dimana pemaknan dikembangkan atas dasar
pengalaman (Newby et. Al, dalam Tam, 2000). Belajar harus disituasikan dalam
konteks yang kaya, merefleksikan konteks dunia nyata guna timbulnya proses
konstruktif dan mentransfernya ke lingkungan di luar sekolah atau pelatihan.
Belajar melalui cognitive apprenticeship, menunjukkan kolaborasi problem
solving dunia nyata, dan penggunaan peralatan yang tersedia dalam situasi
problem solving adalah kuncinya (Bednar et. al, dalam Duffy & Jonassen,
1992).
Proses belajar tersebut kemudian
menghasilkan abstraksi reflektif, menghasilkan simbol-simbol dalam sebuah
media. Simbol-simbol tersebut lalu menjadi bagian penyimpanan skema individu,
yang pada gilirannya digunakan bila mempersepsi dan mengkonsepsi lebih jauh.
Misalnya, kilauan air terjun di siang hari dan air terjun di kala senja tetap
dilihat sebagai air terjun meski sinar cahaya yang masuk ke retina sangat
berbeda. Simbol linguistik “air terjun”
merepresentasikan abstraksi reflektif yang merupakan hasil dari
generalisasi pengalaman dengan air terjun sebelumnya, tetapi kemudian digunakan
dalam mempersepsi stimulus yang terisolasi dari lingkungan, mentransformasikan
dan mengorganisasikannya untuk menciptakan pemaknaan. Media yang digunakan
dalam representasi saat kita berupaya mengkomunikasikan pemaknaan kita tentang
komunitas juga mempunyai efek pada simbolnya. Air terjun yang direpresentasikan
dengan musik bisa melibatkan irama dan keharmonisan, direpresentasikan dalam
seni visual bisa melibatkan bentuk, garis dan tekstur, direpresentasikan dalam
ilmu pengetahuan, bisa melibatkan kekuatan, interaksi, kontinuitas, dan
diskontinuitas.
3. Proses
Pembelajaran
Pembelajaran bagi konstruktivis
adalah memberikan pemelajar situasi kolaboratif dimana mereka memiliki
pemaknaan dan kesempatan untuk mengkonstruk pemahaman yang baru dan spesifik
situasi dengan memasang pengetahuan sebelumnya dari sumber yang berbeda (Ertmer
& Newby, dalam Tam, 2000).
Dua karakteristik pembelajaran
konstruktivis (Tam, 2000) adalah:
1. Masalah
yang “tepat”
Pembelajaran konstruktivis meminta
pemelajar untuk menggunakan pengetahuan mereka untuk memcahkan masalah yang
bermakna dan kompleks. Masalah memberikan konteks bagi pemalajar untuk
mengaplikasikan pengetahuan mereka dan memiliki belajar mereka. Masalah yang
tepat dituntut untuk menstimulasi eksplorasi dan refleksi yang diperlukan bagi
konstruksi pengetahuan. Menurut Brook and Brook (dalam Tam, 2000), masalah yang
tepat adalah yang:
• menuntut
pemelajar membuat dan menguji sebuah prediksi
• dapat
dipecahkan dengan peralatan yang tidak mahal
• realistik
kompleks
• bermanfaat
dari upaya kelompok
• dipandang
relevan dan menarik oleh siswa
2. Kolaborasi.
Perspektif konstruktivis mendukung bahwa pemelajar belajar melalui interaksi
dengan sesamanya. Pemelajar bekerja bersama, mengaplikasikan kombinasi
pengetahuan mereka untuk solusi masalah. Dialog yang dihasilkan dari upaya
kombinasi ini memberikan pemelajar kesempatan untuk menguji dan memperbaiki
pemahaman mereka dalam proses berkelanjutan.
4. Strategi
Pembelajaran
Konstruktivis merupakan teori
tentang belajar, dan bukan deskripsi tentang pembelajaran. Namun ada
prinsip-prinsip umum belajar berdasarkan konstruktivisme yang dapat membantu
kita dalam memikirkan ulang dan mereformasi praktek-praktek strategi
pembelajaran saat ini (Fosnot, 1996), yaitu:
1. Belajar
bukanlah hasil dari perkembangan, tetapi belajar itu sendiri adalah
perkembangan. Belajar menuntut penemuan dan organisasi diri pada sisi
pemelajar. Karenanya guru perlu membiarkan pemelajar menimbulkan pertanyaan
sendiri, menghasilkan hipotesis dan model mereka sendiri sebagai
kemungkinan-kemungkinan, dan selanjutnya mengujinya.
