Minggu, 10 September 2017

GERAKAN KUDETA KESULTANAN PALEMBANG DARUSALAM: BENARKAH PEREBUTAN KEPENTINGAN KETURUNAN?



GERAKAN KUDETA KESULTANAN PALEMBANG DARUSALAM: BENARKAH PEREBUTAN KEPENTINGAN KETURUNAN?
Dikutip dari artikel  :Heri Junaidi
Abstract: The title of this writing is  The coup d’etat in Islamic Culture (The Siyasah Study of Sulthan Palembang Darussalam empire.  The object is Coup d’etat (koo day Tah) or kudeta. There are two important aspects will be examine, those are: the principles of coup d’etat will be showing from the process of the government shift in the histories line, The political contemporary theory, especially in the Islamic political theory and the west political thought theory; and the  implementation of it for Sulthan Palembang Darussalam government. As the  consederation will be examine by the coup d’etat normative base in nushûs (al- Qur’ân dan Hadîst Rasulullah Saw), and the Indonesia law of aanslag straf (Undang-undang tindak pidana makar di Indonesia). By this way,  this research can explain the existence of coup d’etat theory and its practice in the process of the government exchange sovereign, especially at Sulthan Palembang Darussalam empire, so its can take a new discourse for the history of Islamic empires in Indonesia.

l" style="text-align: justify;"> Kata kunci: kesultanan palembang, kudeta, keluarga sultan.  
Praktik kudeta merupakan salah satu proses peralihan sebuah pemerintahan. Dalam hal ini perhatian akan diarahkan pada wacana terminologi sehingga pengertian kudeta dapat dipahami lebih jelas. Kata “kudeta” secara etimologis berasal dari bahasa Perancis, coup d’etat, yang diartikan sebagai ‘revolusi, gerakan radikal kaum oposan, dan penggulingan pemerintahan secara paksa’1. Syariati (1989:132) mendefinisikan coup sebagai ‘pukulan’ atau ‘serangan’ dan etat sebagai ‘pemerintah’, sehingga istilah itu kemudian bermakna ‘gerakan yang terorganisasi, terencana dan mendadak yang dilakukan sekelompok orang dalam bentuk pemberontakan atas penguasa’. Ia menambahkan bahwa satu-satunya yang dapat membenarkan pemerintahan dan jabatan bagi penguasa baru adalah kemampuan melakukan kudeta itu sendiri.

Dalam Ensiklopedia Indonesia (1980:714) disebutkan bahwa kudeta adalah ‘perebutan kekuasaan secara mendadak melalui kekerasan oleh mereka yang sudah memegang sejumlah kekuatan militer atau pemerintahan’. Sementara itu, saya sendiri berpendapat bahwa kosakata kudeta sesungguhnya mengandung pengertian ‘gerakan kaum reformis  radikal yang menuntut perubahan kekuasaan secara paksa karena berbagai sebab’. Saya telusuri hal ini secara dogmatis, bahwa setiap gerakan kekerasan untuk menuntut perubahan dalam negara dikatakan sebagai kudeta. 

Konsep tersebut dapat juga dibaca dalam pandangan Luttwak (1979:16) yang menyatakan bahwa gerakan kudeta dalam satu negara adalah gerakan penggulingan berbagai pemerintahan pada masa dua revolusi Perancis pada abad kesembilan belas. Metode kekerasan merupakan jalan yang efektif untuk memperoleh perubahan pemerintahan diktator.

Beberapa contoh gerakan kudeta yang terjadi di dunia yang memperkuat batasan kudeta di atas adalah gerakan kudeta Revolusi Islam Iran tahun 1979 seperti ditulis oleh Siddiqui (1984); kudeta terhadap rezim totaliter di Eropa Tengah dan Timur  akhir tahun 1989 (Uhlin, 1995:98); gerakan “kekuatan rakyat” (people’s power) menggulingkan rezim Ferdinand Marcos di Filipina seperti ditulis oleh Soetomo (1998); gerakan reformasi mahasiswa Idonesia menumbangkan rezim Orde Baru bulan Mei 1996 yang diungkapkan oleh al-Chaidar (2000); beberapa contoh lain seperti yang saya kutip dari surat kabar Kompas dan Media Indonesia adalah gerakan kudeta George Speight di kepulauan Fiji tahun 2000; gerakan kudeta Arroyo terhadap Joseph Estrada, Presiden terpilih Filipina, tahun 2001; serta yang paling terakhir naiknya putra mahkota Nepal, Pangeran Dipendra, 29 tahun, menjadi raja Kerajaan Nepal setelah membunuh Raja Birendra, ratu Aishwarya, dan sembilan anggota keluarga lainnya dalam tragedi makan malam di istana kerajaan ibukota Katmandu.

Praktik kudeta di atas pada umumnya terjadi karena diskriminasi kebijakan pemerintah, diskriminasi keturunan, diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, dan militerisme. Oleh karena kudeta pada umumnya berkenaan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat, penduduk sangat berkepentingan terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah pascakudeta. 

Pemerintah bentukan kudeta dapat menyatakan atau mengartikulasikan kepentingan mereka kepada pranata-pranata politik dan pemerintahan melalui berbagai kelompok yang mereka bentuk bersama dan/atau dengan orang lain yang memiliki kepentingan bersama dan bergerak melalui cara persuasif ataupun kekerasan. Guillermo O’Donnel dan Schmitter (1993:21) menyebut kelompok garis keras (duros) dan garis lunak (Blandos) untuk mengacu pada kebijakan pemerintah bentukan kudeta. Kedua kelompok tersebut bergerak dalam ketakutan terhadap definisi kudeta yang telah dilakukan kelompok yang melakukan kudeta.

Dari semua wacana teori dan praktik kudeta di atas, ada satu teori yang dilupakan para penulis, yaitu penyebab lain dari kudeta yang diakibatkan unsur keyakinan yang terkait dengan asal-usul keturunan. Dalam tulisan ini saya mencoba membuktikan tesis saya bahwa kudeta dapat disebabkan oleh perpecahan intern keluarga karena keyakinan akan asal usul keturunan. Tesis tersebut saya buktikan melalui kasus naik-turunnya sultan pada kesultanan Palembang. Metode yang saya gunakan untuk menganalisis kasus pada Kesultanan Palembang Darussalam adalah metode simantik dengan menganalisa karya A. Samad Ahmad berjudul Salatus Salatin, dan manuskrip Perpustakaan Nasional, 157, III, berjudul Asal Raja-Raja Palembang; adapun praktik kudeta ditelusuri melalui metode heuristik.
Kudeta: Pola, Cara, dan Landasan Normatif


DIRECT, f08c47fec0942fa0
data-ad-slot="3123192416" style="display: inline-block; height: 280px; width: 336px;">
Seperti disebutkan sebelumnya, ada dua kelompok yang secara tipikal muncul dari rezim-rezim otoriter yang disebut sebagai kelompok garis keras (duros) dan garis lunak (blandos). Secara umum kelompok garis keras biasanya terdiri dari faksi-faksi yang tidak tertarik pada proyek-proyek politik jangka panjang, tetapi lebih banyak mengambil posisi berdasarkan oportunisme.  Namun begitu, faksi inti garis keras sebenarnya terdiri dari orang-orang yang menolak mentah-mentah kekacauan dalam demokrasi. Bila transisi dimulai, dan bahkan setelah demokrasi politis dimantapkan, golongan inti otoriter tidak bersyarat ini terus gigih mengusahakan sejumlah kudeta dan konspirasi.

Pada waktu yang sama kelompok garis lunak merupakan fase reaktif dari rezim otoriter. Mereka cenderung menggunakan represi terutama untuk mentolerir tindak kekerasan agen-agen sempalan dari penguasa yang digulingkan. Dalam pandangan garis lunak, jika legitimasi memang akan dapat diperoleh, rezim tidak boleh terlalu lama untuk kembali membuka kebebasan tertentu, paling tidak yang dapat diterima oleh unsur-unsur moderat di kalangan oposisi domestik dan opini masyarakat Internasional.
                
Baik kelompok garis keras maupun garis lunak mempunyai berbagai aliran yang berbeda bergantung visi, misi dan hasil yang atau akan di dapat dimasa depan setiap pergantian suatu rezim. Garis keras dalam wacana pergerakan sering lebih berperan pada fase-fase awal dalam menuntut sebuah bentuk bernama demokrasi, sedangkan garis lunak menuntut liberalisasi dan modernisasi. Oleh karena itu, mereka sering  mengubah identitas lama yang kabur, slogan-slogan basi, serta berbagai kombinasi yang tidak imajinatif dengan identitas, slogan yang baru dan memasyarakat.

Menurut Luttawak (979:32), perubahan identitas tersebut dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
Pertama, revolusi yang dilakukan pada permulaan awal berupa gerakan oleh massa rakyat tidak terorganisasi dengan tujuan mengubah struktur sosial, politik, dan pemegang tampuk kepemimpinan. Istilah revolusi ini menjadi populer, dan banyak kudeta yang memakai istilah ini karena adanya implikasi bahwa rakyat merupakan aspirasi konsep. Bukti tersebut tampak ketika Kassem menggulingkan Faisal Nuri al-Said di Irak dan mengumumkan gagasan “Asas Suci Revolusi  14 Juli” sebagai apresiasi rakyat.

Kedua, perang saudara yang sering dipopulerkan dari bahasa Spanyol la cruzada merupakan pertempuran antara unsur-unsur angkatan bersenjata nasional yang menuju pergantian pemerintahan baru. Perang saudara merupakan gerakan saparatis sebagai tameng kekuatan yang lebih besar. Dalam frame kudeta, pembangkangan sipil pada dasarnya adalah alat yang dapat digunakan oleh setiap warganegara, apabila hak-hak asasi mereka terancam. Lebih jauh dapat pula digunakan untuk mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa.  

Dalam sistem Negara Barat Sekuler, pembangkangan sipil dapat dilakukan mulai dari yang bersikap pasif terhadap ketentuan hukum yang dianggapnya merugikan,  melakukan protes dengan lisan atau tulisan, yang kemudian diikuti  demontrasi dan pemogokan, sampai pada tindakan pemberontakan. Locke, seperti dikutip dari Guillermo O’Donnel dan Schmitter (1993:46), mengungkapkan lebih tegas bahwa  jika penguasa menjadi zalim, menyalahgunakan mandat serta memerintah secara tidak adil, rakyat berhak untuk menolak dan berontak terhadap penguasa tersebut. Dalam  Deklarasi Kemerdekaan  Amerika Serikat lebih tegas lagi diyatakan bahwa jika suatu bentuk pemerintah menjadi destruktif terhadap maksud rakyat, rakyat berhak untuk mengganti pemerintah tersebut atau memusnahkannya serta membentuk pemerintahan yang baru’. Kudeta di Pakistan adalah contoh konkret dari cara tersebut.

Ketiga, Pronounciamiento disebut sebagai gerakan kudeta ritualistik, yaitu gerakan yang muncul dari trabajos (kerja), kemudian compromisos yang dibuat berdasarkan komitmen-komitmen dan janji-janji dalam bentuk imbalan dengan tujuan pelaksana gerakan melakukan tindakan melalui seruan-seruan untuk mengikuti perwira yang mendanai mereka untuk melakukan pemberontakan melawan pemerintah meliter. Kudeta di  Spanyol dan Amerika Latin menjadi bukti dari hal tersebut.

                Ketiga cara tersebut ditunjang oleh beberapa proses kegiatan berupa putsch, pembebasan, dan insurgensi. Putsch adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu badan formal di dalam angkatan bersenjata di bawah pimpinan yang ditunjuk. Salah satu contoh putsch adalah putsch Kornilov  yaitu kegiatan divisi angkatan darat Rusia di Utara yang mencoba merebut Leningrad, kasus klasik dalam hal ini adalah dibentuknya kepemimpinan Komunis di Rumania pada 1947. 