2. Ketidakseimbangan
memfasilitasi belajar. “Kesalahan” diperlukan untuk dirasakan sebagai hasil
konsepsi pemelajar dan karenanya tidak perlu diminimalisir ataupun dihindari.
Tantangan, penyelidikan yang terbuka secara nyata, konteks yang bermakna perlu
diberikan, yang memungkinkan pemelajar untuk mengeksplorasi dan menghasilkan
banyak peluang, baik yang nyata maupun yang kontradiksi. Kontradiksi ini perlu
dijelaskan, dieksplorasi, dan didiskusikan.
3. Abstraksi
reflektif adalah kekuatan yang mengendalikan belajar. Sebagai pembuat makna,
manusia butuh mengorganisasi dan mengeneralisasi semua pengalaman dalam bentuk
representasi. Dengan memberikan waktu untuk refleksi melalui penulisan jurnal,
representasi dalam bentuk multi simbol, dan/atau diskusi tentang
hubungan-hubungan pengalaman atau strategi-strategi bisa memfasilitasi
abstraksi reflektif.
4. Dialog
dalam sebuah komunitas yang melahirkan pemikiran lebih jauh. Kelas perlu
dipandang sebagai sebuah “komunitas diskursus yang terlibat dalam aktivitas,
refleksi, dan percakapan”. Pemelajar bertanggung jawab untuk mempertahankan,
membuktikan, menilai, dan mengkomunikasikan pandangan-pandangan mereka pada
komunitas kelas. Pandangan tersebut baru dapat diterima sebagai kebenaran jika
dapat dimengerti oleh komunitas dan meningkat pada level “taken-as-shared”.
5. Belajar
memproses perkembangan struktur-struktur. Saat pemelajar berupaya membuat
pemaknaan, pergantian struktur progresif dalam perspektif dikonstruksi sebagai
“ide besar”. Ide besar yang dikonstruksi oleh pemelajar ini merupakan
prinsip-prinsip pengorganisasian sentral yang dapat digeneralisasi semua
pengalaman dan seringkali membutuhkan pembatalan atau reorganisasi konsepsi
awal. Proses ini terus berlangsung selama perkembangan.
Inti dari kegiatan pembelajaran
dalam perspektif konstruktivis adalah penataan lingkungan belajar. Sebenarnya
banyak sekali ahli pendidikan dan psikologi kognitif yang berupaya
mengembangkan lingkungan dan preskripsi pembelajaran yang lebih
konstruktivistik. Yang paling penting dari preskripsi ini adalah Situated
cognition, penetapan pembelajaran dalam konteks yang relevan. Pendekatan yang
berkaitan dengan ini adalah menuntut pemelajar melakukan cognitive
apprenticeship. Lingkungan pembelajaran dan guru harus berfokus pada pendekatan
realistik untuk memecahkan masalah dunia nyata tanpa menggunakan urut-urutan
pembelajaran yang ditentukan sebelumnya. Pengajar adalah seorang pelatih dan
penganalisa strategi-strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Strategi penting lainnya adalah
penyajian multiple perspective pada pemelajar. Teori fleksibelitas kognitif
adalah model konseptual bagi pembelajaran yang memfasilitasi kemajuan perolehan
pengetahuan dalam domain pengetahuan yang tidak terstruktur. Teori
fleksibelitas menghindari pembelajaran yang terlalu menyederhanakan dengan
penekanan pada saling hubungan antar konsep, dengan pemberian representasi atau
perspektif jamak pada konteksnya karena tidak ada skema tunggal (tidak ada
realitas objektif), dan dengan menekankan pembelajaran berbasis kasus yang
memberikan perspektif atau tema jamak yang terkait dengan kasus tersebut.
Cunningham, Duffy, & Knuth
(dalam Wilson, 1996) mengemukakan prinsip-prinsip yang dapat digunakan dalam
mendesain lingkungan belajar , yaitu:
1. Mengembangkan
pengalaman melalui proses konstruksi pengetahuan.
2. Mengembangkan
pengalaman belajar yang memungkinkan apresiasi dan kaya akan berbagai
alternatif.
3. Mengintegrasikan
proses belajar dengan pengalaman yang nyata dan relevan.
4. Memberikan
kesempatan pada siswa utnuk menentukan isi dan arah belajar mereka sendiri.
5. Menanamkan
belajar melalui pengalaman bersosialisasi.
6. Mendorong
penggunaan berbagai bentuk representasi.
7. Mendorong
peningkatan kesadaran pemalajar dalam proses pembentukan pengetahuan.