Rusia memaksa Raja Michael menerima kabinet baru dengan mengancam akan menggerakkan tentara Soviet yang sudah berada di negara itu bila raja menolak. Insurgensi adalah  kegiatan dalam konflik internal dalam negara, yang di dalamnya pihak pemerakarsa tidak merebut kekuasaan dalam negara, tetapi mendirikan suatu struktur negara yang bersaing, dan ini bisa berbasis politis ataupun etnik. Contoh insurgensi adalah kegiatan Viet Cong di Vietnam Selatan yang bertujuan mendirikan satu struktur sosial baru, dan akhirnya suatu negara baru.  Contoh lain adalah suku Kurdi di Irak, suku Somali di Kenya, suku Karen (Kayin) di Burma, dan suku Naga di India, yang ingin memisahkan wilayah mereka dari negara bersangkutan
.
Kajian tersebut saya pertegas dengan landasan normatif dari perspektif hukum Islam dengan dasar ayat 32 dan 132 di dalam Surat Ali Imran, ayat 33 di dalam surat  Muhammad, ayat 54 di dalam surat al-Nûr, dan ayat 92 surat al-Maidah. Materi dalam ayat-ayat tersebut mengandung konsekuensi logis untuk keberhasilan sebuah gerakan nahi munkar. 

Walaupun dijumpai dalam aspek historis dan teologis, kudeta termasuk kategori yang tidak secara jelas diatur dalam al-Qur’an. Ayat-ayat suci hanya menunjuk beberapa indikasi dari semangat kudeta, di antaranya perintah Musyawarah (Q.S.Ali ‘Imran:110), Amar Ma’ruf Nahi munkar (Q.S.Ali ‘Imran:104;Q.S.at-Taubah:71), Taushiyah (Q.S.al-Ashr:3), dan Ta’âwun (Q.S.al-Mâidah:2). Dengan demikian, dalam memahami substansi kudeta dalam istilah yang digunakan di dalamterm Alquran, kudeta perlu dilihat secara paripurna dalam segala prinsip-prinsip yang disebutkan di  atas. Sebagai contoh, konsep musyawarah dengan perintah menegakkan amal ma’ruf nahi munkar memberikan sebuah isyarat bahwa proses memutuskan sebuah kebijakan memungkinkan menghasilkan  ketidak-sepakatan terhadap keputusan itu.

Isyarat tersebut dapat dikatakan pula sebagai ruang fundamentalis2 atau radikalis3, yaitu untuk menyampaikan suatu kebenaran dan meluruskan kemungkaran. (J. Cohen, 1990:151; Ka’bah,1993:25; David C. Cuthell and Sullivan,1988:34).

  Dalam garis besar hukum Islam, tidak ada yang dilarang, kecuali jika larangan itu secara jelas diatur oleh Allah Swt (al-Ashlu fî al Asyyâi wa al-’adâti wa al-mu’âmalâti-al ibâhatu wa al-‘afwu hattâ yakûna dalîlun fî al-buthlâni). Dengan demikian, sejauh gerakan kudeta dalam konteks memberikan keuntungan dan membawa kemaslahatan untuk kepentingan publik (mashlahah al-mursalah),  hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, termasuk pengertian kudeta sebagai gerakan kaum reformis radikal menuntut perubahan kekuasaan secara paksa. 

Kata-secara paksa-menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam pemerintahan, seperti menguatnya kelompok sipil4, dan upaya menilai ketidakmungkinan secara kondisional untuk membujuk militer agar turun dari kekuasaan dan membiarkan masa transisi menuju demokrasi berjalan dalam sebuah negara. Tesis tersebut dikuatkan dengan pernyataan Ibnu Taimiyyah (1951:177),  ”agama tanpa kekuasaan atau penguasa (sulthân), jihâd dan harta (mâl) sama jeleknya dengan sulthân, mâl, dan harb tanpa dîn (Agama).” Indikasi ini memberikan sebuah termin pentingnya eksistensi kepala negara, dengan kata lain sesungguhnya kepala negara menjadi faktor kelangsungan sebuah komunitas.

Dalam Islam historis, persoalan kepala negara termasuk masalah konvensional yang mengundang aneka ragam sikap dan pandangan. Hal  mendasar yang biasanya diperdebatkan adalah asal-muasal kekuasaan kepala negara.  Dalam kaitan ini ada dua kutub yang  tarik-menarik, yaitu antara sisi teologis dan sisi pragmatis (politik). Pernyataan bahwa  kekuasaan kepala negara itu bersumber dari kekuasaan mutlak Tuhan, dan kepala negara sebagai wakil Tuhan merupakan kerangka dasar teologis-politik islam.

Al-Mawardi seperti dikutip dari Sjazali (1995:58) memberikan kontribusi teori bahwa kesepakatan massa merupakan sumber kekuasaan negara.   Rakyat mempercayakan kepada seseorang yang ditunjuk sebagai kepala  negara untuk bertindak atas nama negara dalam mengatur kehidupan bersama. Kesepakatan warganegara adalah sebagai sumber kekuasaan, yang dalam praktiknya dilimpahkan kepada kepala negara yang ditunjuk sehingga mampu menjamin kelangsungan hidup bersama.  Dengan pandangan ini,  kepala negara bukanlah lembaga yang secara bebas mengatur kebutuhan rakyat berdasarkan keinginannya. Kepala negara mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Kewajiban tersebut adalah   menjaga agama dan prinsip-prinsipnya yang mapan dan prinsip-prinsip yang telah dikumpulkan oleh generasi terdahulu.
Kesultanan Palembang Darussalam: Perbedaan Silsilah

Palembang berasal dari kata limbang yang berarti ‘membersihkan dan memilih suatu benda dalam air untuk diambil dan dipergunakan’, dalam hal ini yang dimaksud adalah melimbang biji emas yang baru diperoleh dari dalam tanah. Konon, di muara Sungai Ogan, mata pencarian penduduk sekitarnya adalah melimbang sehingga tempat itu kemudian disebut dengan Pelimbang kemudian diucapkan dengan kata-kata palembang sampai sekarang. Ada pula yang mengartikan Palembang dengan asal kata Lembeng ( bahasa daerah Palembang menyebut genangan air ), yang kemudian ditambah dengan awalan Pa (sebagai kata penunjuk tempat, sehingga terjadi kata Pa Lembeng dengan arti, kota yang selalu tergenang air atau dilembeng air.(Abdurrahman, 1994).5

Kesultanan Palembang Darussalam muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan keturunan, baik kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, yaitu Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, dan Kerajaan Mataram, maupun dari silsilah kerajaan Melayu. Dalam versi Jawa, pada saat menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit, Palembang diperintah oleh Ario Damar pada tahun 1455-1486. Ia adalah putera Raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Pada saat Ario Damar menjadi adipati di Palembang, ia mendapat triman, yaitu pemberian raja kepada  penguasa bawahannya berupa wanita, yaitu seorang putri yang sedang hamil. Triman itu adalah Puteri Campa. Ia melahirkan seorang putera yang diberi nama Raden Fatah, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.

Menurut Cerita Asal Raja-Raja Melayu, Seri Teri Buana menjadi Raja Palembang pada  sanat 575 Hijriah. (Cerita Asal Raja-Raja Melayu Punya Keturunan, Leiden, Universiteit Bibliotheek, cood Or. 3199, Bagian 4). Tahun 575 H atau sekitar tahun 1179 M, Palembang ketika itu masih menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya yang tengah merosot . Dalam sejarah tutur Palembang dikisahkan bahwa setelah kerajaan Sriwijaya lemah dan dikalahkan Majapahit,  daerah Palembang berada di bawah  kekuasan Majapahit, dan Adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang adalah Ario Damar, yang dikenal pula oleh masyarakat Palembang dengan nama Ario Dilah. Ia adalah putera Raja Majapahit Prabu Brawijaya Sri Kertawijaya. Nama Ario Damar dari Palembang atau Tulembang dalam cerita tutur Jawa-Bali mempunyai peranan penting. Konon menurut cerita itu, Ario Damar adalah saudara sepupu Raja Majapahit dan kawan seperjuangan Patih Gajah Mada. Mereka bersama telah menaklukkan seluruh Bali. Dalam cerita tutur Jawa, Ario Damar adalah putera Raja Majapahit. Sultan Trenggono-Raja Demak, anak kedua Raden Fatah, beristrikan anak perempuan tokoh legenda Ario Damar dari Palembang.Oleh karena itu, Sultan Trenggono digelari juga dengan Ki Mas Palembang (Kartodirjo 1975:61).

Cerita ini menunjukkan masih eratnya hubungan Palembang dengan Kerajaan Demak. Maka kemudian kericuhan di kerajaan Demak pasca-wafatnya Sultan Trengono pada tahun 1546, telah berakibat pula bagi Palembang. Di dalam Naskah  Handschrift No. 31, KITLV, Leiden, dikatakan, “takkala negeri Demak dikalahkan oleh Sultan Pajang, maka banyaklah raja-raja dan priayi-priayi yang lari, maka yang masuk ke Palembang bernama Gedeng Suro”. Ki Gede Ing Suro Tua dalam sejarah tutur Palembang dianggap sebagai raja pertama (1539-1572), keturunan dari seorang Panembahan Palembang, dan istrinya berasal dari keluarga Sunan Ampeldenta yang keramat, seorang dari keturunan 

Panembahan Prawata (Raja Demak), Pangeran Kediri dan Pangeran Surabaya. Sejak Perjalanan pemerintahan Raja Ki Gede Ing Suro sudah mendapatkan rintangan internal dan eksternal kesultanan, sehingga peristiwa kritis dalam suksesi pergantian tahta selalu menyertai kesultanan ini.  Kelompok Jipang dimotori oleh Ki Gedeh Ing Suro mengembangkan tradisi Jawa, sebagai suatu ikatan kultural yang kuat dengan Jawa, dengan mengakui suzerenitas Mataram demi prestise dan gengsi kebangsawanan (Hanafiah, 1987: 1) Di satu sisi masyarakat Palembang tidak mengakui tradisi Jawa dan bergabung dengan Keraton Jambi yang menyadari ikatan Melayu dalam tradisi mereka.

 Dalam versi Melayu, Masyarakat Palembang mempercayai tradisi Melayu menisbahkan Palembang sebagai awal kerajaan Melayu di Nusantara, yang mengisahkan:
ada tiga Tiga orang anak Raja Sultan yang dipelihara Raja Aktabul Ard yang merupakan anak cucu Raja Iskandar Zulkarnaen, turunan Nabi Sulaiman Alaihis Salam, melalui Raja Nusyirwan Raja Masyrik dan Magrib turun kedunia dengan berkendaran lembu putih dan tiba di bukit siguntang. Kemudian dengan menunjukkan berbagai kesaktian, akhirnya mereka diterima oleh Raja Palembang Demang Lebar Daun. Ketiga anak Raja itu masing-masing bernama Nila Pahlawan (bergelar Sang Si Perba ) kemudian menjadi raja Minangkabau, Krisna Pandita kemudian menjadi raja Tanjung Pura dan Nila Utama (bergelar Seri Teri Buana), kemudian menjadi raja Palembang dan kawin dengan  puteri Demang Lebar Daun. Seri Teri Buana inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Melayu di Nusantara ini (Winstedt, 1977: 158; Roovink, 1983: h. XX; Junus,1984: 12).

Kisah tersebut dilanjutkan dengan gambaran Palembang  dalam suasana keagamaan Hindu-Budha. Cerita lembu putih yang memancarkan cahaya berwarna kuning keemasan merupakan simbul-simbul penting dalam kepercayaan Hindu. Demikian pula nama Gunung Mahameru merupakan nama yang dikenal dalam agama Hindu sebagai tempat tinggal para dewa. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayan Hindu-Budha terutama pada tahap kemunculan Raja Melayu di Palembang masih dominan. Sejarah Melayu menjadikan Seri Teri Buana sebagai awal raja-raja Melayu sebagaimana diceritakan berikut ini. Bahwa mulanya asal raja Melayu dari Seri Teri Buana. Baginda itu keturunan daripada raja Iskandar Zulkarnaen. Telah datang dipulau Andelis tempatnya dibawah perintah Demang Lebar Daun. 