Nyoman S. Degeng mengemukakan
implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran atas dasar pandangan konstruktivis
tentang belajar, yaitu:
1. Dorong
munculnya diskusi terhadap pengetahuan yang baru dipelajari. Pengetahuan baru
bukan dijiplak untuk diterima sebagaimana adanya
2. Dorong
munculnya berfikir divergen, kaitan, dan pemecahan ganda, bukan hanya ada satu
jawaban yang benar
3. Dorong
munculnya berbagai jenis luapan pikiran/aktivitas, seperti: bermain peran,
simulasi, debat, dan pemberian penjelasan kepada teman
4. Tekankan
pada keterampilan berfikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi,
memprediksi, dan merumuskan hipotesis
5. Kaitkan
informasi baru dengan pengalaman pribadi atau pengetahuan yang telah dimiliki
oleh siswa
6. Gunakan
informasi pada situasi baru
Model pembelajaran yang sejalan
dengan perspektif konstruktivis ini adalah Problem Based Learning
(Duffy&Cunningham, dalam Jonassen, 1996).
5. Desain
Pembelajaran
Implikasi konstruktivis pada desain
pembelajaran (Bednar et al, dalam Duffy & Jonassen, 1992) antara lain
adalah:
1. Dalam
analisis isi pelajaran, Karena pemelajar harus mengkonstruksi pemahaman mereka,
maka isi pelajaran tidak dapat dispesifikasi sebelumnya, dan tidak mungkin
memisahkan unit-unit informasi atau membuat asumsi a priori tentang bagaimana
informasi akan digunakan.
2. Dalam
analisis karakteristik pemelajar, pendekatan konstruktivis juga
mengidentifikasi keterampilan pemelajar, akan tetapi tidak mencari kekurngan-kekurangan
mereka secara mendetil.
3. Konstruktivis
juga tidak mempunyai tujuan belajar atau kinerja sebagai bagian internal dari
domain isi, tetapi mencari tugas-tugas otentik dan membiarkan tujuan yang lebih
spesifik muncul dan direalisasikan sebagai hal yang tepat dengan individu
pemelajar dalam memecahkan tugas dunia nyata.
4. Strategi
desain makro dan mikro yang biasa digunakan dalam desain pembelajaran
tradisional dianggap tidak tepat. Teknik-teknik pembelajaran dalam perspektif
konstruktivis adalah:
• Situating
Cognition, yaitu pengalaman belajar perlu disituasikan dalam konteks dunia
nyata. Yang dimaksud dengan konteks dunia nyata adalah: (1) tidak ada perincian
tugas, (2) tugas dikerjakan atas dasar lingkungan atau informasi di sekitarnya,
dan (3) konteks lingkungan adalah penting
• Cognitive
apprenticeship
Guru harus menjadi model bagi siswa
dan melatih siswa ke arah kinerja ahli
• Multiple
perspective
Siswa harus belajar untuk
mengkonstruksi perspektif jamak atas sebuah isu. Mereka harus berupaya melihat
sebuah isu dari sudut pandang yang berbeda-beda.
5. Strategi
sentral untuk mencapai perspektif ini adalah menciptakan lingkungan belajar
kolaboratif. Strategi penting kedua adalah penggunaan contoh-contoh (Bednar et
al, dalam Duffy & Jonassen, 1992)
6. Evaluasi
dalam perspektif konstruktivis harus menguji proses berfikir. Salah satu tipe
evaluasinya adalah dengan meminta siswa memecahkan sebuah masalah dan kemudian
mempertahankan keputusan mereka. Tipe lainnya adalah dengan meminta siswa
menunjukkan proses belajar mereka sendiri ketika mereka mengkonstruksi
pandangan mereka. Dua unsur penting evaluasi ini adalah: (1) perspektif yang
dikembangkan oleh tiap-tiap siswa adalah efektif, dan (2) siswa dapat
mempertahankan penilaian mereka (Bednar et al, dalam Duffy & Jonassen,
1992).
Khusus tentang bagaimana mendesain
evaluasi berdasarkan perspektif konstruktivisme, Jonassen (1991) menyatakan
bahwa proses perolehan pengetahuan harus dievaluasi. Menurutnya, mengevaluasi
bagaimana pemelajar mengkonstruksi pengetahuan mereka adalah lebih penting dari
pada produk yang dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa prosedur evaluasi harus
menjadi bagian dari proses pembelajaran. Jonassen juga merasa bahwa evaluasi
yang tidak terikat pada tujuan dapat menjadi bagian penting dari pengukuran
konstruktivis. Cole (1992) menyatakan bahwa evaluasi proses belajar konstruktif
dapat ditingkatkan dengan penambahan beragam evaluator yang berada dalam
rentang keahlian pada bidang yang dipelajari dan yang merepresentasikan
multiple perspective. Ini memungkinkan guru memainkan peran memfasilitasi
pelatihan sementara sumber-sumber eksternal bertanggung jawab terhadap
keputusan sumatif.