Maka apabila Demang itu berjumpa dengan Seri Teri Buana sembahlah ia. Makadiserahkan oleh Demang Lebar Daun segala pekerjaan atas negeri yang dibawah perintah Demang itu adanya. Sahdan pula Seri Teri Buana di angkat raja, maka ialah yang pertama-pertama raja Melayu, maka dijadikan itu kepada sanat 575 dari Hijrah Nabi, tetapi orang Melayu itu belum masuk agama islam. Kemudian daripada itu maka Seri Teri Buana berangkatlah dari pulau Andelis berlayar keseberang tanah Zirbad namanya, artinya kepada bahasa Parsi di bawah angin. 

Maka tempat itu juga namanya Ujung Tanah, disitulah Seri Teri Buana membuat kota, maka bernama kota itu Singapura. Maka diam Baginda itu disana, maka memerintah ia atas kaumnya sampai kepada sanat 623. Bila itu Seri Teri Buana pun mangkat, maka dignti dalam pekerjaan paduka Dikarangwira. Baginda itu memegang perintah atas orang Melayu sampai kepada sanat 638 maka dibaikinya kota Singapura akan jadi kuasa melawan kerajaan Majapahit.

 Maka diganti Paduka Dikarangwira itu oleh Seri Rama Wikrama itu muda-muda dan berani, maka dengan adil memegang perintah selama-lama hidupnya, tetapi dengan takdir Allah datang susah atas kaumnya karena mangkat baginda itu muda pada sanat 637. Maka diganti oleh Seri Maharaja. Demikian juga Seri Maharaja itu tiada hidup lama karena mangkat dia pada sanat 663. Maka diganti oleh Seri  Iskardar Shah. Baginda itupun melawan dengan beraninya sampai tiada dapat lagi raja Majapahit, tetapi kemudian dari pada melawan tiga tahun lamanya alah dia. Maka berangkatlah dari Singapura berjalan darat ke barat laut, maka berhenti pada suatu tempat maka diperbuatnya pula kota, namanya Malaka. Maka kota itu diperbuatnya halus sampai termashur namanya (Rahim, 1998:3).


Cerita di atas menggambarkan perjalanan Raja Palembang dan keturunannya mendirikan Singapura dan kemudian Kesultanan Malaka  yang terkenal itu. Kesultanan Malaka sebagai lanjutan dari Palembang dikenal sebagai pusat perdagangan dan pusat pengembangan Islam di kawasan Asia Tenggara, serta dianggap sebagai pembangun tradisi Melayu.  Setelah kalah dari Portugis (1511), Dinasti Malaka menyingkirkan dan membangun pusat kekuasaan Melayu yang baru di Johor. Johor meneruskan tradisi Malaka, memelihara dan mengembangkan tradisi Melayu yang bercorak Islam dan tetap menganggap Palembang sebagai awal Kesultanan Malaka dan Johor seperti tampak dalam pernyataan Tun Sri Lanang penulis Sejarah Melayu di akhir tulisannya berikut ini .


Inilah yang dapat oleh pacal yang daif dibaca dalam hikayat ayahanda itu rahimu’llah, datuk yang hilang di Tanjung  Batu, kepada masa Johor alah diserang Jambi, pacal datuk dikurnia ayahanda itu membaca Hikayat Melayu oleh baginda terjali dari Bukit Si Guntang, turun ke Palembang, dari Palembang lalu ke Bintan, Dari Bintan ke Singapura; alah Singapura oleh Jawa, lalu ke Malaka, alah Malaka oleh Peringgi, balik ke Bintan, dari Bintan lalulah ke Johor, hal itulah yang terbaca oleh pacal datuk.(Ahmad 1984:311)
Silsilah Keturunan Sultan Awal Sebuah Kudeta

Perjalanan pencarian identitas diri membawa pertentangan demi pertentangan berkembang di internal kesultanan Palembang.  Kelompok yang merasa mempunyai ikatan Melayu dan mereka yang tidak menyukai kepemimpinan Ki Gede Ing Suro mengadakan kontak dengan Pangeran Mas salah seorang Pangeran di Bekas kerajaan Demak.(Rafles 1982:74) 7.  Atas hasutannya kemudian Pangeran Maulana Muhammad dari Banten (1959) menyerbu Palembang dengan isu sentral “Perang Kaum Kafir” di Palembang. (Djajadininggrat 1983:47). Serbuan itu tidak menghasilkan kemenangan, bahkan Pangeran Maulana Muhammad sendiri tewas dalam pertempuran (1596). Peristiwa itu kemudian mengukir dendam Banten terhadap Palembang, dan menjadi bumerang dalam perjalanan kesultanan Palembang Darussalam selanjutnya. Di sisi lain, bentuk dan struktur politik ketatanegaraan Kesultanan Palembang tidak terlalu jauh dengan pemerintahan tradisional Jawa. Hal ini ditegaskan B.J.O Schrieke


Kerajaan-kerajaan Melayu kecil-kecil yang terletak di pantai yang lama maupun yang baru, yang dalam abad-abad terdahulu pada umumnya berorientasi ke Jawa, secara priodek berbakti dan mempersembahkan upetinya kepada raja Jawa. Maka lembaga-lembaga Jawa kerapkali secara sadar ditiru di negeri sendiri, untuk mengidentifikasikan dirinya dengan penguasa-penguasa yang tertinggi dan agar mendapatkan kebesaran dan kesemarakan baru karenanya merupakan ciri khas pula, bahwa keluarga-keluarga raja biasanya berdarah campuran (Schrieke, 1971:29)

Upaya yang dilakukan Ki Gede Ing Suro Tua meminimalisasi ketidak-sukaan terhadap tradisi itu melalui sistem kompromistis dengan penduduk pedalaman. Dengan menggunakan  konsep pemerintahan ala Jawa hanya berlaku di pusat pemerintahan sedangkan di luar pusat pemerintahan, hukum masyarakat sesuai dengan tradisi masing-masing di bawah pengawasan raja. Peraturan ini berlaku hingga wafatnya pada tahun 1572.

Pascawafat Ki Gede Ing Suro mulai menimbulkan prahara dalam kerajaan, apalagi Ki Gede Ing Suro tuo tidak mempunya putra, sehingga di- gantikan OLEHsaudaranya Ki Gede Ing Suro Mudo yang bergelar Ki Mas Anom Adipati Ing suro (1572-1587). Pada masa ini mulai muncul riak-riak perpecahan internal di dalam istana kesultanan.  Sebab utamanya adalah pertama, pengangkatan saudara sultan sebagai pengganti dilakukan secara diam-diam, dan dalam masa–masa selanjutnya hingga keruntuhan kesultanan ini, pergantian hanya bergantung pada loyalitas, bukan pada struktur organisasi.  Hal ini juga diungkapkan oleh Roode Faille:

Raja tidak mempunyai tentara yang teratur….dalam keadaan darurat tiap orang menurut kemampuannya harus menyerahkan sejumlah bawahannya untuk berperang; dan demikian juga halnya dalam armada laut, para pangeran dan pembesar masing-masing harus melengkapi beberapa perahu untuk keperluan itu.  hal yang sama terjadi pada pelaksanaan pekerjaan besar…Kondisi ini membuat raja sangat tergantung dari bantuan lingkungan, juga kesetiaan lingkungannya, di dalam hal-hal yang positif maupun yang negatif (Faille1971:38; Marsden 1970:360)

Kedua, struktur masyarakat sudah mulai mengarah pada tingkatan, dengan membedakan secara kasap mata antara golongan bangsawan, golongan rakyat, dan golongan budak; Ketiga, mulai terdesaknya tradisi dan adat istiadat yang berlaku diluar ibukota kesultanan Palembang Darussalam, akibat campur tangan penguasa setempat sebagai agen istana. Keempat, pembalasan dendam Kerajaan Banten atas peristiwa perang kafir, dan kelima, mulai masuknya pengaruh VOC ke dalam tubuh istana.(Geldern1982; Vleke1961; Schrieke 1974; Groeneveld 1960)

Setelah Pangeran Ki Gede Ing Suro ilir wafat, Ki Mas Adipati anak pangeran Ki gede Ing Suro Ilir naik tahta secara diam-diam sampai tahun 1587. Pada masa kepemimpinannya, pergolakan demi pergolakan internal, aroma penghianatan dan ketidaksetujuan atas sikap dan pola kepemimpinan sultan selalu menjadi isu sentral dari anak Ki Gede Ing Suro Ilir. Akibatnya, loyalitas sultan menjadi lemah, hingga turunnya Ki Mas Adipati dan digantikan dengan Pangeran Madi Ing Angsoko, memerintah hingga tahun 1587.
Pada masa Sultan Madi Ing Angsoko  terjadi lagi  perang “kafir” dengan Bantam, akibat dendam dan iri peguasa Banten, akibat tewasnya Pangeran Muhammad.  Peperangan itu adalah upaya Jawa mengucilkan Palembang melalui kekuatan maupun perdagangan. Djayadinggrat (1983:180) menulis,

Sengketa-sengketa mereka sendiri agaknya menjadi sebab, mengapa untuk sementara waktu ekspedisi tersebut gagal sama sekali.  Baru kira-kira seratus bulan setelah mangkatnya Pangeran Muhammad sebuah armada berhasil melayari lautan menyerang Palembang.  Tanggal 8 Juni 1606-demikian kita dengar mereka datang kembali tanpa mampu berbuat banyak……..Palembang mengikat persekutuan dengan pihak Mataram…..permusuhan karena hasutan dan fitnah terus berlangsung lebih lama lagi…
.


Ketika  Pangeran Madi Ing Angsoka wafat (1627), terjadi perebutan kekuasaan antara menantu (Pangeran Jambi) dengan dua paman isterinya (saudara Pangeran Madi Angsoka) dan kemenangan di pihak paman. Maka yang menjadi raja adalah Pangeran Madi Alit yang disebut Raja Depati (1627-1629). Pangeran Madi Alit hanya berkuasa satu tahun dan beliau mati terbunuh karena di kudeta saudaranya Pangeran Seding Puro bergelar Pangeran Made Sokan yang dikenal pula dengan Raden Aria (1929-1936)  dengan motif yang sangat sepele, perkara wanita. Seperti ditulis Faille (1971:14)
“Syahdan Ki Mas Depati mati…..Takkala dia punya aturan kurang baik, sebab manakala rakyat kawin dibawa terlebih dahulu menghadap raja; yang manapun bagus dititipkan dalam Keraton, lakinya di suruh pulang……ketika datang sepasang suami istri muda, yang istrinya demikian mempesona, sehingga ia menahannya di”dalem”nya; ketika ia mengulangi penolakannya untuk mengembalikan istri itu, maka ia dibunuh suaminya Jaladri”

 Pangeran Madi Alit kemudian digantikan oleh saudaranya, Pangeran Seding Puro, atau juga disebut Pangeran Made Sokan yang dikenal dengan Raden Aria yang memerintah sekitar tahun 1629--1636. Kemudian digantikan pula oleh Pangeran Seding Kenayan. Pada masa ini pergolakan dan loyalitas mulai diredam kembali dengan membuat Undang-Undang Simbur Cahaya dari Ratu Sinuhun (Istri Pangeran Seding Kenayan). Undang-undang ini merupakan pedoman mengatur pergaulan sosial di daerah Pedalaman Palembang. Menurut Van Royen, seperti dikutip Djayadinggrat (1983: 180),  “Sultan-sultan tidak berbuat lain daripada mengukuhkan (Vasteleggen) hukum adat yang berlaku”. Sikap-sikap penguasa Palembang ini jelas pula dalam gambaran Faille (1971: 40):

Orang Pasemah bukan semata-mata orang bawahan, mereka lebih merupakan kawan-kawan seperjoangan dari Sultan yang dilindunginya, meskipun mereka, seperto terbukti dari piagam Susuhun ratu, telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas dan mengikat diri untuk mentaati untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk kepada pengakuan daripada kekuasaannya……bukan saja orang-orang Pasemah harus berurusan dengan kepalanya sendiri, tetapi mereka adalah benar-benar kepala rakyat yang bebas, tidak mempunyai kewajiban untuk membayar upeti (mardika): baru kemudian rupa-rupanya kepada sementara diantara mereka diwajibkan”triban-tukon” sebagai tanda raja.