Wilson et al (1996) menunjukkan
ciri-ciri evaluasi dalam perspektif konstruktivis, yaitu:
• Menyertakan
pengukuran dalam produk mengajar yang mungkin
• Mengkritik
danmendiskusikan prodek berdasarkan konteks otentik, mencakup potofolio,
proyek, karangan, dan kinerja.
• Mengevaluasi
proses dan produk
• Menggunakan
pengukuran informal di dalam kelas dan lingkungan belajar.
Secara umum, menurut Jonassen (1991)
implikasi konstruktivisme dalam teknologi pembelajaran adalah:
1. Tujuan
pembelajaran harus dinegosiasi, bukan dipaksakan.
2. Analisis
tugas dan isi tidak difokuskan pada pengidentifikasian dan penentuan
urut-urutan belajar yang tunggal
3. Tujuan
teknologi pembelajaran tidak diarhkan pada penentuan strategi pembelajaran yang
matemagenik
4. Evaluasi
belajar tidak didasarkan pada kriteria
Lebow (dalam Tam, 2000) mengusulkan
lima prinsip Mindset baru sebagai nilai-nilai konstruktivis yang mempengaruhi
desain pembelajaran, yaitu:
Prinsip 1: Memelihara penyangga
antara pemelajar dan potensi efek yang membahayakan dari praktek-praktek
pembelajaran dengan:
• Peningkatan
penekanan domain afektif
• Membuat
pembelajaran yang relevan dengan pemelajar
• Membantu
pemelajar mengembangkan keterampilan, sikap, dan keyakinan yang mendukung
self-regulation dari proses belajar
• Menyeimbangkan
kecenderungan untuk mengontrol situasi belajar dengan keinginan untuk
meningkatkan otonomi personal
Prinsip 2: Memberikan konteks bagi
belajar yang mendukung otonomi dan keterhubungan
Prinsip 3: Melekatkan alasan untuk
belajar ke dalam aktivitas belajar itu sendiri
Prinsip 4: Mendukung self-regulated
learning dengan meningkatkan keterampilan dan sikap yang memungkinkan pemelajar
mengasumsikan peningkatan tanggung jawab bagi berkembangnya proses
restrukturisasi.
Prinsip 5: Memperkuat kecenderungan
pemelajar untuk terlibat dalam proses belajar intensional, khususnya dengan
mendorong eksplorasi kesalahan yang strategis.
Dalam mewujudkan prinsip-prinsip
pembelajaran konstruktivis tersebut, Willis (dalam Tam, 2000) menawarkan model
desain instruksional Construktivis-Interpretivis, dengan ciri-ciri sbb:
1. proses
desain bersifat rekursif, tidak linier, dan terkadang kacau
2. perencanaannya
bersifat organik, pengembangan, reflektif, dan kolaboratif
3. tujuan
muncul dari kerja desain dan pengembngan
4. tidak
memerlukan ahli ID umum
5. Pembelajaran
menekankan belajar dalam konteks yang bermakna (tujuannya adalah pemahaman
personal dalam konteks yang bermakna)
6. pentingnya
evaluasi formatif
7. data
subjektif menjadi sangat bernilai
McClintock (dalam Sulton, 1998) juga
mengemukakan satu bentuk model desain belajar yang didasarkan pada penataan
lingkungan belajar, yaitu Interpretation Construction Approach (ICON) Design
Model. Tujuh aktivitas belajar dalam model desain tersebut adalah:
1. Observasi.
Pemelajar harus mengadakan observasi benda nyata yang berada di sekitarnya dalm
situasi yang nyata
2. Membangun
interpretasi. Pemelajar membangun interpretasi dari observasi dan membangun
argumen untuk kesahihan interpretasi mereka
3. Kontekstualisasi.
Pemelajar mendapatkan masukan latar belakang dan konteks materi dari berbagai
macam bentuk interpretasi dan argumentasi
4. Pembelajaran
suatu keahlian kognitif (cognitif apprenticiship). Pemelajar menyajikan hasil
belajar pada guru untuk penyempurnan observasi, interpretasi, dan kontekstualisasi
5. Kolaborasi.
Pemelajar bekerjasama dalam observasi, interpretasi, dan kontekstualisasi
6. Berbagi
interpretasi. Pemelajar mendapatkan kebebasan kognisi dalam menyampaikan
berbagai interpretasi
7. Berbagai
manifestasi. Pemelajar mendapatkan berbagai kemampuan melalui meliht berbagai
manifestasi dari interpretasi yang sama.