Dalam masalah teritorial, pada masa Pangeran SedingKenayan ini, dibuat dalam bentuk hak dan kewajiban dalam daerah Sindang-sebutan teritorial perbatasan kerajaan-, penduduk mendapat status mardika (merdeka atau bebas). Tugas penduduknya adalah sebagai penjaga perbatasan.  Sebaliknya, penguasa Palembang mempunyai daerah yang langsung di bawah kekuasaannya yang disebut kepungut. Daerah ini bebas pajak, namun mempunyai apa yang disebut dengan tiban dan tukon. Pengertiannya bahwa wilayah tersebut berkewajiban memproduksi komoditi ekspor yang menjadi monopoli kerajaan dalam pemasarannya.  Sebaliknya, raja berhak menjual barang-barang kebutuhan penduduk secara monopoli (tiban), yang biasanya terlaksana menjelang hari raya.

Satu bentuk lagi dari wilayah, yang mungkin peralihan dari mardika menjadi daerah sikep.  Dusun atau marga yang tangung jawabnya diserahkan para elite, yang disebut jenang.  Kekuasaan para jenang itu sebatas masa jabatannya saja.  Petani, yang disebut mata gawe, diberi kesempatan untuk membuka tanah.  Mata gawe tidak membayar pajak, tetapi bertugas membantu petani yang berhak membuka tanah tersebut (sikep). Organisasi militer yang regular dan profesional tidak dipunyai oleh penguasa.  Di ibukota Palembang hanya dikenal golongan pengalasan, yang bertindak sebagai pengawal Kraton dan punya wewenang sebagai kepolisian.  Kelompok ini di bawah komando Pangeran Citra, melaksanakan eksekusi dari keputusan pengadilan ditingkat daerah dan pusat.(Hanafiah, 1985:8)

Setelah Pangeran Seding Kenayan wafat, penggantinya adalah kemenakan Ratu Sinuhun, yaitu Pangeran Seding Pesariyan (1652-1653), yang kemudian diganti oleh anaknya Pangeran Seding Rajak (1653-1660). Di masa pemerintahan Pangeran Seding Rajak inilah Belanda menyerang dan membakar kota Palembang (1659), kemudian Pangeran Seding Rajak mengundurkan diri ke dusun Indralaya dan meninggal dunia di dusun Sakatiga.Berkat intervensi garis keturunan, Pangeran Sending Rajak digantikan oleh Raden Tumenggung yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Abdurrahman, atau Sultan Abdul Hamal/Jamal dan lebih dikenal dengan sebutan Sunan Cinde Walang. Di masa ini pula Palembang melepaskan diri dari Mataram dan menyatakan berdiri sendiri.

Perebutan setelah meninggalnya Pangeran Abdurrahman kembali terjadi perebutan kekuasaan  yang selanjutnya Ki Mas Endi atau Raden Temenggung keluar sebagai pemenang dari kemelut kelompok-kelompok yang bersaing melalui gerakan kudeta terhadap para pesaingnya hampir melalui perang saudara, namun ia mendapatkan keberuntungan dengan dukungan Jambi (yang tadinya tidak peduli lagi dengan Palembang).

Atas desakan Jambi inilah Belanda dapat menerima penampilannya, walaupun pada saat itu santer terdengar bahwa pangeran ini dituduh terlibat dalam pembunuhan 1659. Tebusan Ki Mas Endi kepada Belanda cukup tinggi. Tiga belas kontrak yang dibuat Palembang dengan Belanda selama kerajaan Palembang berdiri (yaitu kontrak tahun1640 sampai dengan tahun 1791). Tujuh buah kontrak dibuat oleh Ki Mas Endi. Bahkan, pada tahun 1642, dia telah mewakili Pangeran Palembang untuk menandatanganinya.

Dalam adat-adat raja melayu bahwa raja dianggap sebagai bayang-bayang Allah di dunia (Hadijaja, 1964: 61) ungkapan serupa dalam Undang-Undang Melaka, raja disebut sebagai khalifah Allah di bumi. Konsep raja sebagai bayang-bayang Allah di muka bumi bermakna bahwa raja-raja juga mempunyai kekuasaan keagamaan, sebagaimana dimiliki oleh para Nabi. Oleh karenanya, seorang wanita tidak layak menjadi pemimpin. Hal Tersebut memicu upaya pihak keluarga yang berkeinginan memerintah dengan cara perkawinan. Diantaranya Ki Mas Adipati mengawinkan putrinya dengan penguasa Jambi, dengan harapan keluarga dari pihak wanita dapat berkuasa atas nama suaminya. 

Perbuatan itu malah menambah permasalahan dalam lingkungan kesultanan. Keturunan kesultanan Palembang, tidak setuju dengan adanya keturunan lain menguasai Palembang. Tragedi Nyai Gede Pembayun (putri gedeng Suro Mudo) yang menikah dengan Temenggung Jambi, kemudian diperolok dengan julukan Temenggung Manco Negoro, dan disingkirkan dalam lingkungan keluarga kesultanan. Akibatnya timbul dendam dari anak-anaknya, yang pada akhirnya kerajaan direbut oleh Pangeran Seda ing Paserean, dan berlanjut kepada anak-nak lain, maka wajar kemudian, jika Johan Hanafiah (1980: 19) menyebutkan bahwa kesultanan Palembang adalah sebuah “tahta, kemelut keluarga yang tak berkesudahan”.