E. Penutup
Konstruktivis bukanlah panacea bagi
semua masalah pembelajaran dalam pendidikan maupun pelatihan. Konstruktivis
juga tidak lebih baik dari teori dan teknologi lainnya. Akan tetapi,
konstruktivis dirancang untuk membuat belajar menjadi proses yang lebih
realistik dan bermakna.
Sebelum konstruktivisme muncul,
praktek-praktek pendidikan lebih banyak dilandasi oleh epistemologi
objektivisme yang memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang bersifat pasti dan
objektif, dan berada di luar diri individu yang kemudian ditransmisikan melalui
proses mengajar oleh guru. Dengan demikian, belajar merupakan proses transfer
pengetahuan.
Paradigma konstruktivisme
bertentangan dengan pandangan tersebut. Berdasarkan pada pandangan di bidang
psikologi, filsafat, dan antropologi, pengetahuan digambarkan sebagai sesuatu
yang bersifat temporer, terus berkembang, tidak objektif, dikonstruksi secara
internal, dan diperantarai secara sosial dan kultural. Belajar menurut
perspektif ini dipandang sebagai proses pengaturan diri dengan cara
mengkonstruksi representasi dan model-model baru sebagai upaya pembentukan
pengertian dengan peralatan dan simbol-simbol yang dikembangkan secara
kultural, dan selanjutnya menegosiasi pemaknaan tersebut melalui aktivitas,
diskursus dan perdebatan sosial kooperatif.
Meski konstruktivisme bukanlah teori
tentang mengajar, namun teori ini menunjukkan pengambilan pendekatan yang
sangat berbeda dengan pembelajaran yang banyak digunakan di sekolah-sekolah.
Paradigma konstruktivisme tentang belajar mengusulkan pendekatan mengajar yang
memberikan kesempatan pada pemelajar untuk mengalami secara kongkrit dan
berarti secara kontekstual melalui pencarian pola-pola, pemunculan pertanyaan
sendiri, dan pengkonstruksian model, konsep, dan strategi mereka sendiri. Ruang
kelas dipandang sebagai miniatur masyarakat, yaitu komunitas pemelajar yang
terlibat dalam aktivitas, diskursus, dan refleksi. Hirarki tradisional tentang
guru sebagai orang yang paling tahu dan pemelajar sebagai orang yang tidak tahu
yang dikontrol untuk mempelajari apa yang diketahui guru sudah tidak ada,
berganti dengan guru yang hanya berperan sebagai fasilitator dan pemelajar
lebih sebagai pemilik ide-ide. Tujuannya adalah otonomi, saling pertukaran
hubungan sosial, dan pemberdayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bednar, Anne K, Cunningham D.,
Duffy, Thomas M., & Perry, J.D. 1992. Theory into Practice: How Do We Link?
dalam Duffy, Thomas M. & Jonassen, David H (Eds). Constructivism and The
Technology of Instruction. A Conversation, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,
Inc.
Degeng, Nyoman S. 1998. Pembelajaran
Beradasrkan Pendekatan Kesemrawutan. Jurnal Teknologi Pembelajaran: Teori dan
penelitian, Tahun 6 No.3, Desember
Duffy, Thomas M. & Cunningham,
D.J. 1996. Constructivism: Implication for The Design and Delivery of
Instruction, dalam Jonnasen, D.H. Handbook of Research for Educational
Communications and Technology, New York: Simon & Schuster Macmillan
Fosnot, Catherine T. 1996.
Constructivism: A Psychology Theory of Learning, dalam Fosnot, Catherine T. (Ed).
Constructivism Theory, Perspectives, and Practice, New York: Teachers College,
Columbia University
Jonassen, David. H. 1991.
Objectivism versus Constructivism: Do We Need a New Philosophical Paradigm?
Educational Technology Research and Development, Vol. 39, No.3
Sulton. 1998. Pengelolaan
Pembelajaran Berdasarkan Teori Konstruktivis. Jurnal Teknologi Pembelajaran:
Teori dan penelitian, Tahun 6 No. 1, April
Tam, Maureen. 2000. Constructivism,
Instructional Design, and Technology: Implications for Transforming Distance
Learning, http://ifets.ieee.org/periodical/vol_2_2000/tam.html
Wilson, Brent G. (Ed.) 1996.
Constructivist Learning Environment, Englewood Cliffs, New Jersey: Educational
Technology Publication
Tidak ada komentar:
Posting Komentar