Di tahun 1811, timbul dualisme kepemimpinan didalam kesultanan Palembang Darussalam, yaitu antara Sultan Najamuddin II yang dilindungi oleh Inggris, dan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai seorang sultan sah berdasarkan garis keturunan, Ahmad Najamuddin yang merasa diturunkan dari tahtanya mengadakan konsiliasi dengan Inggris, sampai terus berkembang hingga berakhirnya kesultanan Palembang Darussalam

Kesimpulan
Tahta, wanita dan keturunan selalu menjadi bayangan kehidupan sebhuah kerajaan yang sedang dan telah berdiri. Persoalan-persoalan yang menggayuti internal kerajaan mapun kesultanan ternyata sebuah wacana klasik yang telah ada secara turn temurun. Turun naiknya tahta kerajaan sejak dulu tidak lepas dari konsep kudeta dalam pengertian penurunan paksa dengan berbagai sebab. Salah satu sebab utama adalah ketidakpuasan silsilah keturunan. Dan hal ini terjadi dalam kesultanan Palembang Darussalam.

Daftar Pustaka

Al-Chaidar. 2000. Gerakan Mahasiswa, Rezim Tirani dan Ideologi Reformasi, Jakarta: Madani Press.
Abdillah, Masykuri. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna, Respons Masyarakat Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, Jogjakarta: Tiara Wacana. 
Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina.
Brown, C.C. 1983. Kuala Lumpur : Oxford Universiy Press, 1983, h. XX Cherita Asal Raja-Raja Melayu Punya Keturunan, Leiden, Universiteit Bibliotheek, cood Or. 3199, Bagian 4
D.G.E. 1987. Sejarah Asia Tenggara, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Djajadininggrat, Hoesien. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, Jakarta: Djambatan.
Djaelani, Abdul Qadir. 1999. Sekitar Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Media Indonesia.
Emeis, M.G. 1968. Bunga Rampai Melayu Kuno, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.
Enseklopedia Indonesia.  1980. Vol.V,  Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Fang, Liaw Yoek. 1982.  Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik, Singapura : Pustaka Nasional.
Faille, Roo de la. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang, Jakarta: Bharata.
Graaf, H.J. De dan TH.G Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: Grafiti Press.
Gadjanata, K.H.O. (Ed). 1986). Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, ,Jakarta: UI-Press.
Hafidz, Wardah. 1993. “Misogyny Dalam Fundamentalisme Islam”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV.
Hanafiah, Djohan. 1987. Kuto Gawang: Pergolakan dan Permainan Politik Dalam Kelahiran Kesultanan Palembang Darussalam, Palembang: Parawisata Jasa Utama.
Hanafi, Hassan. 1985. Islamic Dilemmas: Reform, Nationalism, and Industrialization, Ernest Gellner (ed.),  Amsterdam & New York: Mouton Publisher.
Hassan, Riffat. 1990. “The Burgeonimg Of Islamic Fundamentalism: Toward an Understanding of Phenomenon”, dalam Norman. J. Cohen, The Fundamentalist Phenomenon, America: American Publisher Press.
Ibnu Taimiyyah, Al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Islâh al-Ra’yi wa al-Ra’iyyah,  Cairo: tp. ,1951.
Jalaluddin. 1992. Petunjuk Kota palembang (Dari Manua ke kotamadya), Palembang: Departemen Pendidikan Tk-II. 
Junus, Umar. 1984.  Sejarah Melayu Menemukan Diri Kembali, Petaling Jaya : Fajar Bakti.
Ka’bah, Rifyal. 1993. “Modernisme dan Fundamentalisme di Tinjau dari Konteks Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, no. 3,  Vol.IV.
Kartodirjo, Sartono et el. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Depdikbud RI.
Lewis, Bernard. 1988. The Political Language of Islam, Chicago and London : The University of Chicago Press.
Luttwak, Edward. 1979. Coup d’Etat: A Practical Handbook, London, Harvard University Press.
Locke. Jhon. 1999. Two Treatises of Government,  New York: Cornell University.
Ma’arif, Syafe’i. 1988. Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Takdir Ali Mukti (Ed), Membangun Moralitas Bangsa. Jogjakarta: LPPI UMY.
Naskah “Asal Raja-Raja Palembang,” Jakarta: Perpustakaan Nasional, Br.157, III, h. 1-2.
Rahim, Husni. 1998. Sistem Otoritas Dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan Dan Kolonial di Palembang, Jakarta: Logos.
R.O. Winstedt, 1977. A History of Classical Malay Literature, Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Salim, Abd. Muin. 1995. Fiqh Siyâsah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur’ân, Jakarta: LSIK.
Schrieke, B.J.O. 1971. Penguasa-Penguasa Pribumi, Jakarta: Bharata.
Syari’ati, Ali. 1989. Al-Ummah wa al-Imamah, Teheran: Mu’assasah al-Kitab al-Tsaqafiyyah.
Siddiqui, Kalim. 1984. Islamic Revalation, Achievements, Obstacles and Goals. Diterjemahkan oleh Prayono (et el.), Gerbang kebangkitan Revolusi Islam dan Khomeini dalam perbincangan, Djogyakarta: Shalahuddin Press.
Soetomo, Greg. 1998. Revolusi Damai, Belajar dari Philipina, Djokyakarta: Kanisius.
Stoddard, Philip H. dan Margaret W. Sullivan. 1988., Change in The Muslim World, Syracuse University Press,
Teeuw. 1958. Sejarah Melayu, Jakarta, Penerbit Jambatan.
Uhlin, Anders. 1995. Indonesia and The Thind wave Of  Democrazation, London: Curzon Press.
Voll, J.O. 1982. Islam: Continuity and Change In The Modern World, America: Boulder.
Wahid, Zainal Abdul. 1974.  Sejarah Melayu dalam Dewan Bahasa, t.tk: t.tp


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Duga Pemilu Curang, Ramai-ramai Kyai dan Ulama Sampang Desak Bawaslu Gelar Coblos Ulang LAPORAN :  NOVIYANTO AJI SABTU, 17 FEBRUARI 2024 |...